Halaman 7, Buku Harian Balerina.
Dari sekian banyak impian dan harapan, tidak pernah lepas dari kesalahan dan kebodohan. Ambisi yang menggebu-gebu, mimpi yang terlalu tinggi, dan harapan yang terlalu diagungkan. Pada kenyataannya kita hanya sekumpulan remaja bodoh, yang mencoba berenang dalam ambisi yang bercampur dengan harapan yang tidak terkontrol.
Lalu pada akhirnya kita membuat kesalahan. Begitu fatal dan penyesalan pun tidak bisa mengubah apapun. Kesalahan itulah yang membuat semua harapan dan mimpi menjadi berantakan.
---
Juli dan Juni.
"Aku pulang!" Juli melemparkan tasnya di atas sofa. Dia menatap ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu atau seseorang yang kiranya bisa menegakkan hatinya bahwa dia tidak sendirian di rumah. Juli sebenarnya paling benci kalau sudah ditinggal pergi tanpa ada yang berpamitan begini.
"Ah, mereka pergi lagi ...." Dia menghempaskan tubuhnya di atas sofa, bersandar ke belakang sembari menatap langit-langi ruangan dengan satu lampu gantung di tengah-tengahnya.
"Mama pergi ke makam ayah," katanya. Seseorang turun dari lantai dua. Menuruni anak tangga yang tidak terlalu banyak jumlahnya. Rumah mereka tidak mewah, sebab mereka berdua bukan keluarga kaya. Syukurlah ayahnya sempat membangun rumah berlantai dua meskipun besarnya tidak seberapa. Setidaknya itu nyaman untuk memisahkan dua anak kembar yang mempunyai pemikiran berbeda.
Juli tidak menyahutnya seperti biasa, dia bahkan tidak membuka matanya yang terpejam. Dia sudah tahu siapa yang berbicara, jadi dia memilih untuk acuh tanpa kata-kata.
"Katanya kalau mau makan di dapur ada makanan. Aku sengaja nggak makan sore dan nunggu kamu pulang, kamu pasti akan makan banyak karena lauknya kesukaan kamu." Dia berbicara dan akhirnya sampai ke lantai dasar, jaraknya berdiri tidak jauh dari Juli yang sedang merebahkan tubuhnya dan mengistirahatkan pikirannya.
"Mau aku ambilkan?" Juni tetap berusaha menggempur pertahanan saudari kembarnya. Dia hanya tidak mau hidupnya terus begini.
"Berhenti untuk peduli dan lanjutkan apa yang kamu lakukan. Seperti biasanya ...." Juli bergumam. "Kita lakukan masing-masing sesuai dengan keinginan kita."
Ternyata bujukan apapun yang diberikan, tidak akan pernah bisa meluluhkan hatinya. Pada akhirnya dia harus mengalah lagi dan pergi tanpa kata-kata.
"Kenapa Mama pergi ke makam ayah?" tanyanya. Juli membuka pembicaraan untuk yang pertama kalinya setelah perbulan-bulan tidak pernah berbicara dengan Juni secara langsung seperti ini. Mamanya adalah kabel penghubung antara mereka berdua.
Juni yang hampir masuk ke dalam kamarnya berhenti tepat di ambang pintu. Dia memutar tubuhnya dan menatap ke arah gadis berambut pendek dengan poni mangkok yang baru saja bangun dari posisinya. Menatap ke arah Juni dengan tak suka.
"Entahlah. Mama nggak bilang apa-apa." Dia menjawab seadanya, memang seperti itulah yang dia tahu.
"Mama cuma bilang kalau ..." Kalimatnya berhenti sampai di sana ketika Juli memutuskan untuk melenggang pergi dari tempatnya. Dia sudah tidak betah mendengar suara dari saudara kembarnya.
"Jul!" Juni memanggil. Namun, yang dipanggil hanya terus berjalan menaiki anak tangga. Inilah klimaks dari pembicaraan mereka. Juli selalu pergi dan naik ke lantai atas untuk ke kamarnya, lalu Juni berdiam diri di lantai bawah dan melakukan apapun yang bisa dia lakukan kalau tidak ada latihan di luar sana.
"Juli!" Dia mempertegas panggilannya. "Kamu itu tuli atau bagaimana?" Sekarang nada bicaranya membentak
Sampai di lantai atas, dia menoleh turun ke bawah. "Anggap saja begitu. Sudah tahu aku tuli kenapa masih manggil-manggil?"
