webnovel

YOU, ME, DEATH

Cara termudah untuk melupakan mantan kekasih adalah, mereset kembali pikiran. begitulah yang terjadi pada Junghan, pria kaya yang jatuh miskin karena mantannya. Dia bertekad menjadi orang lain dengan menghapus ingannya untuk memulai lembaran baru. Namun, tak semudah yang direncanakannya. satu persatu masa lalu datang padanya.

Vince_Umino · perkotaan
Peringkat tidak cukup
20 Chs

Sampel Darah Yang Hilang

Syaraf yang bangkit, mengantarkan sensasi terbakar dalam tubuh. Mataku mulai menyerap cahaya dari luar, tabir hitamnya berubah kuning kemerahan yang redup.

Pelan-pelan kubuka mata, seketika sinar matahari menusuk mataku. Membuat warna pandanganku berubah merah ke hitaman.

Aku berkedip-kedip menyeimbangkan mata dan kembali melihat dunia. Hal pertama yang tampak familiar adalah langit-langit kamar.

Kicauan burung di halaman belakang menyegarkan pendengaranku dan menyadarkan aku bahwa ini sudah pagi.

Yang berarti aku tak sadarkan diri berpuluh-puluh jam yang lalu. Nyeri di pantat mengingatkan aku bahwa ayah telah mengerjaiku lagi.

Aku mendesah, memaksakan diri untuk beranjak dari ranjang. Kaku dan lemas, setiap kugerakkan tubuh.

"Apa kali ini yang disuntikkan Ayah Gila itu? Seluruh otot dalam tubuhku seperti habis bertarung dengan formula miliknya. Dosis yang digunakan sepertinya lebih tinggi dari biasanya."

Suara wajan di dapur dan bau wangi dari masakan yang cukup asing, tercium cukup sedap.

"Aku harus minta penawar pada ayah. Kali ini apa yang dimasaknya untuk meminta maaf padaku?"

Aku berjalan membawa tubuhku yang lemas. Saat keluar, kulihat Yunna sedang memasak dan menata meja dengan beberapa mangkok makanan hangat.

Ia melirik padaku lalu katanya, "Kau sudah merasa sehat? Tadi malam aku terkejut sebab paman melakukan itu padamu. Kau baik-baik saja 'kan?" Yunna meletakkan sepiring nasi, gurita tumis dan sosis goreng.

Aku celingak-celinguk lantas bertanya, "Di mana orang itu?"

"Ah, maksudmu, paman? Dia keluar kota untuk beberapa pekan. Dia mengatakan bahwa dia sudah menitipkan aku padamu. Tolong jaga aku, ya."

"Enak saja, aku belum menyetujui hal itu!"

Dengan membawa kekecewaan yang mendalam terhadap ayah, aku mendesah, berjalan menghampiri meja makan.

Yunna menarik kursi untukku.

Setiap kali digerakkan ke kiri dan ke kanan, bola mata ini terasa perih.

"Seperti biasa Ayah lari sehabis melakukan ini padaku. Aku khawatir, kali ini apa yang akan terjadi pada tubuhku?" Aku bergumam sambil meratapi rasa sakit.

"Eh, kata paman, kau malas minum vitamin yang dia berikan. Dia terpaksa memberikan vitamin itu melalui suntikan. Paman Rai memintaku untuk melaporkan kondisimu tiap 5 jam sekali usai makan. Lihat! Aku bahkan juga mendapatkan Vitamin." Yunna menunjukkan obatnya dalam sebuah tabung bundar setinggi dua jari.

"Dia memintaku untuk membawa ini kemana saja dan memakannya satu kali dalam sehari."

Aku mendesah lagi. [ Jadi itu formula yang dia buat untuk Yunna. Lantas yang dia suntikkan ini apa? ]

Yunna berdeham lalu menyodorkan sepiring nasi. "Aku khawatir sekali saat melihat kau tidak bangun-bangun. Sebelum pergi, paman mengambil darahmu. Dari senja itu sampai pagi ini, kau sudah mengalami demam selama semalaman penuh, aku hampir memanggil ambulan, tetapi paman meneleponku dan memintaku untuk menunggumu sampai pagi. Kau masih terlihat tidak sehat, istirahat saja untuk hari ini."

Yunna terus meracau, meski terdengar berisik, kekhawatirannya sedikit membuat aku senang.

[ Ah, apa boleh buat! Aku harus makan agar bisa mengutuk ayah lagi! ]

[ Setiap ayah menyuntikkan sesuatu, selalu saja membuat efek samping yang membuat aku cukup lapar. Karena Yubi tidak ada, akulah yang jadi sasaran uji klinis formula yang sedang dikembangkannya untuk mengobati Yunna. ]

Usai makan, aku beranjak dari kursi. Sebelum berbalik, Yunna berdiri di depanku. Aku menatapnya malas-malasan.

Ia mendongak dengan tangan yang hendak menyentuh dahiku. Segera kutepis lalu berkata, "Ingat peraturan kamar 'kan?"

Gadis itu mengangguk, dan menyebutkan peraturan tadi malam. "Tidak boleh sembarangan menyentuh tanpa persetujuan. Kalau begitu, bagaiman aku melaporkan pada paman soal kondisimu?" keningnya mengerut, bingung.

