webnovel

Memulai Kehidupan Baru

"Totalnya tiga puluh empat ribu delapan ratus lima puluh rupiah."

Pria itu mengeluarkan selembar pecahan lima puluh ribuan dari dompetnya, kemudian mengulurkannya padaku. Aku menerima uang tersebut, kemudian mengetikkan jumlah uang yang dibayarkan. Mesin kasir terbuka, lalu aku mengambil uang pecahan sepuluh ribu dan lima ribuan untuk kembalian, lalu menyerahkannya pada pria tadi sembari mengucapkan terima kasih.

Pria yang merupakan pelanggan terakhir toko untuk malam ini mengangguk, kemudian melangkah keluar.

Aku mengempaskan tubuh ke kursi, kemudian menghela napas panjang.

"Malam yang panjang, ya," ujar Mbak Fery, rekan kerjaku.

Aku mengangguk. "Tumben-tumbenan. Biasanya nggak seramai ini," aku menyahut.

Mbak Fery berjalan ke arah pintu, kemudian menggantung papan tanda toko sudah tutup pada pintu. Dia berdiri di sana sejenak, mengamati ke luar toko. Keningnya berkerut.

"Kenapa, Mbak?" tanyaku, agak khawatir melihat raut wajah seniorku itu.

Perempuan yang berusia sepuluh tahun lebih tua dariku itu menggeleng. "Nggak. Cuma heran aja. Mobil itu udah parkir di sana sejak tadi pagi."

Rasa penasaran membuatku memaksakan diri untuk bangkit dari kursi dan menghampiri Mbak Feri. Aku berdiri di belakangnya, ikut mengamati ke luar. Sebuah mobil SUV berwarna hitam terparkir tak jauh dari toko tempatku bekerja. Kaca mobil tersebut gelap sehingga aku tidak bisa melihat siapa yang ada di dalam mobil tersebut. Aku bahkan tidak tahu di dalam mobil ada orangnya atau tidak.

"Beneran udah di sana dari pagi, Mbak? Mbak yakin itu mobil yang sama?" aku bertanya.

Mbak Feri mengangguk. "Gue yakin banget, Na. Tadi pagi pas nganterin anak gue ke sekolah, itu mobil udah ada. Gue inget nomor platnya."

Kerutan di keningku serasa semakin dalam. "Mbak masih sempet ngapalin nomor plat mobil asing?" tanyaku heran.

Mbak Feri mengangkat bahunya tak acuh. "Buat jaga-jaga, Na. Zaman sekarang, kita harus senantiasa waspada. Apalagi itu mobil ada di deket tempat kerja kita. Gimana kalau di dalam mobil itu ternyata ada mayat? Atau ternyata ada sindikat perdagangan manusia yang lagi nyari mangsa?" ujar Mbak Feri sambil membelalakkan matanya.

Aku memutar bola mata. "Mbak kebanyakan baca cerita-cerita detektif. Di Indonesia mana ada yang kayak gitu? Kalau di Brazil, Meksiko, Kolombia, atau negara-negara yang emang terkenal dengan mafia dan kartel narkobanya, gue percaya."

Setengah tahun bekerja bersama membuatku cukup mengenal Mbak Feri. Dia penggemar berat novel-novel bergenre misteri dan thriller. Tak jarang, perempuan yang memiliki dua anak tersebut mencoba mencekoki aku dengan bacaannya. Namun, aku memahami penyebab kekhawatirannya itu.

Aku melanjutkan, "Tapi, kita bisa lapor ke polisi kalau sampai besok itu mobil masih ada di sana. Gimana?"

Mbak Feri tampak mempertimbangkannya, kemudian mengangguk. "Oke."

Tiga puluh menit kemudian, kami sudah berada di depan toko. Aku duduk di atas motor matic-ku menunggu Mbak Feri yang sedang mengunci pintu.

Kami sempat mencoba mengintip ke dalam SUV misterius itu, tetapi tidak bisa melihat apa pun. Andai ada orang di dalam, kami tidak tahu.

Sudah setengah tahun aku bekerja di toko itu. Setelah masa hukumanku habis dan aku akhirnya terbebas dari penjara, butuh waktu cukup lama untukku bisa mendapatkan pekerjaan. Jarang sekali ada orang yang mau mempekerjakan mantan narapidana, apalagi untuk kasus pembunuhan. Aku beruntung karena pemilik toko ini mau berbaik hati dan menerimaku bekerja di sini.

Mbak Feri menstarter motornya. "Gue duluan, Na," ujarnya.

Aku mengangguk. "Iya, Mbak. Hati-hati."

"Lo juga hati-hati," Mbak Feri berkata, kemudian memacu kendaraannya menjauh. Begitu Mbak Feri lenyap dari pandanganku, senyuman di wajahku pun sirna.

Aku men-starter motorku, kemudian melepaskan pegangan pada rem dan menarik tuas gas perlahan. Motorku melaju, tetapi aku bukan berkendara menuju kamar kost-ku yang sempit, melainkan ke tempat kerja keduaku—D Daddy's.

Saat baru keluar dari penjara, aku sempat kembali ke rumah lamaku, tetapi tempat itu ternyata kosong. Tidak ada yang menempatinya. Kakak tiriku minggat entah ke mana. Sebenarnya, aku pergi ke sana dengan harapan bisa bertemu dengan Zola, adikku.

