webnovel

Penolakan

"Nggak!" tolakku seraya bangkit dari kursi.

"Nggak?" Yesa tersenyum mengejek. Dia bersandar dengan santai di kursinya. "Lo yakin? Lo nggak mau berkorban demi Zola? Ckckck … kakak macam apa lo ini?"

Darahku terasa mendidih. Detak jantungku bertalu-talu. Kedua tanganku terkepal di sisi tubuh. Mataku panas. Aku menggebrak meja di depanku.

"Lo nggak berhak menilai orang lain seenaknya cuma karena nolak tawaran pernikahan kontrak tolol itu!" tukasku dengan suara bergetar. "Lo nggak berhak bilang gue nggak sayang sama Zola, padahal dulu lo ngeliat sendiri sebesar apa kasih sayang gue buat dia."

Tiba-tiba, raut wajahnya berubah dingin. "Gue tau jauh lebih banyak, Na. Jangan merasa seolah lo yang paling menderita di dunia ini. Dan yang harus lo tau, hubungan kita sudah berakhir sejak malam itu.

"Sekarang keputusan ada di tangan lo. Terima tawaran itu dan gue akan bantu lo nyari Zola dengan seluruh sumber daya yang gue punya. Atau …."

"Atau apa?" sergahku.

Senyum mengejek kembali menari-nari di bibirnya. Yesha mengangkat bahu tak acuh, seraya berkata dengan nada malas, "Gue nggak akan nerima kasus lo, sebesar apa pun bayaran yang lo tawarkan ke gue."

Keparat!

Setelah mendiskusikan tentang kasus Zola, beberapa saat yang lalu, kami akhirnya tiba pada pembahasan mengenai sistem pembayaran. Yesha mengatakan jumlah uang muka yang dia minta untuk pembayaran satu bulan.

"Kami dibayar per jam. Setiap bulannya, kami akan mengirimkan tagihan berupa rincian pengeluaran selama penyelidikan berlangsung. Tapi, untukmu aku bisa memberikan bantuan cuma-cuma. Dengan satu syarat … dan kau tahu apa yang kuinginkan."

Aku mengertakkan rahang. "Silakan telan ego lo itu. Sampai mati pun gue nggak akan nerima persyaratan konyol yang lo ajuin. Detektif bukan cuma lo. Gue bisa nyari biro detektif lain."

"Terserah," ujar Yesha tak acuh, "tapi kalau lo berubah pikiran, lo tau di mana harus nyari gue." Sekilas, aku bisa melihat senyum misterius di wajah Yesha. Namun, aku berusaha mengabaikannya. Itu tak berarti apa pun. Dia hanya sedang mempermainkanku.

"Berengsek!" desisku.

Aku menyambar tasku, kemudian berderap keluar ruangan dan membanting pintu di belakangku. Sekarang, di ruang depan bukan hanya ada Karen, melainkan ada empat pria lain. Mereka tampak akrab. Tawa mereka membeku saat melihatku keluar dari kantor dengan wajah merah padam.

Perhatian mereka semua beralih ke arahku. Aku berusaha mengabaikan raut wajah terkejut mereka, kemudian keluar dari kantor biro detektif tersebut. Aku bahkan mengabaikan pertanyaan Karen.

***

"Na, lo kenapa?" tanya Mbak Feri.

"Nggak kenapa-kenapa," sahutku dingin tanpa menoleh sedikit pun ke arah wanita itu. Mataku terpancang pada monitor komputer di hadapanku. Pembicaraan kami terjeda sejenak saat seorang pemuda datang bersama belanjaannya.

'Berani-beraninya Yesha berbuat seperti itu. Gue bakal buktiin. Gue bisa nemuin Zola meski tanpa bantuan biro detektif sialan dia.'

"Seratus tujuh puluh tujuh ribu tiga ratus enam puluh lima rupiah," kataku membaca angka yang tertera pada layar.

Pemuda itu memberikan selembar uang pecahan seratus ribuan, selembar pecahan lima puluh ribuan, serta dua lembar pecahan dua puluh ribuan.

"Ambil aja kembaliannya, Mbak. Makasih," ujar pemuda tersebut, kemudian terbirit-birit keluar dari toko dengan kantong plastik penuh belanjaan.

"Na, tampang lo kayak mau makan orang," tegur Mbak Feri saat akhirnya tidak ada lagi pembeli. "Lo kenapa? Lagi ada masalah? Coba cerita. Mungkin gue bisa bantu."

