webnovel

Orion and Co.

"Selamat pagi, Nona. Mohon maaf atas keterlambatan saya sehingga membuat Anda menunggu. Perkenalkan, saya pemimpin biro detektif Orion and Co.—Yesaya," Yesaya mengulurkan tangan ke arahku. Senyum menghiasi bibirnya. Andai dia terkejut, Yesha sama sekali tidak menunjukannya. Dia bersikap seolah tidak mengenalku.

Meski agak terkejut dengan sikapnya tersebut, aku tetap menyambut uluran tangannya dan menjabat tangan Yesha. Dia hanya bersikap profesional. Bagaimanapun, ini soal pekerjaan. Aku calon kliennya.

Kedua ujung bibirku tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman terlatih. "Hanasta."

***

Dulu, Yesha selalu berkata padaku ingin menjadi detektif. Dan sekarang, dia telah berhasil mewujudkan impiannya itu.

Aku sama sekali tak tahu kalau biro detektif ini milik Yesha. Rascal, bosku sekaligus pemilik D Daddy's menyarankanku untuk ke Orion and Co. Katanya, biro detektif ini salah satu yang terbaik. Entah takdir seperti apa yang kumiliki sehingga akhirnya bertemu lagi dengan Yesha seperti ini, dengan sebuah kemungkinan bahwa Yesha lah yang bisa membantuku menemukan keberadaan Zola.

"Maaf karena ruangannya berantakan. Aku belum sempat membereskannya. Silakan duduk," ujar Yesha saat membawaku masuk ke kantornya.

Di meja itu terdapat sebuah laptop, sebuah mug yang sepertinya kosong, alat tulis yang tampak berantakan, serta beberapa map dan buku menumpuk di salah satu sisi meja kerjanya. Aku bisa melihat ada selembar foto yang menyembul dari salah satu map tersebut. Dia memasukkan berkas-berkas serta buku ke laci mejanya.

Ruangan itu bernunsa abu-abu terang. Terdapat sebuah jendela besar dengan tirai yang masih tertutup. Terdapat dua pintu lain di ruangan itu. Salah satunya kutebak merupakan pintu kamar mandi. Sedangkan pintu yang lain hampir serupa dengan yang ada di depan, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil.

Di sisi lain ruangan, ada satu set sofa berwarna hitam, televisi layar datar berukuran besar, rak yang penuh sesak dengan buku-buku tebal, serta sebuah lemari pendingin. Lantai ruangan itu juga dilapisi permadani tebal.

Aku duduk di kursi di depan meja kerja Yesha. Dia menyambar mug kotor itu, seraya kembali berkata, "Permisi sebentar. Kau menginginkan sesuatu? Kopi? Teh? Jus?"

"Kopi saja. Kopi hitam," kataku. Yesha mengangguk, kemudian memelesat keluar dari ruangan.

Tidak ada setitik pun jejak-jejak pemuda berengsek yang semalam datang menyewaku dan menawarkan pernikahan kontrak. Sosok yang kulihat sekarang sama sekali berbeda. Dia tampak cekatan dan awas, sedikit ceria, berwibawa, dan tidak ada sorot mata penuh kebencian di matanya. Aku tak tahu mana yang merupakan wajah aslinya, dan mana yang hanya topeng belaka.

Tak lama kemudian, Yesha kembali dengan sebuah map di tangannya.

Aku baru menyadari bahwa penampilan Yesha berbeda dengan sosok detektif yang selama ini kubayangkan.

Aku selalu membayangkan seorang pria dewasa yang memakai setelan jas mahal, rambut disisir rapi dan licin, serta mengenakan mantel panjang yang memancarkan aura misterius. Bukan seorang pemuda dengan celana chino berwarna krem serta kemeja yang lengannya digulung sampai ke siku. Sepatu pantofel digantikan posisinya oleh sepatu boot coklat dengan sol tebal. Tidak ada tuksedo, tidak ada dasi, tidak ada mantel panjang.

Yesha duduk di kursinya. Sejenak, dia seperti tenggelam dalam berkas entah apa yang sedang dibacanya. Setelah beberapa menit berlalu, dia akhirnya mengangkat wajahnya dari berkas tersebut.

"Begitu banyak pekerjaan sehingga aku baru sempat membaca catatan tentang kasusmu. Dari catatan di sini, kau sepertinya datang lebih awal dari jadwal yang sebelumnya sudah ditentukan?"

Aku mengangguk. "Aku sudah mengabari sekretarismu di luar. Dia berkata aku bisa menemuimu hari ini, jadi aku datang."

