webnovel

3

3. Hidup baru

Meski Kei sudah cuci muka, aroma darah ayam itu masih ada. Bercampur dengan aroma debu dan keringat. Kei menghela nafas panjang saat keluar mobil. Pasti Sherin akan menceramahinya lagi.

"Sheriiiin!!! Kakak pulang!" Kei berteriak begitu keras. Tentu saja Sherin yang sedang khawatir di rumah mendengarnya.

"Rangga jalan duluan! Aku lagi ngga mau dengar ceramahnya Sherin!" Kei mendorong Rangga ke depannya.

Sherin membuka pintu dengan amarah. Ia bersumpah akan menceramahi Kakaknya. Tapi saat wajahnya bertatapan dengan wajah senyum Rangga, amarahnya menguap.

"Eh Kak Rangga! Ayo masuk..." Sherin berbicara dengan senyuman yang begitu manis namun di penuhi peringatan dingin yang mengarah kepada Kei.

Kei mengusap tengkuknya yang terasa dingin. 'Ah.. si Adek pasti pengen marah-marah nih...'

Dengan membatin perlahan, ia menghela nafas pelan. Lalu melangkah perlahan menemui adiknya yang wajahnya sudah gembung karna marah. Kei mencubit pipinya gemas.

"Utututu... Sherin adikku ini gemas sekali... Pengen ku cium deh jadinya..."

Sherin menepis tangan Kei, tangan Kei masih di penuhi aroma darah Ayam. Sherin merasa mual dengan amisnya darah. "Aku enggak tau Kakak habis ngapain, tapi sebaiknya mandi aja deh sana."

"Hehe..." Kei tertawa kecil saat melangkah ke dalam rumah. Berkat sisa aroma darah, Kei selamat.

Saat Kei hendak memasuki kamarnya, terdengar suara teriakan panik orang-orang. Kei menatap Rangga yang sedang menonton, mengangkat kepalanya dengan isyarat yang mengatakan 'Ada apa?'

Rangga hanya menggeleng. Rangga terlalu malas melangkah keluar. Kepalanya masih pusing karna muntah tadi, ia hanya ingin istirahat sekarang. Vian sedang asik memasak bersama Sherin dan Bibi sehingga tak mendengar suara apapun.

Awalnya Kei juga ingin mengabaikan suara itu. Tapi sinar terang yang semakin terang di sisi rumahnya tak bisa di abaikan. Kei melihat ada sesuatu yang semakin membesar dari langit melesat menuju rumah Kei.

"Semuanya! Keluar dari rumah sekarang! Ayo!" Kei berteriak memperingatkan.

Rangga tidak tau apa yang terjadi, tapi ia tetap waspada. Kei Segera berlari ke dapur untuk memanggil yang lainnya. Firasatnya mengatakan kalau cahaya terang itu akan menjadi malaikat mautnya.

Kei menarik tiga manusia di dapur. Beserta Rangga, mereka pergi bersama menuju pintu keluar. Saat semua orang sudah keluar, Sherin tersandung dan ia terjatuh dengan suara berdebam yang sangat keras. Kei yang sudah sampai di halaman depan, melihat di langit betapa dekatnya bintang yang jatuh menuju atap rumahnya. Kei segera memasuki rumahnya untuk membawa Adiknya keluar. Namun sebelum ia berhasil keluar halaman, semuanya telah berakhir.

Kei merasa seperti baru saja bangun dari mimpi. Semuanya terjadi begitu saja, tak ada rasa sakit maupun logika. Kei berkedip beberapa kali, lalu menoleh kanan kiri. Dimanakah ia kini berada?

Kabut di sana sini, tanpa aroma atau benda apapun. Dan kabut itu terus bergerak-gerak, atau dirinyalah yang bergerak?

"Ohohoho!" Tawa khas kakek tua terdengar dalam Indra pendengaran Kei.

Kabut menyingkir, lalu sebuah kastil megah dengan ruangan lebar terbentang di hadapan Kei. Aula yang begitu luas dengan dinding berwarna putih dengan ornamen emas. Selain Kei, ada lagi seorang Kakek tua yang duduk di singgasana emas.

Kakek itu mengusap janggut panjangnya dengan tawa lega. "Ternyata datang juga pada akhirnya... Hm... Yap Cassey benar, aku melakukan kesalahan.."

Kei menatap kakek Tua yang entah berbicara dengan siapa. "Sepertinya aku sudah mati ya?"

Suara Kei saat itu terdengar kesepian dan dingin. Bahkan di Kakek tua sedikit terkejut karnanya. "Be-benar."

"Bagaimana nasib teman dan keluargaku?" Kei bertanya dengan senyuman miris di wajahnya.

"Tunggu sebentar... Sesaat sebelum bintang jatuh itu mengenaimu, Bibi dan temanmu mendekatimu untuk membantu. Tapi kecepatan bintang itu lebih cepat dari mereka. Kalian mati di timpa bintang jatuh. "

"Dimana mereka? Bisakah aku bertemu mereka?" Kei bertanya lagi.

