webnovel

Garam Kasar dan Penganut Wurake

Setahunan melewati hari tanpa ada pikiran yang tidak-tidak tentang Rania, pada akhirnya terusik dengan peluh serta sikap ketus Rania barusan. Pikiran jelek ini kembali menyerlah. Lalu, masih digerogoti rasa penasaran, diam-diam aku kembali ke kamar.

"Ra ...." Baru saja juga aku mendongakkan wajah di depan pintu kamar, tiba-tiba saja pula Rania telah memelototiku. 

"Kenapa?" tanyanya sambil berkacak pinggang.

"Tidak!" sahutku. "Saya hanya mau nanya, kamu belum tidurkah?" Aku asal bicara saja.

"Memangnya, kamu liat saya lagi apa?" jawabnya balas bertanya.

Sialan betul ini perempuan. Lalu, untuk yang kedua kalinya, aku membalikkan badan, beredar dengan wajah bersungut-sungut. 

Malam telah larut, tidak ingin mengganggu Rania, aku pun hanya duduk diam di ruang tamu, menunggu hingga kantuk datang menyapa.

***

Rembulan tampaknya akan bercahaya penuh di malam ini. Aku yang tengah bersiap menyalakan api unggun di halaman rumah, tiba-tiba dikejutkan oleh jerit tertahan Rania. Karenanya, secepat itu juga aku masuk ke dalam rumah. 

Di situ, aku mendapati Rania yang dari gelagatnya tampaknya ia akan segera melahirkan. Itu bisa terlihat dari banyaknya cairan yang menjalar di seputaran paha hingga betisnya. 

"Bary! Tolong panggilkan saja Mama Yohana, biar cepat," pinta Rania sambil memasang mimik perih.

Mendengar nama Mama Yohana, tegas aku menolak. Meskipun Mama Yohana masih punya hubungan kekerabatan dengan Rania, tetapi hingga detik ini, aku masih belum bisa mempercayai bahwa wanita tersebut akan aman bagi Rania dan bakal bayinya. Rumor tidak sedap sudah terlanjur melekat pada diri Mama Yohana.

Pun aku, coba pulalah menawarkan nama Bidan Beranak lain yang ada di kampung ini. aku sempat menyebut dua hingga tiga nama. Akan tetapi, dengan berbagai dalih, Rania juga bersikeras tetap meminta untuk dipanggilkan Mama Yohana. 

Sempat berdebat dan terus berusaha menolak keinginan Rania, tetapi karena tidak tega melihat mimik kesakitan di wajah Rania, pada akhirnya aku mengalah. Setelah itu, aku menyiapkan sesuatu, kemudian pergi menemui Mama Yohana.

Azan Isya telah usai berkumandang ketika aku sampai di depan pintu rumah Mama Yohana. Sebelum mengetuk pintu, diam-diam aku lebih dulu menabur butiran garam kasar di depan pintu rumah Mama Yohana. Sengaja aku melakukan ini, demi memastikan sesuatu dari wanita renta yang dicurigai oleh banyak orang.

 

"Assalamualaikum ...." 

Belum sempat merampungkan salam, Mama Yohana sudah berdiri di depan pintu. Aku sempat terperangah dengan kepala wanita tua ini yang tiba-tiba muncul di depan pintu. Karenanya, buru-buru pulalah aku menguasai diri.

"Semoga orang tua ini tidak tahu apa yang saya lakukan," bisikku dalam hati. Di sini, aku sedikit was-was.

"Istrimu mau melahirkan, ya, Nak?" tanya Mama Yohana.

Sontak aku mengernyit. "Tau darimana, Nek?" jawabku balas bertanya.

"Ya, taulah! Kamu, 'kan ndak pernah injakkan kaki di rumah nenek ini. Alasan apa lagi yang membawa kamu ke sini kalau bukan untuk alasan itu?" terangnya.

"Iya, tapi Nenek tau darimana kalau istriku mau melahirkan?" Aku semakin was-was.

"Istrimu 'kan sedang hamil besar," imbuhnya.

"Masuk di akal juga," batinku. 

"Iya, Nek. Kalau bisa, tolong cepat sedikit. Dari tadi Rania kesakitan."

"Tunggu sebentar, ya! Nenek ambil dulu perlengkapannya." Betapa ramah suara Mama Yohana ini. Akan tetapi, aku sudah terlanjur tidak terkesan.

Tidak seberapa lama kemudian, Mama Yohana langsung masuk ke dalam rumah, sedangkan aku menunggu di depan pintu. Tidak berapa lama kemudian, ia sudah kembali dengan sesebenda di tangan.

"Ini, tolong bantu pegang!" 

Tanpa kata, aku menyambut peti kayu berukuran kecil yang ia disodorkan. Lalu, usai merapatkan pintu rumah, tampak Mama Yohana hanya mematung di depan pintu. Aku juga hanya diam di tempat.

