webnovel

YOUNG AGENT

Seina, Levino, dan Akhtara adalah kelompok unggulan di organisasi rahasia remaja yang dipimpin oleh Geraldo Rios. Mereka bertiga masuk tim teratas dengan sebutan Kelompok Elang.  Misi kali ini bukan sekadar kenakalan remaja biasa seperti misi-misi yang sudah mereka selesaikan sebelumnya. Persahabatan, kepercayaan, dan juga perasaan mereka sangat diguncang selama menjalani misi tersebut. Pembubaran geng motor awalnya terdengar biasa, tetapi perlahan kenyataan-kenyataan mengejutkan keluar dan membuat mereka dilema. Apalagi kenyataan bahwa banyak rahasia-rahasia besar yang tersimpan dalam persatuan geng motor tersebut tanpa diketahui oleh sang ketua, juga ketiga agen remaja itu.  Misi kali ini adalah misi bercabang, siap atau tidak kelompok Elang harus tetap maju.  Lantas, bagaimana mereka bisa memecahkan misi tersebut?

Rachita_Julie · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
12 Chs

PAHLAWAN BERTOPENG 01

Satu kenyataan baru yang Seina ketahui adalah Meisya yang menyukai Alan. Sebuah obrolan di waktu istirahat yang cukup banyak menguak pernyataan yang selama ini masih menjadi tanda tanya. Seina menarik satu ujung bibirnya saat berjalan di belakang kedua temannya. Ia masih memikirkan obrolan tadi, saat makan siang.

Tristan, Alan, dan komplotannya duduk satu meja dengan Seina, Meisya, dan Khansa. Di saat obrolan itu berjalan, Meisya menggumam kecil tepat di kuping Seina. Gadis itu tersenyum manis sambil mengatakan bahwa ia menyukai Alan.

Saat memikirkan tentang Alan yang beringas di geng motor itu, pikirannya malah teralih pada kejadian semalam. Rasanya Alan tak seburuk apa yang ia cap selama ini. Benar, semua orang pasti mempunyai sisi baik dan buruknya masing-masing. Semua tergantung dengan bisa atau tidaknya kita mengendalikan diri sendiri.

Seina sedikit menoleh ke belakang, Alan yang dengan wajah santainya merangkulkan lengannya pada pundak Tristan. Terlihat jelas bahwa Tristan merasa tidak nyaman. pemuda itu mengeluarkan aura dingin seperti biasanya, namun saat mata tajamnya tak sengaja bertemu dengan mata kucing milik Seina, rasanya sangat berbeda dan mungkin bisa digambarkan dengan kata 'Hangat'.

"Husst! Aku tau kau sedang jatuh cinta, tapi jangan menatapnya terus-menerus," bisik Alan tepat di depan daun telinga Tristan. Pemuda itu mengalihkan tatapannya, ia membuang wajahnya ke arah lantai sambil menggeratkan giginya.

"Bicara apa sih? Aku mau ke toilet. Menyingkir!" Tristan menepis tangan Alan dan berbelok ke arah lorong yang membawanya ke toilet.

Alan mengulum bibirnya, dan mengejar Tristan yang sudah lima meter di depannya, "Tunggu, aku ikut!"

Ical mendecak, "Mereka berdua memang tak bisa ditebak. Padahal semalam baru saja bertengkar."

"Baguskan kalau mereka seperti itu, lebih nyaman dilihat," pemuda di samping Ical menyahut. Ia merangkulkan lengannya pada pemuda gempal di sampingnya yang sedang meremas ujung baju seragamnya.

"Aku senang mereka bisa mengatasinya, aku tak mau kehilangan keluarga lagi," sahutnya memelan. Wajahnya berubah muram dengan pandangan tertunduk. Ujung bajunya pun semakin kusut karena terus-menerus ia remas. Wajahnya yang gempal itu menunjukan lengkung bibir ke arah bawah.

"Hei, kau tidak akan kehilangan apapun! Begitu pula dengan storan hari ini!" ucapan lantang Ical itu dijawab dengan teriakan antusias anggota gengnya. Mereka saling menepuk telapak tangan satu sama lain dan berjalan membelok ke lorong yang mengarah ke gudang.