"Maaf Kei, aku hanya Dewa kecil yang menjaga para roh dalam perjalanannya. Setelah kematian, aku akan mengumpulkan para Roh dan mengantar mereka ke Dewa Reinkarnasi. Keluargamu baru saja pergi menemui Dewa itu." Kakek tua berkata dengan nada Sendu.

"Lalu apa kesalahan yang kau maksud?" Kei bertanya dengan rasa ingin tau.

"Aku adalah dewa pengantar Roh, setelah Roh di ciptakan, mereka akan di kirim melalui dunia tertentu sesuai dengan garis takdir yang di berikan. Dan kamu Kei, Kamu di takdirkan lahir sebagai seorang lelaki. Dan itu juga bukan duniamu. Haih... karna kesalahanku kamu menjalani kehidupan yang salah dengan wajah yang salah... "

Wajah Dewa pengantar Roh itu terlihat kecewa. "Kamu begitu bersemangat saat menemui roh ku, lalu akankah engkau menebus kesalahanmu?"

Dewa pengantar Roh menatap Kei. "Tentu saja aku akan menebusnya, Raja Dewa telah menghukum ku dengan banyak cara karna kesalahan kecil ini. Karna kesalahanku, Takdirmu berubah. Aku akan mengirimmu ke tempat seharusnya kau berada. Sebagai kompensasi atas kesalahanku, aku akan membiarkanmu mempertahankan ingatanmu di kehidupan sebelumnya. "

"Terserah..." Kei tidak terlalu peduli sebenarnya. Namun ada semangat saat ia mendengar kalimat 'kamu di takdirkan lahir sebagai seorang lelaki'. Bukankah itu yang sejak dulu ia impikan dan inginkan?

Dewa pengantar Roh itu mengangkat tangannya, lalu sebuah pintu terbuka di belakang Kei. "Pergilah, ketika kau keluar dari pintu itu kau akan kembali ke dunia tempat seharusnya kau berada. "

Kei tidak suka di perintah, tapi cahaya itu begitu menarik hingga Kei tanpa sadar berjalan ke sana. Begitu ia membuka mata, sebuah pemandangan musim gugur menyambutnya. Saat ini Kei sedang berbaring di atas dedaunan kering yang gugur dari pohonnya.

Kei mencoba berdiri, hanya dengan dua langkah saja ia mulai terjatuh. 'Apakah aku masih bayi?'

Kei yang terjatuh melihat sepasang cakar di depannya. Dirinya bertanya-tanya apakah ini cakarnya? Atau dia saat ini sedang bersama binatang buas?

Kei mencoba menggerakkan kedua tangannya untuk duduk. Benar saja, Kei adalah Binatang buas itu sendiri. Dua pasang cakar berbulu itu adalah miliknya. Ekor dan bulu yang lebat melekat pada dirinya. Serta Cakar tajam dan mengkilap yang bisa ia keluarkan kapanpun.

Kei ingin memastikan satu hal. Ia mendudukkan tubuhnya, mengangkat kaki belakangnya lalu menyingkirkan ekornya, benar, ia lelaki. Seperti yang ia inginkan tapi... "Tapi mengapa Lelaki dari Spesies Serigala!"

Kei menatap langit dengan mengacungkan kedua jari tengahnya. Setelah puas mengumpat begitu lama. Kei mencoba berjalan dengan empat kakinya. Ini pertama kalinya ia berjalan dengan empat kaki, sehingga Kei terlihat buruk. Jalannya sempoyongan dengan kaki yang terlihat lemah.

Kei jadi ingat dengan kucing peliharaan Vian yang melahirkan anak-anak kucing. Kei ingat persis jalannya anak kucing yang baru saja belajar jalan. Pasti ia terlihat buruk sekarang. Kei melihat kanan dan kiri, untung saja tidak ada orang.

Hidung Kei mencium aroma mahluk lain. Moncong Serigala itu naik ke udara untuk membau aroma. Telinganya juga di gunakan untuk mendengar sekitar. Mengikuti instingnya, Kei melangkahkan kakinya dengan penuh kekuatan. Lantas melompat begitu tinggi untuk menerkam pihak lain.

"Aduh... "

Kei lagi-lagi di buat terkejut. Mahluk yang di terkamnya adalah seorang manusia dengan telinga dan ekor serigala. Bahkan kakinya juga berbentuk seperti kaki belakang serigala. Kei mencium aroma wanita yang di terkam olehnya. Kei mengendus aroma lehernya, entah mengapa Kei merasa nyaman setelah mengendusnya.

"Kei... " Wanita itu bangun dari duduknya setelah Kei berbaring manja di pelukannya. Kei tidak mengenal siapa wanita itu, tapi berada di sisinya seperti berada di pelukan Ibunya.

Wanita itu mengusap rambut kepala Kei. Suasana hati Kei sedang baik saat ini, bahkan ekornya bergoyang dengan sendirinya. "Ibu terkejut Kei sudah bisa menerkam, padahal Kei masih kecil. Apalagi Kei sudah bisa berbicara. Kei tumbuh terlalu cepat."

