webnovel

Pilihan

'Andai punya pilihan, aku pun tak ingin meninggalkanmu.'

Aku ingin sekali meneriakkan itu pada Yesha. Namun, aku tidak bisa. Aku tidak mau. Lebih baik kami begini—bersikap seolah tak pernah saling jatuh cinta. Selamanya. Butuh keteguhan hati yang luar biasa untukku agar tidak berbalik dan menghambur ke pelukan Yesha.

Aku menarik napas panjang.

Aku baru akan kembali melangkah ketika Yesha tiba-tiba meraih pergelangan tanganku. "Dengerin gue dulu, Na. Pertimbangkan dulu penawaran gue," ujar Yesha.

"Tapi berjanjilah, setelah gue dengerin lo, lo harus menerima apa pun keputusan yang gue ambil dan jangan ganggu gue lagi," kataku tanpa berbalik.

Hampir seketika Yesha menjawab, "Ya."

Aku berbalik, kemudian mengikuti Yesha kembali ke sofa. Mendadak aku merasa sangat terpapar. Yesha sepertinya menyadari ketidak-nyamananku karena dia melepas jasnya, kemudian mengulurkannya padaku seraya memalingkan wajah.

"Nggak perlu," tolakku ketus. Aku memang tidak nyaman berada di dalam pakaian ini—itu juga kalau ini bisa disebut pakaian, tetapi cara Yesha menatapku meyakinkanku untuk menolak tawarannya—seberapa pun besarnya keinginanku memakai sesuatu yang layak.

Yesha mendengus. "Gue bukannya peduli sama lo, tapi gue muak ngeliat tubuh telanjang lo," sahutnya, masih tak mau memandangku.

'Kalau gitu kenapa lo datang ke sini?'

Dengan enggan, aku menerima jas itu, kemudian mengenakannya.

Cukup lama kami hanya duduk tanpa ada yang bicara sama sekali. Hanya dengung suara pendingin ruangan yang terdengar. Aku beberapa kali melirik ke arah Yesha, menduga kalau dia tertidur. Namun, Yesha seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku hampir memutuskan untuk keluar ketika akhirnya Yesha membuka suara.

"Gue mau nawarin sebuah kesepakatan sama lo," ujar Yesha. Matanya kini tampak fokus dan tajam. Suaranya terdengar mantap dan penuh keyakinan. "Gue kepingin lo nikah sama gue. Cuma setahun. Gue akan kasih apa pun yang lo minta. Rumah, uang, kehormatan. Lo nggak perlu lagi kerja jadi pelayan di tempat kayak gini. Setelah perjanjian selesai, gue nggak akan ngambil lagi semua itu dari lo. Gue justru akan ngasih lo lebih banyak lagi."

"Kenapa gue? Dan … kenapa lo ngelakuin ini?" tanyaku. Begitu banyak perempuan di luar sana yang jauh lebih cantik dariku, dengan latar belakang keluarga baik-baik, kaya, dan yang jelas … bukan mantan narapidana sepertiku.

Rahang Yesha mengencang. "Lo nggak perlu ikut campur soal alasan gue milih lo. Itu sama sekali bukan urusan lo," geramnya. Kemudian, dia melanjutkan dengan suara lebih lemah, "Dan kenapa gue ngelakuin ini, karena ini permintaan terakhir kakek gue."

Aku tersentak saat mendengar jawaban itu keluar dari mulut Yesha. Kakeknya meninggal? Kakek yang mana? Setahuku, dia memiliki tiga kakek. Kakek dari ayah kandungnya, dari ibunya, serta dari ayah sambungnya. Entah kakek yang mana yang Yesha maksud.

Aku baru membuka mulut, hendak mengungkapkan rasa simpatiku padanya ketika Yesha kembali berkata, "Tapi bukan cuma karena itu. Gue harus nikah secepatnya karena tenggat waktunya sudah hampir habis. Kalau dua bulan lagi gue belum nikah, jatah warisan gue bakal disumbangin ke badan amal. Gue akan ngasih lo setengah dari bagian warisan yang gue terima nanti."

Aku menatap Yesha dengan tatapan tak percaya. Namun, kalau dia menyadari tatapanku, Yesha tak menunjukannya. Dengan santai Yesha menuang anggur ke gelas, kemudian bersandar ke sofa, lalu menyesapnya seakan dia tidak baru saja mengatakan sesuatu yang tak pernah kusangka-sangka tercetus dari mulutnya.

Saat aku mengenalnya dulu, aku tahu dia sangat mencintai keluarganya, terutama ibunya. Aku bahkan sama sekali tidak membayangkan Yesha akan berkata seperti itu—seolah keinginan terakhir kakeknya tak lebih penting dari harta warisan. Atau mungkin, dulu aku hanya salah paham. Aku merasa mengenalnya, tetapi sesungguhnya tidak benar-benar mengenal Yesha.

"Cari perempuan lain," kataku tanpa keraguan sedikit pun.

Aku mendengar Yesha menghela napas. Kemudian, tanpa kusangka-sangka, Yesha hanya berkata, "Baiklah."

Yesha berdiri. Dia mengambil dompet dari saku celananya, kemudian mengeluarkan sejumlah uang dan meletakkannya di meja seraya berkata, "Itu tip untukmu. Terima kasih atas pelayananmu. Aku akan memberitahu Rascal agar sering-sering merekomendasikanmu kepada tamu VIP."

Tanpa menoleh lagi ke arahku, Yesha melangkah menuju pimtu keluar. Saat aku memanggilnya untuk mengembalikan jasnya, Yesha menolak.