Saat masih di dalam sel, aku sudah memperingatkan Zola untuk tetap di asrama dan tidak terlalu sering datang berkunjung. Kakak tiriku masih berkeliaran. Kemungkinan besar dia menaruh dendam padaku dan akan melakukan apa pun demi membalasku, termasuk menyakiti Zola. Aku juga memberikan tabungan yang selama ini kukumpulkan untuk pendidikan Zola.

Setelah masa tahananku berjalan kurang lebih dua setengah tahun, Zola sudah lulus SMA. Saat terakhir kali mengunjungiku ke penjara, dia berkata mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri. Aku ikut senang karena itu berarti aku tak perlu mengkhawatirkan keselamatannya. Saat kunjungan terakhirnya, Zola mengatakan bahwa dia akan segera berangkat. Namun, setelah itu aku tak pernah mendengar kabarnya—sampai sekarang.

Awalnya, aku mengira Zola terlalu sibuk dengan kegiatan kuliahnya sehingga tidak sempat memberi kabar padaku. Namun, kekhawatiranku semakin tak tertahankan ketika Zola masih tak memberiku kabar, bahkan setelah aku keluar dari penjara.

Sudah setahun lebih aku tak mendapatkan kabar darinya, pencarianku juga buntu. Tidak ada petunjuk apa pun. Aku sudah melaporkan tentang hilangnya Zola ke kantor polisi, tetapi mereka juga belum mendapatkan hasil yang positif mengenai keberadaan adikku.

Tanpa kusadari, ternyata aku sudah sampai di tempat kerja keduaku. D Daddy's, sebuah kelab malam. Biasanya, aku bekerja sebagai pelayan. Namun, kali ini aku akan mengambil pekerjaan yang sebenarnya sudah sering ditawarkan padaku. Aku butuh lebih banyak uang. Aku ingin menyewa jasa detektif untuk mencari adikku, dan ini satu-satunya jalan yang kupunya agar bisa mendapatkan banyak uang dengan cepat.

Saat aku masuk, Jasmine langsung menarikku ke ruang ganti.

Jasmine berusia hampir empat puluhan. Di umurnya saat ini, dia tak lagi bekerja sebagai pelayan. Bisa dibilang, sekarang dia pemimpin gadis-gadis yang bekerja di sini. Jasmine yang turun tangan melindungi gadis-gadis di sini saat ada pengunjung yang melewati batas. Dan mengingat tak sedikit dari mereka yang mabuk, setiap malam biasanya ada saja masalah yang terjadi.

Syarat paling penting bekerja di D Daddy's ialah harus berusia di atas delapan belas tahun dan maksimal tiga puluh tahun. Pemiliknya, Rascal tidak ingin terlibat masalah dengan mempekerjakan gadis di bawah umur.

Kami berpapasan dengan Cherry dan Lily. Malam ini, mereka memakai kostum pelayan berwarna merah muda dengan apron putih yang dijaitkan menjadi satu dengan pakaiannya. Tak lupa aksesoris rambutnya. Dan ukuran roknya tentu saja mini. Setiap malam tema kostumnya akan berganti-ganti.

Meski begitu, di sini terdapat peraturan 'Boleh melihat, tidak boleh menyentuh'. Karena itu juga aku mau bekerja di sini.

Kami tiba di ruang ganti. Jasmine membantuku berganti pakaian. Sebelumnya, dia bertanya sambil menatapku khawatir, "Rose, kamu yakin ingin melakukan ini?"

Aku mengangguk tanpa keraguan sedikit pun. Jasmine tahu masalah serta alasanku menerima pekerjaan ini. Tanpa mengatakan apa pun lagi, dia mulai mempersiapkan diriku.

Beberapa lama kemudian, aku sudah berganti menggunakan pakaian yang bisa disebut satu set pakaian dalam, korsetnya membuatku hampir tidak bisa bernapas. Rambutku dikepang melingkar di atas kepalaku, dan disematkan dengan banyak peniti.

"Kamu nggak perlu khawatir, oke? Aku ada di sini. Di ruangan itu juga akan ada bodyguard yang akan membantumu jika pelanggan itu sudah melewati batas. Kamu akan baik-baik saja."

Aku mengangguk. Meski jantungku berdentam-dentam memukuli rusukku, aku tak menunjukkannya. Aku tetap tersenyum, kemudian keluar dari ruang ganti menuju ruang privat tempat pelanggan pertamaku menunggu. Aku membuka dan menutup kepalan tanganku. Telapak tanganku terasa basah. Langkah kakiku terasa mantap.

Aku menyusuri koridor sampai tiba di ruangan paling ujung. Kenop pintunya terasa dingin di kulitku. Aku menarik napas panjang, kemudian membuka pintu dan masuk ke ruangan tersebut.

Ruangan itu berpencahayaan temaram. Aku melihat seorang bodyguard berdiri di sudut ruangan dan mengangguk kecil saat mata kami bertemu. Aku sangat berterima kasih pada Jasmine karena dia sungguh-sungguh melindungiku.

Ayunan langkahku terasa semakin percaya diri. Di sofa, duduk seorang pria. Dia memakai setelan rapi. Sekarang, dia sedang menunduk sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya.

"Selamat malam, Tuan," sapaku.

Dia mendongak dan seketika mataku terbelalak. Lidahku kelu. Yang kuinginkan saat ini hanya berlari keluar dari ruangan ini sejauh mungkin. Pria itu tersenyum, tetapi kehangatan di matanya digantikan oleh tatapan yang dingin dan terkesan keji.

"Selamat malam, Rossie," sapa Yesaya, mantan kekasihku.