Seina berhenti sejenak mendengarnya, dia menoleh perlahan, "Storan?"

"Storan apa sih?" Khansa menatap wajah Seina yang menampilkan ekspresi bingung. Meisya yang mendengarnya akhirnya ikut membalikkan badannya.

"Ah, anu- aku- aku ingin stor, hehehe," Seina tertawa hambar. Sangat terlihat seperti dipaksakan.

"Stor apa sih maksudmu?" Meisya mengerutkan keningnya.

"Stor ke toilet! Ya, aku mau stor ke toilet. Kalian paham kan?" Seina tersenyum menampilkan deretan giginya. Tangannya menepuk-nepuk bagian perutnya memberikan kode.

"Ah, ya sudah sana! Kenapa harus banyak bicara sih? Kalau kau bocor di sini, apa tidak malu?" Khansa berkata polos. Gadis itu menatap Seina sambil mengembangkan bibirnya melengkung ke bawah.

Meisya mendecak menyenggol Khansa, "Kau ini! Kau bisa ke sana sendirikan?"

Khansa mendelik sebal, sedangkan Seina tersenyum hambar dan langsung mengangguk. Seina akhirnya melangkahkan kakinya menjauh, masuk ke dalam koridor yang mengarah ke toilet siswi. Namun saat Meisya dan Khansa tak lagi ada di pandangan, gadis itu keluar dan masuk ke lorong menuju gudang. Ia berjalan dengan derap langkah yang hati-hati.

Masih ada waktu lima menit lagi sebelum masuk, harusnya waktu itu cukup untuk menyelidiki apa makna stor bagi komplotan ini. Seina menghentikan langkahnya, ia meringkuk di balik meja kayu yang rusak. Matanya tajam menelusuk apa yang terjadi di depan gudang itu.

Ical dan komplotannya, berdiri mengelilingi seseorang (?) yang ada di tengah-tengah mereka. Seina tak bisa melihat siapa yang ada di tengah gerombolan itu. Namun dari gerak-geriknya, Seina sadar akan apa yang dilakukan Alan dan komplotannya.

"Mana?" teriaknya. Ical menyudutkan seseorang itu sambil meneriakinya dengan kata-kata kasar.

"Hanya ada segitu, ayahku belum kirim uang lagi," jawab seseorang itu dengan suaranya yang parau.

"Apa kami harus percaya?" sahut seseorang.

"Lagi pula, kami tak akan peduli dengan hal itu," lanjutnya.

"Tapi aku benar-benar tak punya uang," suara parau itu terdengar lagi. Dari bayangan yang dapat Seina tangkap, orang yang menjadi pusat perhatian mereka lebih dari satu.

"Beraninya bicara seperti itu! Kau pikir aku peduli?" Ical meraih kerah seragamnya, mengangkat pemuda itu dan membantingnya ke lantai tanpa kasihan.

"Kak, sebenarnya apa sih salah kami sampai kakak sejahat ini?" salah satunya berucap. Kali ini suara gadis, mungkin adik kelas karena ia tadi memanggil Ical dengan sebutan 'Kak'.

Ical mendecih, "Masih belum sadar dia."

"Kau ini beruntung! Kau tau? Kami sangat membenci keberuntunganmu! Kau punya keluarga, harta, lalu dengan seenaknya hidup di dunia ini tanpa halangan."

"Kami tidak bisa membiarkan itu terjadi! Di saat semua orang berusaha untuk mendapatkan sesuatu, anak-anak seperti kalian bisa dengan mudahnya mendapatkan itu. Ini tidak adil!" Ical meninggikan suaranya. Ia teriak dengan amarah yang sudah memuncak. Wajahnya memerah karena emosi. Kepalanya terasa panas dan seperti ingin meledak.

Seina masih diam mengamati. Gadis itu menajamkan pendengarannya, saat ucapan Ical tadi masuk ke gendang telinganya Seina merasa sedikit terenyut. Ia berpikir apa Ical dan kawan-kawannya itu memiliki masalah di keluarga mereka? Rasanya perkataan Ical tadi sedikit mewakili hati Seina. Namun tetap saja gadis itu tidak setuju dengan apa yang dilakukan sekelompok pemuda yang ada di hadapannya ini. Untuk saat ini ia tak bisa melakukan apa-apa. Ia tak punya cukup tenaga ataupun senjata untuk membela dirinya jika ia menampilkan dirinya untuk membantu orang itu. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengamati dan memikirkan cara agar hal yang terjadi di depannya ini tak akan terulang lagi.