Hatiku luluh saat mendengar ketulusan di dalam suaranya. Kuempaskan tubuh ke kursi, kemudian mendesah lelah. Sesaat hanya ada keheningan. "Nggak apa-apa kok, Mbak," kataku akhirnya. "Makasih banyak udah peduli, tapi rasanya gue masih sanggup atasin ini sendiri. Gue pasti ngomong saat nanti butuhin bantuan dari lo." Aku tersenyum sungguh-sungguh.

Mbak Feri terdiam sejenak sebelum kemudian dia berkata, "Oke. Janji lo bakal bilang kalau butuh bantuan gue? Gue mungkin nggak bisa selesein masalah lo, tapi gue bakal berusaha bantuin semampunya. Dan … tolong jangan masang tampang itu lagi. Bisa-bisa semua pelanggan kita kabur."

Pertama kalinya di hari itu, aku tergelak.

*

Dalam waktu seminggu terakhir, aku menghabiskan waktu istirahat serta hari liburku untuk mencari biro detektif lain serta menelpon mereka. Namun, mereka semua menolak dengan alasan terlalu banyak kasus yang sedang mereka tangani.

Aku mencium ada sesuatu yang tidak beres setelah menelepon biro detektif yang terakhir. Awalnya, si wanita penerima telepon menjawab dengan sangat antusias. Aku belum mengenalkan siapa diriku, hanya memberikan cerita singkat tentang hilangnya adikku. Kami bahkan sudah membuat janji. Bahkan setelah menyebutkan nama pun tidak ada masalah. Kami sepakat akan bertemu keesokan harinya. Namun, selang beberapa menit kemudian, perempuan itu kembali menghubungiku dan berkata bahwa bosnya tidak bisa menangani kasusku karena sedang sibuk.

Mereka menolak kasusku secara tiba-tiba.

Aku tak tahu mengapa mereka semua menolakku, awalnya tidak tahu. Kemudian, aku membuka situs peramban dan mengetikkan 'biro detektif terbesar dan terbaik'. Muncul nama Orion and co., dan seketika itu juga, aku tahu alasan biro-biro detektif itu menolakku. Pasti ada hubungannya dengan Yesha.

***

"Kita harus bicara," kataku pada Yesha.

Aku datang ke kantor biro detektifnya dan menerobos masuk, tak peduli kalau dia sedang rapat dengan tim-nya. Aku mengabaikan perasaan terbakar di wajahku saat orang-orang itu menatapku dengan mata terbelalak.

"Nanti kita bicara, setelah aku selesai berdiskusi dengan timku," ujar Yesha tegas.

"Kita harus bicara sekarang," kataku keras kepala.

Rahang Yesha menegang. Dia menatap tajam mataku. "Nanti. Kita akan bicara, tapi nanti. Sekarang, silakan menunggu di luar sampai rapatku selesai. Aku tidak segan-segan mendepakmu dari sini sekarang juga karena kau menerobos masuk ke kantorku dan mengganggu pekerjaanku." Dia berpaling pada Karen di belakangku. "Bawa nona ini keluar. Berikan dia minuman atau apa pun untuk menenangkannya. Lapor polisi jika dia berulah."

Aku mengepalkan kedua tanganku. Jantungku bertalu-talu. Aku harus menahan diri untuk tidak mencabik-cabik wajah pemuda yang anehnya pernah kucintai.

"Keparat!" desisku seraya berbalik dan berjalan ke arah pintu keluar. Aku ingin membanting pintu itu sekencang-kencangnya, tetapi teringat Karen ada di belakangku. Bagaimanapun, dia tidak salah atas sikap kurang ajar bosnya itu.

Aku menunggu di ruang depan cukup lama. Karen mencoba menawariku minuman, tetapi aku menolaknya. Yang kuinginkan hanya berbicara dengan Yesha, mungkin menghancurkan wajahnya juga.

Hampir satu jam kemudian saat tim Yesha akhirnya keluar. Yesha hanya melongokkan kepalanya, kemudian berkata, "Masuklah."

Aku menurutinya, mengabaikan tatapan ingin tahu semua orang. Saat aku sudah masuk, Yesha kembali melongokkan kepalanya keluar. "Lakukan pekerjaan kalian. Jangan coba-coba menguping apalagi menyadap ruanganku," katanya datar, kemudian menutup pintu dengan suara cukup kencang.