webnovel

Seseorang dari Masa Lalu

'Dia masih hidup. Dia selamat. Dia benar-benar pulih.'

Untuk sesaat, aku hanya berdiri membeku. Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku tak bisa bicara, apalagi bergerak. Untuk waktu yang lama, kami hanya saling menatap satu sama lain.

Aku merindukan Yesha setiap saat dan selalu berharap Yesha berada di sisiku. Aku ingin bercerita padanya—tentang hidupku, tentang kerinduan dan perasaanku padanya, tentang kekhawatiranku pada Zola. Aku ingin menceritakan semua itu. Namun, aku hanya bergeming.

Kejadian malam itu selalu membayangiku.

Kedua tanganku terkepal erat di sisi tubuhku. Kenapa dia ada di sini?

"Gue bayar mahal bukan cuma buat ngeliat cewek setengah telanjang bengong di depan gue," ujar Yesha. Perkataannya menyentakkanku dari semua lamunan. Yesha menggoyangkan telunjuknya sebagai isyarat agar aku mendekat padanya.

Yang kuinginkan hanya berlari keluar dari ruangan ini, tetapi aku malah berjalan mendekat. Jantungku serasa seperti hendak merobek dadaku. Meski perasaanku tak keruan, tetapi bibir merahku menyunggingkan senyum menggoda ke arahnya. Senyuman yang sudah kulatih selama ini, sehingga tidak peduli perasaan apa yang tengah berkecamuk di dalam dadaku, aku akan tetap bisa tersenyum secara otomatis. Senyuman bukan lagi sesuatu untuk mewakili perasaanku, melainkan sebuah keharusan.

Dua puluh langkah ke arah Yesha terasa begitu panjang seakan aku berjalan berkilo-kilometer jauhnya. Semakin pendek jarak di antara kami, semakin jelas pula raut wajah Yesha.

Kurang lima belas langkah ….

Dia terlihat semakin tampan. Rahangnya yang kokoh serta mata coklat dan tatapannya yang tajam.

Sepuluh langkah lagi ….

Raut wajahnya tampak menggelap. Aku bisa melihat rahangnya menegang.

Lima langkah lagi ….

Yesha menyandarkan punggungnya ke sofa, kedua kakinya terpentang lebar.

Tiga langkah lagi ….

Semua ketegangan itu lenyap, digantikan oleh senyuman mengejek yang tersungging di bibirnya. Meski begitu, aku bisa melihat kalau senyuman itu tak sampai di matanya. Sorot matanya dingin dan itu membuatku ingin kabur darinya. Namun, aku justru mengambil tiga langkah terakhir ke arahnya dan kini jarak kami tak lebih dari sejangkauan tangan.

'Aku harus melakukan ini. Aku harus mengumpulkan uang sebanyak mungkin secepatnya. Zola tidak bisa menunggu selamanya. Aku harus segera menemukannya.'

Entah bagaimana, aku merasa Zola sedang berada dalam bahaya. Dia sedang kesulitan. Dia membutuhkan bantuanku. Dan aku rela melakukan apa pun demi bisa melakukan sesuatu untuk membantunya. Tak peduli kalau itu mengharuskanku untuk menjual diri pada mantan kekasihku sendiri.

Aku mengambil botol berisi anggur, kemudian membuka sumbatnya. Setelah itu menuangkan isinya ke gelas sampai setengah penuh. Cairan berwarna merah gelap agak keunguan berkilau ditimpa cahaya lampu. Senyum masih tersungging bibirku. Dan aku bersyukur karena tanganku tidak gemetar saat menuangkan minuman.

"Duduk," perintah Yesha.

Ketika akan duduk di sebelah Yesha, dia kembali berkata, "Bukan di situ."

Aku terdiam sejenak, bingung dengan apa yang sebenarnya diinginkan Yesha. Setelah beberapa detik, baru aku memahami maksudnya. Tanpa mengatakan apa pun, aku menurutinya dan duduk di pangkuan Yesha. Aku terkesiap saat tangannya yang kuat melingkari pinggangku, lalu menarik tubuhku mendekat.

"Mengecewakan. Padahal gue minta yang terbaik sama Rascal, tetapi sepertinya lo masih amatir," bisiknya. Wajah kami sekarang sangat dekat. Bahkan ujung hidung Yesha menyentuh pipiku. Aku bisa merasakan napasnya yang panas.

Jemari lentikku otomatis bergerak ke kancing kemeja Yesha, memainkannya sebentar sebelum kemudian membuka kancing teratasnya. Kutelengkan kepalaku, kemudian menatap lurus ke matanya. "Akan kubuktikan kalau aku yang terbaik di sini," kataku lebih seperti sebuah dengkuran.