"Kita akan terus begini sampai kapan?" tanyanya. Kembali menutup pintu kamarnya dengan sedikit keras. "Mumpung Mama nggak ada di rumah gimana kalau kita membicarakan ini?" Menatapnya dengan serius. "Aku jauh lebih tua dari kamu meskipun hanya beberapa jam saja, jadi aku yang harusnya bisa mengerti kamu dan melindungi kamu. Aku harusnya bisa mengayomi kamu, juga ...."
"Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan. Aku katakan aku juga akan melakukan apa yang ingin aku lakukan," sahut Juli masih tidak acuh.
"Kamu masih berpikir kalau aku yang menyebabkan ayah meninggal?" Inilah poin dari semuanya. "Kamu masih berpikir bahwa jika saja aku tidak mengajak ayah ke sana maka kejadian itu tidak akan terjadi, bukan kah begitu?"
Keduanya saling menatap satu sama lain. Juli mulai merasakan sakit di dalam hatinya, memang itulah konflik yang dia dendam selama itu. Setelah meninggalnya ayahnya, dia tidak punya harapan lagi untuk menggapai mimpinya. Ibunya juga pantang-panting kerja ke sana kemari hanya untuk mereka berdua, sedangkan remaja satu itu terus saja gila dengan mimpinya.
"Kenapa kamu malah diam sekarang? Aku salah berbicara?" tanyanya. "Jul!"
"Kamu mau tahu apa yang ada di dalam pikiranku setiap kali melihat kamu tersenyum dan bercanda tentang mimpi kamu sama orang lain?" Juli mulai merasakan pedih di matanya. "Rasanya menyakitkan!" Dia hampir menangis sekarang. Menepuk-nepuk dadanya kemudian. "Aku selalu saja berpikir bahwa kamu itu egois dengan mimpi kamu untuk jadi perwira! Kamu tidak pernah memikirkan apapun selain mimpi kamu itu. Kamu tahu bukan sekolah jadi perwira itu mahal dan kamu selalu membanggakan di depan mama!"
"Emangnya aku salah jika aku punya mimpi?" Juni juga keras kepala dengan itu. "Kamu juga punya mimpi, kita berdua punya mimpi. Tidak ada yang salah untuk bermimpi."
"Setidaknya sadar diri akan mimpi kamu!" Dia membentak kemudian. "Kamu membuat ayah meninggal, lalu kamu berpikir kamu bisa menggapai mimpi kamu yang mahal? Bagaimana dengan aku?" Dia menunjuk-nunjuk dirinya sendiri. "Bagaimana dengan aku? Mama juga selalu memperhatikan kamu, mengatakan bahwa kamu harus sekolah tinggi karena kamu adalah tulang punggung keluarga ini suatu saat nanti. Mama hanya berpikir bahwa aku hanya butuh les, mencapai nilai bagus, dan aku lulus dengan nilai yang sempurna!" Dia kalah pada air matanya sendiri, meneteskan itu semakin deras.
"Mama tidak pernah bertanya, apa yang aku inginkan dan apa tujuanku?"
Juni terus menatap ke arah saudari kembarnya. Ternyata hal itu dipendam olehnya selama bertahun-tahun setelah meninggalnya ayahnya kala itu.
Dia mengusap air matanya kemudian. Hampir berbicara lagi tetapi gagang pintu yang bisa jadi tekan menyita fokus perhatian mereka. Itu seperti peringatan agar mereka kembali diam dan bersikap normal seperti biasanya meskipun sebenarnya Juni ingin mengatakan apa yang dia simpan di dalam hatinya juga selama ini.
Yang datang adalah mamanya, wanita yang selalu menjadi penengah di antara mereka.
"Mama?" Juni menatap ke arah wanita yang baru saja membuka pintu lebar-lebar. "Mama datang sama siapa?" tanyanya pada wanita itu
Juli ikut menatapnya. Seorang pria yang kiranya untuk usia dengan mamanya.
Wanita itu menatap kedua anaknya, tersenyum manis pada mereka. "Ah, perkenalan ..." Dia sedikit memiringkan tubuhnya agar pria itu bisa dilihat oleh kedua anaknya. "Namanya Dariam, kalian bisa memanggilnya Riam."
"Juni bertanya siapa dia ...." Juli menyahut dari lantai atas.
"Dia calon ayah kalian yang baru," sambungnya.
Pernyataan itu membuat hati Juli semakin kacau luar biasa. Kejutan macam apa ini?
... Bersambung ....