"Ayok!" seru Mama Yohana setelah barusan hanya mematung sambil menatapku.

"Duluan, Nek!" Aku tidak ingin melangkah lebih dulu. 

Tidak berapa lama kemudian, Mama Yohana tampak mulai mengalah. Ia pun mulai mengayunkan langkah.

Saat Mama Yohana melangkahi butiran garam, seketika itu juga ia bersin-bersin. Tidak salah lagi, dia seorang Wurake. Sudah bukan rahasia lagi jika pantang bagi seorang Wurake melangkahi garam.

"Cepat!" sergahku tanpa memedulikan siapa Mama Yohana, juga orang yang berada dalam rumahnya.

Mama Yohana seperti terkesiap. Sedangkan orang yang berada dalam rumahnya, tampaknya tak ada yang menyadari keadaan ibu mereka. Setelahnya, dengan kepala tertunduk lesu, Mama Yohana pun mulai melanjutkan langkah.

Di perjalanan, aku akan membentaknya dengan suara yang sangat keras lagi ketika Mama Yohana coba memperlambat langkah. Karenanya, di bawah cahaya rembulan, tubuh wanita tua ini terlihat gemetaran. 

Setelah melangkah hingga beberapa puluh meter kemudian, Mama Yohana menoleh. Bibirnya bergetar seperti ingin mengucapkan sesuatu. Aku menatapnya, tajam. Mama Yohana kembali menundukkan wajah.

"Jalan!?" Kembali aku membentaknya. Ia patuh.

Aku sudah mengalahkan perempuan tua ini. Suara lantang yang mengagetkannya barusan tadi, telah menutup celah baginya untuk memulai segala ilmu hitam yang ada dalam dirinya. Aku meyakini itu.

Gerakan, atau suara mengagetkan lawan tanpa sepatah mantra pun, kami orang setempat menyebutnya Pasingara. Laku yang demikian ini sudah sangat masyhur di kalangan kami, bahkan di tanah ini secara luas. 

Pasingara, laku mendahului dan mengagetkan lawan, kami yakini ampuh melumpuhkan ilmu hitam musuh selama dilakukan pada momen yang tepat.

Pun, dengan langkah bergetar, tanpa berucap barang sepatah kata pun juga, Mama Yohana terus saja mengayunkan melangkah. Sedangkan aku, terus saja juga membayanginya. 

Aku akan membentak hingga mencacinya jika ia coba memperlambat langkah.

Walau tanpa mengatakannya sekalipun, aku tahu, perempuan tua ini sudah tahu jika aku sudah mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. 

Sepanjang jalan aku terus menekannya. Bahkan, ketika Mama Yohana hendak memasuki rumah, aku kembali mengancamnya.

"Ingat Mama Yohana!" Aku tidak lagi memanggilnya dengan sebutan Nenek. "Kalau sampai Rania dan bayinya kenapa-kenapa, saya pastikan, besok Mama Yohana tidak akan pernah bisa lagi ketemu dengan anak cucu Mama Yohana. Awas memang kalau kau sampai berani macam-macam?!"

Mama Yohana bungkam seribu bahasa.

Pun, sedang Mama Yohana membantu persalinan Rania, aku masih terus saja mengawasinya. Aku bahkan tidak beranjak barang sebentar pun dari pintu kamar. Aku hanya beranjak ketika Mama Yohana memerlukan air hangat dan baskom. Itu pun, setelah aku lebih dulu menatapnya dengan tajam sebelum meninggalkan mereka. 

Hingga pecah suara tangis bayi kami, keadaan semuanya baik-baik saja. Usai Mama Yohana membereskan ari-ari, dan memotong tali pusar bayi, aku mengantar pulang Mama Yohana. Saat hendak berpisah, aku memberinya satu peringatan keras.

"Ingat Mama Yohana!" ucapku dengan nada penuh ancaman. "Dulu, rumah pak Romi dibakar orang. Semua keluarganya menghilang, sampai hari ini belum ada kabar, apakah mereka masih hidup atau sudah mati."

"Padahal, mereka belum tentu bersalah. Kalau ada apa-apa sama anak istriku, saya sendiri yang akan datang kasi terbang kepalamu! Ingat itu!"

Mama Yohana tidak menjawab barang sepatah kata pun. Ia terus menunduk begitu bahkan sudah sejak aku membentaknya usai bersin-bersin, saat pertama kali meninggalkan rumahnya barusan tadi.

Dengan Rania, tadi mereka mereka saling bicara, tetapi aku tidak tahu mereka membicarakan apa. Mungkin tentang proses melahirkan, atau mungkin juga karena mereka masih punya hubungan kekerabatan. Aku tidak tahu sama sekali.