Yesha tersenyum mengejek. "Benarkah? Buktikan."

Aku tersenyum menantang. "Kamu ingin aku melakukan apa?" tanyaku, masih dengan suara manja.

Dia menganggukkan kepalanya ke arah gelas di tanganku. "Minum."

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku langsung menenggak minuman pada gelas di tanganku dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Aku tak pernah suka minum sebelumnya—aku membenci segala hal tentang alkohol. Ayah tiriku dulu pemabuk berat dan saat dia mabuk, hidupku yang sudah seperti di neraka terasa semakin memuakkan. Namun, jika ini bisa menyelamatkan Zola, maka persetan dengan apa yang kusuka dan tidak.

Yesha mengulurkan tangan untuk mengambil botol anggur di meja, dengan aku masih berada di pangkuannya, kemudian menuangkan isinya ke gelas dan memintaku meminumnya lagi. Aku melakukannya tanpa mengatakan apa pun.

Jika seseorang melakukan pelayanan privat, pelanggan berhak meminta pelayannya melakukan apa pun. Mereka juga boleh menyentuh kami—meski masih dengan batasan-batasan tertentu. Itulah gunanya para bodyguard di sini. Mereka memastikan para pelanggan tidak melewati batas.

Setelah menghabiskan gelas ketiga, aku mulai merasakan pening. Meski begitu, aku merasa lebih santai.

"Senang bisa bertemu lagi denganmu, Hanasta," bisik Yesha di telingaku. "Oh, maaf. Maksudku Rose."

Aku berusaha menelan ludah dengan tak kentara.

"Tahu tidak? Udah lama gue nyariin lo. Bertahun-tahun lo menghindar dari gue, kemudian tiba-tiba 'puff!' lo menghilang. Gue kagum karena lo bisa bersembunyi cukup lama dari gue," ujar Yesha. Aku bisa mendengar ketegangan di dalam suaranya serta merasakan embusan napasnya yang panas di leherku.

Aku sama sekali tak tahu apa yang diinginkan Yesha. Saat dia mengecup leherku—tanpa bisa kutahan, sebuah rintihan lolos dari mulutku. Wajahku serasa terbakar. Namun, kutepiskan semua perasaan malu itu. Untuk beberapa saat, tidak ada yang bicara di antara kami. Entah bagaimana, tiba-tiba aku sudah berada di sofa dengan Yesha berada di atasku. Mulutnya berada di mulutku, sedangkan kedua kakiku terpentang lebar.

Ciumannya terasa sangat kasar. Di luar keinginanku, aku membalas ciumannya. Aku terkesiap saat Yesha menggigit pelan bibirku. Kemudian, dia melepaskan ciuman kami dan beralih menjelajah leherku.

'Apa ini masih diperbolehkan? Kenapa bodyguard tidak melakukan apa pun untuk menghentikan kami?'

Namun, aku tak yakin kalau aku ingin berhenti. Kemudian, aku mendengar Yesha terkekeh. "Gue sama sekali nggak nyangka nemuin lo dalam keadaan seperti ini."

Kesadaranku pun seketika kembali. Yesha membungkuk di hadapanku, tubuhnya mengungkung tubuhku. Dia memandangku dengan tatapan mencemooh dan … jijik? Aku melihat ada perasaan jijik di wajah Yesha, dan itu membuat hatiku serasa seperti diremas tangan tak kasat mata.

Napas kami sama–sama terengah. Saat Yesha akhirnya menegakkan tubuhnya dan berdiri, aku menegakkan tubuhku untuk memberinya sedikit jarak.

"Sampai kapan kamu mau lari dariku, Rossie?"

Tubuhku berubah kaku. Kedua tanganku terkepal, tetapi bibirku terkatup rapat.

Yesha menyugar rambutnya. "Aku punya sebuah penawaran untukmu," ujar Yesha. "Menikahlah denganku selama setahun. Gue bakal ngasih berapa pun yang lo mau, dan lo nggak perlu jual diri kayak gini lagi.

Kita sama-sama untung."

Sebelum menyadari apa yang kulakukan, aku berdiri dan langsung melayangkan tamparan ke wajah Yesha. Mataku terasa panas. Amarah bergolak di dadaku. Aku sadar pekerjaanku ini hina, tetapi aku tak pernah menyangka penghinaan itu datang dari Yesha.

Aku menghambur melewatinya. Namun, langkahku seketika terhenti ketika tiba-tiba Yesha berkata, "Lo udah ninggalin gue."