Seina menelan ludahnya kasar. Ia meremas ujung rok sekolahnya, lantas beranjak dari tempat itu. Dengan berat hati ia pergi tanpa membantu orang yang membutuhkan bantuannya. Seina sangat meruntuki perlakuannya ini, ia terlalu takut untuk menghadapi orang sebanyak itu. Walaupun dia memiliki besik bela diri yang cukup, tapi itu hanya bisa untuk melindungi dirinya.

Kalaupun ia keluar dan membantu orang-orang itu, mereka akan tetap melakukannya di kemudian waktu dan tanpa sepengetahuan Seina. Orang-orang itu akan terus dipalak. Hanya ada satu cara yang mungkin, yaitu membuat mereka melindungi diri mereka sendiri. Seina hanya memikirkan hal itu sepanjang koridor.

Sampai di kelasnya, Seina berusaha mengusir jauh-jauh kekhawatirannya agar tidak mengganggu pelajarannya hari ini. Ia berjalan dengan tenang dan duduk di samping Tristan dengan seperti biasa. Seina berjanji pada dirinya sendiri, ia akan membantu orang-orang itu. Suatu saat nanti, saat waktu memungkinkan.

[YOUNG AGENT]

"Ini topeng siapa?" Akhtara meraih salah satu topeng yang tergeletak di atas meja. Topeng yang terbuat dari kayu dengan ukiran abstrak yang terkesan antik. Topeng kayu itu berbentuk karakter manusia yang mempunyai ketegasan pada garis ukirannya masing-masing.

Seina menoleh sekilas, "Levino yang membawanya tadi."

"Oh, itu bekas lomba kesenian di sekolahku tahun lalu. Niatnya mau kubuang," Levino keluar dari pintu toilet.

"Jangan, ini masih bisa digunakan!" teriak Seina antusias. Ia baru saja dihampiri oleh ide brilliant yang tak sengaja melintas di otaknya.

"Kau bercanda ya? Untuk apa topeng karakter seperti ini? memangnya kau anak kecil?" Akhtara terkekeh kecil.

"Ini bisa kita gunakan untuk membantu orang-orang yang dipalak itu, yang tadi kuceritakan," Seina menatap Akhtara dan Levino bergantian. Mereka berdua hanya diam dengan heran menanggapi Seina.

"Maksudmu bagaimana?" Levino mengambil posisi duduk di hadapan Seina.

"Nanti kujelaskan, yang kita butuhkan selanjutnya adalah jubah besar yang bisa menutupi seluruh tubuh kita tapi tidak membuat kita sulit untuk bergerak."

Akhtara mengerutkan dahinya, "Kalau itu aku punya, bukan jubah sih. Ini semacam jas hujan, tapi bisa menutupi semua tubuh dan tidak menyulitkan kita untuk bergerak. Kebetulan ayahku punya tiga di garasinya."

"Nah, bagus kalau begitu!" Seina teriak antusias.

[YOUNG AGENT]

'BUGHH! BUGHH! BUGHH!'

Suara pukulan terdengar dari arah lapangan belakang sekolah. Beberapa orang yang baku hanta mini tak bisa dihentikan. Mereka kalap dengan emosi masing-masing. Tiga lawan tujuh, harusnya tujuh orang itu menang telak. Tapi karena tiga orang ini adalah Agen Remaja, pasti sukar untuk menumbangkannya.

Untung sekarang sudah jam pulang sekolah. Tempat sekitaran sekolah sudah sepi dari aktivitas manusia. Mereka dengan leluasa saling baku hantam. Akhtara yang berada di balik topeng dan jas hujan itu merasa dirinya terlihat konyol. Ia tak habis pikir akan menggunakan kostum sekonyol ini untuk menyelesaikan misinya.

