webnovel

You're My Serenade

serenade, suatu frasa yang merujuk pada alunan lagu yang menggambarkan senja. Biasa ditujukan kepada sosok yang sangat berharga dalam hidup. Melodinya mampu membawa kehangatan dan ketenangan. memikat siapapun yang mendengarnya untuk terlena dalam diam. {} Gavin Aksa Martendra Pria dengan hati yang dingin, bahkan mungkin sanggup mengalahkan es manapun. Sulit diajak bicara merupakan kelemahan yang membuatnya tidak bisa dimengerti oleh siapapun. Gemar menulis dan mengaransemen lagu. Tidak tertarik dengan urusan asmara. Namun tanpa sengaja, Alana menyusup masuk ke dalam hidupnya, mencairkan es di hati Gavin secara perlahan. — Arabella Alana Gadis yang lugu, ramah, dan murah senyum. Biasa dipanggil Alana. Hal yang paling ia kagumi adalah senja dan frasa. Selalu menuliskan rangkaian kata di tiap lembar buku hariannya. Tidak pernah merasakan jatuh hati, setidaknya sebelum ia bertemu dengan Gavin. jika ditanya, hal terhebat apa yang pernah dia lakukan semasa hidupnya... tentu saja, mencairkan hati seorang Gavin Aksa Martendra. Alana bahkan mampu membuat Gavin melakukan banyak hal konyol yang tidak terpikirkan oleh siapapun. ㅤ { UPDATE SEMINGGU SEKALI } ㅤ

HaChoLam20_04 · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
15 Chs

Comparable Exchange

- pertukaran yang sebanding -

Alana baru saja keluar dari ruang dosen. Ia muak dengan segala kritikan dosennya terhadap tesisnya.

Astaga, dia juga tak mau tesisnya hancur berantakan. Demi apapun, memperbaiki tesisnya sangat membuang-buang waktu.

Ia tak tau lagi bagian mana yang harus diperbaiki. Otaknya sudah cukup bekerja keras dengan segala hal yang terjadi padanya belakangan ini.

ALANA POV

Sungguh, aku bingung harus bagaimana lagi. Maksudku, aku juga sudah berusaha mati-matian untuk mengerjakan tesis ku dengan baik.

Maunya apa sih tuh dosen? Ini salah itu salah. Serba salah jadinya.

Padahal aku yg cewe, dia yang cowo. Kok jadi aku yg selalu salah sih.

Dasar om-om tua! Kesel banget! Aku berharap bisa segera menyelesaikan tesis ku agar tak perlu menemui dosen gila itu lagi.

POV END

Gavin melangkahkan kakinya masuk ke perpustakaan. Ia harus mengambil beberapa referensi untuk lagunya.

Sebelum kejadian di ruang musik waktu itu, baginya membuat dan menulis lagu hanyalah sekedar kegemaran dan keharusan.

Sejak kecil, Gavin tumbuh di lingkungan yang tak pernah jauh dari musik. Papa nya adalah seorang pianis, dan mama nya adalah seorang vokalis.

Jadi Gavin pikir, ia sudah terbiasa dengan musik.

Namun, ia memang tak pernah sungguh-sungguh berkomunikasi lewat musik. Gavin hanya tahu bahwa, ia membuat musik karena ia terbiasa. Lalu, karena kebiasaan itulah Gavin memutuskan untuk mengambil kuliah fakultas musik. Jadi, setelahnya pun ia memang harus tetap berhubungan dengan semua hal yang berbau dengan musik

Singkatnya, Gavin memenuhi hidupnya dengan musik tanpa paham dengan makna sesungguhnya.

Kata orang tuanya, suatu saat kamu akan mengetahui makna tersirat di balik setiap lagu.

Awalnya dia pikir, memangnya apa yg bisa disampaikan?

Makanya, sering kali ia merasa buntu saat menulis lagu. Karena meskipun itu lagu yang baik, tetap saja masih terasa hampa.

Setidaknya, ucapan Alana waktu itu menyadarkan Gavin.

Tapi bahkan dengan itu pun, Gavin masih tak tahu apa yang harus ditumpahkan ke dalam lagunya

Ia tak mengerti cara menyampaikan perasaannya yang sesungguhnya.

~

Pandangan matanya terjatuh pada seorang gadis yang sedang duduk di kursi pojok perpustakaan.

Itu Alana. Ia sedang frustasi mengerjakan tesisnya.

Memang bagi Alana membuat frasa itu cukup mudah, namun lain hal nya dengan tesis.

Mukanya tertekuk putus asa, frustasi, seperti tak tahu apa yang harus dilakukannya. Segala hal tentang tesis nya membuat ia tak sanggup menikmati hari belakangan ini.

Andai saja waktu itu Gavin membantunya, mungkin ia tak perlu bersusah payah lagi hari ini.

Tanpa sadar, sudut bibir Gavin sedikit terangkat melihat perilaku konyol Alana.

Ya, benar. Gavin memang memperhatikan Alana sedari tadi.

Segala hal yang Alana lakukan, tanpa sadar menarik perhatian Gavin. Sejujurnya, ia juga tak tahu kenapa gadis itu terus mengganggu pikirannya.

~

Sebuah ide terlintas di pikiran Gavin. Tak biasanya ide nya melibatkan orang lain.

Ia berjalan mendekat ke Alana. Duduk di depan gadis itu tanpa aba-aba.

Alana tersentak kaget, ia memang tak memperhatikan sekitarnya sejak tadi. Ia terlalu sibuk berkutat dengan tesisnya yang memuakkan.