Ekor Serigala itu berhenti bergoyang. Dengan kepala yang di miringkan, Kei membuka mulutnya untuk bertanya. "Ibu? Akankah Kei nanti seperti Ibu? Berubah ke bentuk semi manusia?"

Wanita Serigala itu memeluk Kei dalam pelukannya. Kei menghirup aroma Ibunya dalam-dalam. Aroma Ibunya seperti lilin aromaterapi yang menenangkan penghirupnya. "Nanti saat ritual di desa di adakan ya, sekarang mari makan. Tim pemburu sudah kembali. Ibu akan memasakkan makanan kesukaan Kei."

Kei tidak bisa melihat wajah Ibunya karna sedang di peluk. Tapi dari nada bicara Ibunya, Kei tau ada sesuatu yang salah. Kei juga melihat kalau Bulu ekor milik ibunya berwarna merah. Sementara bulu tubuh Kei berwarna putih keperakan.

Setelahnya Ibunya berjalan di depannya, dan Kei berjalan dengan keempat kakinya. Karna lompatan sebelumnya, langkahnya kini menjadi lebih lancar. Punggungnya terangkat dan langkahnya hati-hati. Sepanjang perjalanan sepasang mata Kei tak henti menatap sekitar. Rasanya tatapan orang desa kepada Ibunya di penuhi kebencian. Bahkan kepada dirinya yang merupakan Serigala kecil. Sepertinya sesuatu tak semudah yang di pikirkan Kei.

Kei melihat mayoritas penduduk desa memiliki bulu berwarna merah. Saat melirik bulunya sendiri, Kei merasa kalau dirinya mungkin adalah anak Ibunya dengan Kawanan Serigala lain. Sepertinya Ayahnya bukan dari kawanan yang tinggal di desa ini.

Kei melihat Ibunya terlihat sedih. "Ibu tidak apa-apa?"

Serigala kecil Kei bertanya. Ibunya hanya bisa tersenyum miris dengan air mata mengalir di pipinya. Setelah menghapus air matanya, Ibunya Kei menggendong Kei lalu berjalan lebih Cepat. Kei di gendong menuju rumah paling besar di desa itu.

Tampaknya Pemimpin di kawanan itu adalah Ayah dari Ibunya Kei, atau Kakeknya Kei. Tampaknya Kakeknya tidak menyukainya. Tatapan yang begitu tajam dan penuh kebencian. Kei jadi semakin ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Kei di bawa ke sebuah ruangan kecil di rumah itu.

"Kei tunggu di sini ya, Ibu akan pergi memasak dulu. "

Kei mengangguk. Tapi Kei bukanlah anak penurut. Ia diam-diam mengikuti Ibunya. Ibunya memasak di dapur bersama Neneknya. Di ruangan lain, ada Pamannya dan Kakeknya yang sedang sibuk berlatih.

Kei kembali melihat dapur. Dengan waktu yang sedikit lama. Masakan itu akhirnya selesai. Terlihat keluarganya makan tanpa Kei. Saat selesai makan, Ibunya mengambilkan satu mangkuk untuk Kei. Tapi Neneknya menghadangnya dan berkata.

"Untuk siapa kau membawa itu?"

"U-untuk Kei I-ibu..."

"Sampai berapa kali ku bilang, bajingan kecil itu seharusnya Kau buang saja! Untuk apa kau beri dia makan! Entah bibit serigala liar mana yang kau bawa itu! Aku tidak suka padanya dan sangat membencinya! Karna kehadirannya lah pernikahanmu dan kawanan Serigala di sebrang sungai gagal! Tidakkah kau tau kesempatan apa yang kau lewatkan! " Nenek tua itu marah marah Hinga ekornya mengembang. Karna kesal, Neneknya membanting mangkuk yang di pegang Ibunya ke lantai. Isi mangkuk berserakan kemana-mana.

"Ibu..." Ibunya Kei berkata lirih dengan air mata yang mengalir. Ada kesedihan yang dalam dari sepasang mata itu.

"Cih!" Nenek jahat itu meninggalkan ruang makan bersama Kakeknya.

Pamannya saat itu menepuk bahu Ibunya. "Tidak apa-apa Kak, aku punya ini."

Pamannya memegang ranting beri. "Terima kasih adik! Kei pasti lapar..."

Ibunya membawa ranting yang masih di tempeli buah beri. Kei segera melesat menuju ruang kecil sebelumnya. Saat itu malam tiba, untungnya bulu tubuh Kei begitu lebat hingga ia tidak merasakan dingin.

"Kei ayo makan, perutmu pasti lapar." Kei mengendus buah beri. Sejujurnya Kei tidak suka buah atau sesuatu yang manis. Apalagi sejak ia menjadi Serigala, mencium aroma berinya membuat Kei ingin muntah.

Kei tau seberapa besar kesedihan yang di tanggung wanita di depannya. Kei tidak boleh pilih-pilih makanan untuk saat ini, ia harus memakan apa yang Ibunya berikan. Maka Kei memaksakan diri untuk menelan beri manis masam di ranting. Setiap menelan satu tegukan kecil, Kei akan merasa mual. Perutnya menolak untuk menelan beri. Tapi untuk Ibunya, Kei akan menelannya.