Sedangkan Levino tak peduli dengan penampilannya. Pikirannya terpusat pada pukulan demi pukulan yang melayang hendak menghantam tubuhnya. Kecepatan yang ia punya, membuat gerakan lawan terlihat lambat di mata Levino dan ia juga hapal dengan pola gerakannya. Lawannya ini hanya mengulang gerakannya, sampai Levino hapal dengan gerakan tersebut.

Jauh dibanding Levino, Seina sedikit kesulitan melawan Ical. Mereka tak benar-benar bertarung, beberapa kalimat yang keluar dari mulut mereka berdua terkesan saling menjatuhkan. Di belakang Seina, ada dua orang yang gemetar ketakutan. Mereka memojokan diri dan menatap Seina serta rekannya menghajar Si Pemalak.

"Pahlawan konyol macam apa ini? Sangat kampungan!" Ical melayarkan tonjokkannya ke arah perut Seina. Tonjokkannya ditangkis, lalu dikunci oleh Levino. Ia menatap tajam pemuda yang hampir melukai Seina itu.

"Jaga omonganmu! Simpan tenagamu untuk memohon maaf!" tukas Levino, ia semakin memelintir tangan Ical.

"Silahkan, kalau kau mau mematahkan tanganku. Lagi pula kau untung apa sih melindungi anak cupu seperti mereka?" Ical mengarahkan dagunya pada dua orang tersebut. Mereka semakin gemetar saat melihat tatapan Ical yang menusuk.

"Untung? Keuntungannya, sama sepertimu. Meresa senang atas kemenangan kami sendiri. Tapi kami menang karena membantu yang lemah, sedangkan kau menang karena menjatuhkan yang lemah," Akhtara membanting lawannya. Ia sudah menghajar empat orang, tangannya yang memerah itu masih terkepal keras. Akhtara menghampiri Ical dan menatapnya dengan tajam.

"Kau sama seperti sampah jika begitu adanya!" tukasnya.

"Lantas? Memang kenapa jika aku ini sampah? Dengan kau yang menghabisi kami seperti ini, tidak membuat kami berhenti memalak mereka!" pekik Ical dengan lantang. Wajahnya membiru karena tonjokkan Levino dan Seina sebelumnya.

"OH, jaga ucapanmu. Kami bukan menghabisi, tapi mencegah keburukan terjadi," Levino mencengkram bahu Ical yang lemas di hadapannya.

"Lihat ulahmu! Teman-temanku terkapar, lalu apa bedanya kalian dengan kami? Sama-sama menghabisi."

Plakk!

Satu tamparan mendarat pada pipi kanan Ical. Pemuda itu meringis sedikit lalu kembali menyunggingkan senyumnya yang menyeramkan. Seina baru saja menampar pemuda itu dan ekspresi yang ditampilkan malah sunggingan senyum yang seram. Gadis itu mengepalkan tangannya yang memerah.

"Kenapa hanya menampar? Habisi saja kami. Toh di gedung ini sudah tidak ada orang," kata Ical.

"Untuk apa? Tanda kemenangan? Kami tidak bisa melakukan hal sampah seperti itu. Tugas kami hanya membela, jika itu sudah terpenuhi kami pasti akan pergi," Levino melemahkan cengkramannya.

"Kami tak bisa membuang-buang waktu untuk menanggapi omong kosongmu dan untuk kalian, ayo ikut kami!" teriak Akhtara menggiring dua orang yang sedari tadi menonton aksi mereka. Akhtara berjalan paling depan meninggalkan Ical dan komplotannya yang terkapar dengan luka lebam. Tidak begitu parah, tapi cukup membuat mereka lemas dan sulit untuk berdiri.

Ical meraih handphonenya, ia menekan beberapa digit nomor dan langsung terhubung dengan sambungan telepon. Di seberang sana terdengar suara pemuda yang seumuran dengannya.

"Kau kemana? Kita dihajar oleh tiga orang asing."

"Hah? Yang benar?"

Ical mendecak, "Buat apa aku bohong, apa ada untungnya?"

Pemuda itu menghela napasnya, "Tunggu di sana, aku dan Tristan akan segera ke sana."

"Memang kau tau kami di mana?"

"EH? Memang di mana?"

Ical mendengus, "Lapangan belakang sekolah."

"Sekolah? Kenapa bisa diserang di sana?"