"Baiklah," Yesaya berkata. Dia menekuri catatan di hadapannya sebelum melanjutkan, "Dari catatan di sini, kau mengatakan bahwa Zola—adikmu hilang?"

"Ya," kataku, "sudah sekitar setahun sejak aku terakhir kali dia datang menemuiku."

"Kau baru mencarinya sekarang?" cecar Yesaya. Aku tidak mendengar nada menghakimi di dalam suaranya.

Kemudian, terdengar ketukan pintu dan Karen melangkah masuk.

"Tidak perlu repot-repot. Aku bisa," ujar Karen saat aku berdiri dan mengambil alih baki dari tangannya.

"Aku tidak merasa direpotkan," sahutku sembari membawa baki tersebut ke meja.

Aku meletakkan mug yang menurut dugaanku berisi coklat panas di depan Yesha, kemudian meletakkan cangkir berisi kopi hitam milikku. Selain kopi dan coklat panas, di baki tersebut juga ada satu toples berisi biskuit coklat.

"Makasih," ujar Karen tulus sebelum dia keluar lagi dari ruangan.

Aku kembali duduk dan menangkap sekelebat ekspresi yang tidak bisa kujelaskan di wajah Yesha.

Aku sempat ragu sejenak sebelum kemudian memutuskan untuk menjawab pertanyaan yang tadi sempat tertunda. "Aku membunuh ayah tiriku dan belum lama bebas dari penjara. Zola memberitahuku bahwa dia sudah lulus dan menerima beasiswa untuk berkuliah di luar negeri. Tak lama kemudian, dia datang lagi dan berkata kalau dia akan berangkat malam itu juga. Aku sudah membuat laporan ke kepolisian, tetapi belum membuahkan hasil."

Kulihat Yesha sudah membuka buku catatan dan ada bolpoin di tangannya. "Selama kau dipenjara, dengan siapa Zola tinggal? Apa nama sekolahnya? Dan di universitas mana dia diterima?"

Aku pernah mengajak Yesha mengunjungi Zola di asrama, jadi aku tahu kalau dia pasti masih ingat bahwa aku dan Zola tidak memiliki kerabat selain ayah tiriku—yang sudah mati, dan kakak tiriku yang hilang bak ditelan bumi. Tidak ada tempat yang bisa kami tuju. Meski begitu, aku tetap memberitahu Yesha segalanya, kemudian dia mulai mencatat.

"Apa kau melihat ada yang aneh dengan Zola saat terakhir kali kalian bertemu? Entah dia terlihat gelisah, gugup, atau semacamnya? Apa dia mengatakan hal lain yang mungkin agak janggal menurutmu?"

Aku langsung menggeleng dengan penuh keyakinan. "Tidak ada. Dia terlihat sangat bahagia dan bersemangat. Hanya saja … dia sempat berkata ingin membatalkan beasiswa itu karena mengkhawatirkanku. Dia khawatir tentang keselamatanku saat aku keluar dari penjara nanti.

"Kami berdua tahu kakak tiri kami pasti ingin membalas dendam atas apa yang sudah kulakukan. Aku yang mendorongnya agar tetap pergi dan meyakinkan Zola kalau aku akan baik-baik saja. Aku tidak ingin menghalangi Zola meraih impiannya."

"Kau sudah bertanya pada teman-temannya atau pada pihak sekolah?" tanya Yesha.

"Aku sudah bertanya pada kepala yayasan, tetapi mereka menyangkal mengetahui apa pun tentang menghilangnya Zola. Mereka bilang kalau tidak tahu-menahu soal beasiswa yang Zola katakan. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan kalau Zola memang mendapatkan sponsor pribadi dan tidak memberitahu pihak yayasan.

"Saat aku menemui satu-satunya teman asrama Zola yang kukenal, dia bilang belum bertemu dengan Zola lagi sejak mereka lulus dan keluar dari asrama. Gadis itu kebingungan saat aku bertanya mengenai beasiswa Zola."

Untuk beberapa lama, Yesha sibuk membuat catatan. Dia begitu fokus pada pekerjaannya. Kemudian, dia mendongak dan bertanya, "Apa kau tahu keberadaan kakak tirimu? Di mana Zola tinggal setelah keluar dari asrama?"

Aku menggeleng. "Tidak. Sejak kejadian itu, aku belum mendengar kabarnya lagi. Aku … aku tidak tahu."

Kepanikan mulai merayapiku. Aku menatap Yesha lurus-lurus dan melihat ketegangan di matanya.

"Mungkinkah?" bisikku.