"Pakai aja. Oh, ya. Lo bisa sisihin sedikit uang tip dari gue buat beli gaun yang layak untuk lo pakai saat ngelayanin tamu-tamu VIP. Jangan kayak sekarang. Lo jadi terkesan seperti cewek murahan." Setelah mengatakan itu, Yesha keluar dari ruangan.

Mataku terasa panas. Tenggorokanku seperti tersumbat. Dadaku terasa sesak. Kudongakkan kepalaku seraya mengerjap-ngerjap untuk menghalau air mataku yang sudah menggenang. Namun, akhirnya air mataku tetap saja menetes meski tanpa seizinku, disusul oleh isakan pertama yang lolos dari bibirku.

***

Malam itu, entah berapa lama aku menangis. Air mataku tak mau berhenti menetes, seolah tak ada habisnya.

Jasmine begitu khawatir saat mendapati diriku menangis tersedu-sedu. Dia bahkan sempat mengira Yesha telah melakukan sesuatu yang menyakitiku. Aku meyakinkan Jasmine bahwa Yesha tidak bersalah dalam hal ini. Dia tak menyakitiku. Setidaknya, bukan secara fisik.

Caranya memandangku lah yang membuatku sakit. Sekarang, aku begitu hina di matanya. Aku takkan pernah lagi melihatnya menatapku dengan penuh kekaguman dan penuh cinta. Dulu aku menyakiti Yesha karena meninggalkannya dan memutuskan hubungan kami tanpa penjelasan. Sekarang, dia semakin membenciku setelah mengetahui pekerjaan yang kulakukan.

Aku tidak tidur sama sekali dan hanya berbaring di atas kasur di kamar kost-ku sampai pagi.

Jadwal kerjaku di toko dimulai sekitar pukul dua siang. Hari ini, aku berencana untuk pergi ke biro detektif untuk berkonsultasi soal menghilangnya adikku. Setelah menggabungkan tabunganku selama beberapa bulan terakhir, serta uang tip yang semalam Yesha berikan, kurasa jumlahnya sudah cukup untuk membayar uang muka.

Aku menarik napas panjang, kemudian menyeret tubuhku untuk bangun. Kuusap sisa air mataku, kemudian pergi ke kamar mandi untuk bersiap-siap.

Tak sampai satu jam kemudian, aku sudah berada di jalan raya—mengendarai sepeda motorku dan berusaha menembus kemacetan ibukota menuju kantor biro detektif itu.

Aku mengenakan pakaian terbagus yang kumiliki—sebuah rok hitam panjang sebetis yang dipadukan dengan kemeja lengan model lama berwarna krem. Rambut panjangku diikat membentuk ekor kuda. Di bahuku tersampir sebuah sling bag murahan berukuran kecil berisi seluruh uang tabungan yang kumiliki serta ponselku.

Saat sampai, aku kembali memeriksa alamat yang tertulis di halaman web biro detektif tersebut. Tidak ada kesalahan.

Sesaat, aku hanya memandangi gedung di hadapanku dengan heran. Aku tidak tahu apa yang kuharapkan. Mungkin sebuah tempat tersembunyi dengan pengamanan super ketat serta teknologi yang super canggih? Bukannya gedung perkantoran yang terlihat biasa-biasa saja ini.

Aku masuk ke gedung tersebut, kemudian langsung masuk ke lift dan menekan angka lima yang merupakan lantai teratas gedung tersebut.

Begitu pintu lift terbuka, aku langsung bisa melihat pintu hitam mengkilap dengan papan nama bertuliskan Orion and co.

Saat aku masuk, seorang wanita duduk di balik meja resepsionis menyambutku. Dia tersenyum ramah. Saat berdiri, baru aku mengetahui kalau dia tengah hamil besar.

Aku menekan bel. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang wanita berambut sedagu, berpipi tembam, dagu lancip, serta bibir mungil menyambutku dengan senyum ramah. Kami saling memperkenalkan diri. Wanita itu bernama Karen. Dia sedang hamil besar.

Aku duduk di sofa yang berada di sebelah pintu masuk, sehingga jika ada orang yang masuk, mereka mungkin takkan menyadari keberadaanku sampai menengok kemari.

"Kau tidak kesulitan mencari kantor ini bukan? Silakan duduk dulu. Anak itu pasti sedang dalam perjalanan. Ada yang kamu inginkan? Kopi? Teh?" Karen menawarkan.

Keningku berkerut. "Anak itu?" tanyaku.

Wanita itu tertawa. "Oh, maaf. Kebiasaan," ujarnya sembari mengibaskan tangan. "Pemimpin biro detektif ini tujuh tahun lebih muda dariku. Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri. Terkadang aku lupa kalau di sini dia juga bosku."

Melihat raut wajah bingungku, Karen kembali berkata. "Usianya baru dua puluh enam tahun, tetapi kupastikan dia detektif yang hebat. Dia sangat cerdas. Aku memujinya bukan karena dia bosku, tetapi memang itu kenyataannya."

"Aku akan mempertimbangkan tentang kenaikan gajimu, Karen," ucap suara yang tak asing lagi di telingaku.

Tubuhku menegang.

'Tidak mungkin!'

"Lo terlambat, Yesh," sambut Karen.

"Yash, Yesh, Yash, Yesh. Gue bos lo. Hormat dikit."

Karen memutar bola matanya. "Baik, Bos. Saya ingin mengatakan kalau klien kita sudah datang."

Saat itulah Yesha menoleh ke arahku.