"Panjang ceritanya, kau cepatlah datang!"

'Tuutt Tuutt Tuutt…'

[YOUNG AGENT]

"Maaf karena kami merepotkan kalian," seorang pemuda berkacamata tebal menunduk sambil memegangi dasi seragamnya.

Di depannya Levino, Seina dan Akhtara yang masih menggunakan kostum mereka tadi itu hanya mengangguk tanpa berkata. Mereka berpikir apa yang harus dilakukan kedepannya. Jika harus terus-menerus dipantau, itu tidak akan mungkin. Mau bagaimana pun Levino dan Akhtara berada di sekolah berbeda, sedangkan Seina mana mungkin bisa melindungi mereka semua dan melawan anak geng motor tadi. Levino dan Akhtara pun sudah pasti tidak akan mengizinkannya.

Levino berdehem panjang sambil memegang bagian dagu pada topengnya. Akhtara menoleh, begitu pula dengan Seina. "Mereka hanya memalak kalian berdua atau masih ada lagi?"

"Setauku, kakak itu memalak teman-teman seangkatanku juga. Ada delapan orang jika dihitung-hitung," gadis dengan kepangan rambut panjang itu bicara sambil membenarkan posisi kacamatanya.

Levino mengangguk paham, "Kalau begitu, kalian bisa pulang sekarang. Jangan mengkhawatirkan masalah ini. Kami janji untuk membantu kalian."

Mendengar perkataan Levino, Akhtara membelalakkan matanya dari balik topeng kayu yang ia kenakan. Pemuda itu cukup terkejut dengan keputusan Levino. Akhtara menyenggol bahu Seina pelan tanpa suara. Gadis yang disenggolnya hanya menggelengkan kepala sambil mengangkat tangannya.

Kedua orang itu merekahkan senyumnya, mereka mengangguk antusias menanggapi ucapan Levino tadi. "T- terimakasih kak,"gagapnya.

Mereka lantas berbalik, di tangannya tergenggam handphone yang menyala. Gadis dengan kepangan rambut itu menelpon seseorang untuk menjemputnya. Ia berdiri di depan halte bus yang ada di samping gerbang sekolah. Sedangkan kelompok Elang masih berdiri di tempatnya. Mereka masih mengawasi dua orang itu sampai benar-benar pulang.

Beberapa menit berlalu, mobil sedan berwarna hitam menghampiri dua orang yang tadi dibantu oleh kelompok Elang. Si gadis membetulkan rambut kepangannya sebelum melambai dari dalam mobil. Di sampingnya, pemuda dengan kacamata tebal itu mengangguk sekali sambil tersenyum. Mobil mereka berdua akhirnya melaju, meninggalkan kelompok Elang yang berdiri tegap di depan gerbang.

Dibalik topeng mereka, terlukis senyum kemenangan atas apa yang mereka lakukan tadi. Ada rasa lega karena bisa membantu, namun rasa itu tak bertahan lama. Tristan dan Alan menampilkan diri mereka sambil mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Melihat kedatangan dua orang itu membuat kelompok Elang memundurkan langkah mereka.

Levino menarik teman-temannya keluar dari SMA Harious dan bersembunyi di balik truk sampah yang terparkir lima meter di samping sekolah. Mereka bertiga saling tatap saat Tristan dan Alan makin mendekat. Suara motor mereka berdua makin keras terdengar. Seina memejamkan matanya berharap tidak akan ketahuan.

Di sampingnya, Akhtara menatap tajam kedatangan mereka. Bisa saja ia menampilkan dirinya dan bertarung dengan Alan atau pun Tristan, tapi otaknya masih waras. Rasa takut atas terbongkarnya penyamaran Seina di sekolah ini lebih besar. Akhirnya pemuda dengan campuran darah Timur Tengah ini hanya bisa mengeratkan giginya di tempat ia bersembunyi.

Akhtara menoleh ke arah Levino. Ia menahan kaki pemuda itu dengan harapan kejadian yang lalu tak akan terjadi lagi. Melihat Levino yang memakai topeng, Akhtara tidak bisa menebak bagaimana ekspresi Levino saat ini. Pemuda itu diam seribu bahasa seperti patung.