~

ALANA'S POV

Aku terkejut saat seseorang duduk di depanku. Segera ku hadapkan wajahku melihat sosok yang sekarang ada di sebrang.

Gavin, astaga. Kenapa ia bisa disini. Padahal aku sudah berjanji untuk tak mengganggunya. Apa ia sengaja kesini untuk menyuruhku pergi?

Aduh, aku harus apa?

Segera ku rapikan buku-buku dan kertasku secara perlahan. Takut mengganggunya yang fokus membaca buku.

Sesaat setelah aku ingin beranjak berdiri, ia berkata :

"Duduk"

Eh? Ternyata ia tak menyuruhku pergi secara implisit. Syukurlah, sebenarnya aku tak tahu lagi tempat selain perpustakaan yang cukup tenang untuk mengerjakan tesis.

Baru kusadari, Gavin menatapku intens. Seakan ingin mengatakan sesuatu.

"Kenapa?" ku beranikan diri untuk bertanya.

"Saya... ingin membuat sebuah pertukaran" ucap Gavin ragu

"Hah?" tanyaku heran.

Apa yang dimaksudnya dengan pertukaran?

"Ehm, sepertinya... kamu kesulitan mengerjakan tesis?" tanya Gavin memastikan.

POV END

"Iya! Banget! Aku gatau lagi harus gimana, pusing banget! Aku uda coba mikir segala hal, coba ini coba itu, perbaiki ini perbaiki itu, tapi tetep aja otak aku mampet" jawab Alana panjang lebar.

Ia memang jadi sangat sensitif dan banyak bicara jika menyangkut tesisnya.

"Pelankan suaramu! Kita sedang di perpustakaan" ucap Gavin sadar orang-orang mulai memperhatikan mereka.

"Oh iya... Hehe maaf" ucap Alana malu.

Hening sejenak....

"Mau saya bantu mengerjakan tesis?" ucap Gavin pada akhirnya.

Alana terbelalak kaget. Ia sama sekali tak menduga bahwa Gavin yang akan terlebih dahulu menawarkan bantuan.

Tanpa pikir panjang, Alana langsung menganggukkan kepalanya. Rasanya, ia akan melakukan apapun demi tesisnya.

"Tapi sebagai gantinya, tolong bantu saya menulis lagu" ucap Gavin terus terang.

Ya, inilah ide pertukaran yang Gavin maksud. Dengan itu, baik Alana maupun Gavin akan mendapat keuntungan.

Memang awalnya Gavin tak mau berurusan lagi dengan Alana, tapi ia rasa... tak buruk juga bekerja sama dengannya.

Alana diam sejenak. Benar juga, tak mungkin Gavin membantunya tanpa mengharapkan imbalan apa-apa.

Sesungguhnya, ia tak banyak mengetahui tentang musik. Namun, mungkin yang dimaksud Gavin adalah... Alana membantunya untuk menulis lagu berdasarkan perasaannya sendiri.

Alana senang mengetahui Gavin mulai membuka diri padanya.

"Oke!" terima Alana pada akhirnya.

Gavin bernapas lega. Ia senang idenya berhasil. Karena sejujurnya, ia tak tahu bagaimana cara yang benar untun menumpahkan perasaannya ke dalam lagu.

Seperti yang kalian tahu sejak awal bukan? Ia adalah pria yang kaku.

"Baik. Kapan kamu bisa meluangkan waktu?" tanya Gavin kemudian.

Mereka harus menyusun jadwal pertemuan bukan? Karena untuk waktu selanjutnya, mereka akan benar-benar bekerja sama.

"Hm... gimana kalo besok?" saran Alana.

"Besok ya? Saya rasa bisa" ucap Gavin.

"Oke! Kalo gitu besok yaa!" jawab Alana penuh antusias.

"Kamu bisa jam berapa?" tanya Gavin.

"Gimana kalo jam 11? Besok aku cuma punya kelas pagi. Kamu bisa ga?" jawab Alana.

"Saya baru selesai kelas pukul 11.30, jam 1 saja bagaimana? Kita harus makan siang dulu, bukan?" ucap Gavin.

Eh, yang dimaksud Gavin itu mereka akan masing-masing, atau mereka makan bersama lalu baru berdiskusi? Alana bertanya-tanya akan maksud ucapan Gavin.

"Ya?" jawab Alana bingung

"Besok, kita makan siang bersama dulu. Baru nanti kita diskusi, sekalian saja. Jadi nanti kita diskusi di cafe sehabis makan" terang Gavin.

Ia sadar, ucapannya mungkin terdengar ambigu bagi Alana. Makanya, Gavin dengan cepat menerangkan maksud ucapannya.

"Oh, gitu... Oke! Ketemu di cafe mana?" tanya Alana.

"Tidak usah, nanti tunggu saya di depan gerbang kampus. Kamu pergi bareng saya" ucap Gavin.

"Eh? Yakin? Ga ngerepotin nih?" tanya Alana memastikan.

"Iya, nanti akan saya hubungi sehabis kelas besok. Sampai jumpa" ucap Gavin sembari bangkit berdiri

"Okee! See you ya!" ucap Alana mengakhiri obrolan mereka.

(Oh ya, gausah khawatir. Daritadi mereka ngobrol secara perlahan kok, jadi tidak mengganggu sekitar perpustakaan. Lagipula, mereka duduk di pojok ruangan, jadi tidak terlalu diperhatikan)

Setelah itu, Gavin meninggalkan perpustakaan. Baik ia maupun Alana, harus mempersiapkan diri untuk esok hari.

Tanpa sadar, takdir benar-benar membimbing mereka untuk tetap mengenal satu sama lain...