Aku melewatinya tanpa memberi jawaban.

"Tapi kau benar tidak apa-apa 'kan? Aku mulai ragu-ragu untuk meninggalkanmu."

"Siapa yang mau absen hari ini? Aku akan pergi sekolah!" aku bergumam lalu membanting pintu dengan keras.

Jalanku terasa seperti orang tua yang osteoporosis saja, otot-otot masih kaku dan tubuhku masih terasa demam.

Aku duduk di tepi ranjang, menarik laci nakas dan mengambil satu pil anti pegal yang biasa dikonsumsi untuk mengurangi efek samping formula ayah.

Dalam beberapa tahun ini, obat itu menemaniku selama ayah menyuntikkan sesuatu. Pil itu kuanalisa sendiri sebelum kugunakan. Ayah tidak tahu aku menggunakan pil ini.

Selesai mandi, aku mengenakan seragam dengan rapi. Menata rambut seperti biasa, kemudian keluar dari rumah.

Setelah melangkah selama beberapa puluh meter, aku berjalan sudah mirip zombie.

Aku berusaha mengambil alih otot-ototku yang kaku. Ini meruntuhkan kepercayaan diriku saat seorang kakek berjalan di sampingku. Dia mendahuluiku dengan senyum miring.

"Bikin kesal saja!" Aku bergumam saat kakek itu berjalan dengan percaya diri.

Kakiku berhenti dan mataku membola melihat jalan menanjak mirip bukit.

Sekelebat, aku teringat bagaimana nahasnya nasibku saat menggendong Yunna hingga terguling.

[ Itu menyakitkan! ]

Ingin sekali aku menemui si pembuat jalan ini dan mengomelinya karena tidak membangun jalan dengan datar.

Sambil mendaki, aku memikirkan cara bagaimana menuruni jalan menggunung ini dengan aman.

Semakin lama semakin tinggi, tubuhku yang masih lemas kesulitan menggapai puncaknya.

"Terasa seperti berjalan menuju langit. Kapan pula aku akan sampai di puncaknya." Aku mengeluh setiap langkah.

Setelah berada di puncak, aku menatap wahana seram jalan ini. "Terasa sangat tinggi dan curam, omong-omong bagaimana si kakek tadi turun?"

Selangkah kakiku turun, keseimbangan tubuhku hampir dikalahkan oleh gaya grafitasi yang miring. Kakiku bergerak dengan sangat cepat dan ketika sampai di jalan datar, mendadak pandanganku gelap.

Dentaman hebat menghantam kepalaku. Dalam balutan layar hitam di mata, tubuhku tumbang menghantam punggung seseorang.

"Hei, anak muda, kau sakit?"

Suara orang itu terdengar ramah. Ia menahan tubuhku lalu menyelipkan tangan di antara lutut dan menggendongku.

Sepanjang jalan, ia membawaku dengan gerakan stabil. Kemudian telingaku dihantam oleh keributan beberapa siswa. Mataku masih kukuh terpejam, tetapi rasanya aku bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka melihat aku sekarang.

Kemudian suara parau satpam tua yang menjaga gerbang sekolah terdengar menanyakan kondisiku pada orang ini.

Pak tua itu menyebut namanya, Shiho Matsugawa.

Aku membuka mata dan samar-samar melihat beberapa siswa yang mengiringiku dengan suara yang berisik sekali.

Seorang bernama Shiho Matsugawa ini terus menggendongku. Hingga kudengar seorang wanita dengan aroma khas rumah sakit menyambut kami.

[ Orang ini membawaku ke UKS. ]

Tubuhku dibaringkan dan setelah itu baru aku bisa melihat meski tidak jelas. Di sampingku berdiri Dokter pengurus UKS berusia 40 tahun dan pria gembul dengan kemeja penuh keringat, kurasa dialah yang bernama Shiho Matsugawa itu.

Sensasi dingin terasa menempel di dahiku ketika Dokter memberiku kompres es. Salah seorang perawat datang dan menahan kompres itu.

"Tubuhnya seperti bara api. Ini panas sekali. Aku akan memberikan suntikan untuk menurunkan demamnya." sekilas begitulah yang ditangkap telingaku.

Kupikir itu adalah langkah yang rentan memicu kontraindikasi pada formula ayah. Dia tidak tahu demam ini disebabkan oleh apa.

Saat Dokter itu hendak menyuntikkan obat, aku mencegat lengannya. Dan membelalakkan mataku sesadar-sadarnya.

"Aku akan merasa lebih baik hanya dengan kompres es ini. Ini hanya demam biasa."

Aku segera beranjak dan bersandar. Berpura-pura terlihat baik-baik saja seraya menarik gulungan kemeja seragamku.

Pandanganku masih terasa buram, bahkan untuk melihat mata mereka saja tidak mampu. Ini adalah formula kedua dengan efek yang paling parah setelah delapan tahun yang lalu.

Saat itu usiaku baru menginjak 10 tahun, aku terasa hampir mati karena menahan rasa sakit yang membuat daya mata dan tubuhku lumpuh.

Menyebabkan aku tidak bisa sekolah selama dua hari.