webnovel

Aku Di Sini

Aku berbaring memunggungi Yesha yang sudah tertidur pulas. Air mataku sudah mengering sejak lama. Aku mengecek jam di ponsel. Sudah hampir pukul dua dini hari, tetapi mataku masih nyalang.

Aku menghela napas. Dengung pendingin ruangan terdengar jelas, begitu juga suara napasku dan Yesha. Bahkan saat aku bisa mendengar suara desir kain yang bergesekan saat mengubah posisi.

Aku menatap langit-langit kamar, mencoba memikirkan rencana selanjutnya. Aku harus melakukan sesuatu. Aku bisa gila jika terus menerus begini. Aku tak mau sekadar jadi alat pemuas nafsu Yesha. Aku harus mendesaknya agar menemukan Yara secepatnya.

Sempat terpikir olehku untuk kabur saja selagi semua orang masih tidur. Namun, kalau Yesha pernah bisa menemukanku, maka sepertinya bukan hal untuknya menemukanku lagi. Lagi pula, kami sudah menikah. Meski cuma pernikahan kontrak, pernikahan tetaplah pernikahan. Kami sudah saling mengikat janji di depan altar.

Aku mengangkat tangan kananku. Kupandangi cincin kawin yang melingkari jari manisku—yang bisa dibilang lebih seperti belenggu. Terdapat hiasan permata berwarna merah terang di tengahnya. Yesaya memakai yang versi lebih maskulin.

Saat melirik sekilas padanya, Yesha masih tertidur pulas. Napasnya dalam dan teratur. Aku baru saja hampir tertidur ketika mendengar Yesha terisak.

Aku langsung terduduk.

Mata Yesha masih terpejam. Namun, kedamaian yang tadi kulihat sudah tidak ada, digantikan oleh ketegangan yang aku tak kuketahui penyebabnya. Tangannya mencengkeram selimut. Setetes air mata yang berkilauan tampak menuruni pipinya.

'Biar saja dia tenggelam dalam mimpi-entah-apa itu sampai mati,' pikirku.

Aku kembali berbaring. Namun, baru hendak memejamkan mata, Yesha kembali terisak. Dia mengucapkan satu kata dengan nada penuh penderitaan. Dad.

Aku menghela napas dan kembali duduk.

"Yesh," panggilku. Namun, Yesha tak merespons.

"Yesh," aku kembali memanggil, "bangun." Aku mengguncang bahunya.

Aku harus mengulangi usaha tersebut beberapa kali sebelum Yesha benar-benar bangun. Matanya terbelalak. Dia menatap ke sekeliling dengan panik. Napasnya memburu. Tubuhnya gemetar.

Aku menangkup wajahnya dengan kedua tanganku. "Hei, nggak apa-apa," aku berbisik. "Kamu di kamar. Kamu aman. Kamu baik-baik saja." Aku tak tahu apa tepatnya yang dimimpikan Yesha, tetapi aku merasa kalimat penghiburan itu sepertinya tepat untuk kondisi Yesa saat ini.

Tanpa kuduga, tiba-tiba Yesha bangun dan menarikku ke dalam pelukannya. "Tetaplah di sini," bisiknya. Suaranya bergetar. "Jangan pergi. Jangan meninggalkan aku."

Aku sempat ragu ketika mengangkat tanganku, kemudian menepuk-nepuk lembut punggungnya seraya berkata, "Aku di sini."

***

Aku terbangun dengan lengan Yesha melingkari tubuhku. Di balik selimut, aku tahu kami berdua sama-sama tak mengenakan apa pun. Yeah … setelah drama mimpi-entah-apa itu, aku terhanyut oleh sentuhannya.

Aku tak ingin mengakui ini, tetapi begitulah kenyataannya. Lagi pula, aku masih manusia normal. Wajar saja kalau—meski aku terkadang setengah mati membenci tingkah Yesha, tetapi sentuhannya membuatku gila.

Lidah, bibir, serta tangannya begitu lihai. Aku teringat saat dia menelungkupkanku dan penyatuan diri kami dini hari tadi rasanya yang paling mendekati kata normal untuk sepasang suami istri mengingat kami sepertinya sama-sama menikmatinya.

Aku menggeleng guna menepiskan pikiran itu. Aku tidak boleh terlena dengan sikap Yesha. Kelembutannya itu hanya karena pengaruh dari mimpi buruk yang dia alami, tak lebih.

Aku berusaha melepaskan diri dari pelukan Yesha tanpa harus membangunkannya. Beberapa menit kemudian, aku berhasil melepaskan diri dan berjingkat-jingkat ke kamar mandi.

Aku mengisi bathup dengan air hangat, serta menuangkan sabun serta aromaterapi, kemudian masuk ke dalamnya. Sebuah erangan yang terdengar kurang pantas meluncur keluar dari mulutku. Baru kusadari selelah apa tubuhku. Juga mentalku.

Aku menenggelamkan tubuhku sebatas leher. Kepalaku serasa melayang. Mataku terasa berat. Kalau dihitung lagi, tadi malam Yesha membuatku cuma tidur kurang dari tiga jam.

"Dia memang berengsek," gumamku.

***

Beberapa jam kemudian, aku mendapati diriku terbangun di ranjang kamarku, terbungkus selimut yang hangat. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang.

'Apa aku ketiduran saat mandi? Lalu, siapa yang membawaku ke sini?'

Wajahku terasa panas ketika hampir dalam seketika mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu. Aku membayangkan Yesha mengangkat tubuhku keluar dari bathup. Dia mungkin mengira aku sengaja tertidur di sana untuk menggodanya.

'Bodoh!'

Aku tidak yakin akan sanggup menatap mata Yesha lagi, setidaknya untuk sementara.

Sambil merutuki kecerobohanku, aku turun dari tempat tidur dan mulai berpakaian. Apa yang akan dikatakan ibu mertuaku nanti?

Yaah … paling banter dia akan menyidirku terus menerus karena baru keluar dari kamar setelah jam makan siang.

Namun, saat aku keluar, dia justru tersenyum lebar padaku yang membuat perasaan bersalahku menjadi berlipat ganda. Dia bahkan menyiapkan makanan untukku. Kenapa dia tidak menjadi ibu mertua kejam seperti yang di sinetron-sinetron saja sih?

"Yesha pergi ke kantornya. Kurasa ada panggilan darurat atau apa, soalnya dia tergesa-gesa pergi setelah menerima telepon. Yesha memang seperti itu. Gila kerja. Mama berharap dia akan berubah setelah kalian menikah. Karena bagaimanapun, dia berkewajiban menjagamu," ujar ibu mertuaku. Mungkin dia menyadari aku yang menoleh ke sana kemari mencari keberadaan makhluk bernama Yesha itu.

Aku berusaha untuk mengabaikan perasaan yang agak mirip kekecewaan itu, kemudian tersenyum untuk menyingkirkan ekspresi bersalah di wajahnya.

"Nggak apa-apa kok, Ma," kataku.

'Yaah … setidaknya aku nggak perlu melihat wajah Yesha selama beberapa jam. Mungkin rasa maluku karena tanpa sengaja tertidur saat mandi sudah musnah saat dia kembali nanti.'

***

Aku menghabiskan waktu membaca salah satu novel yang kucomot dari rak buku di kamar Yesha.

Sampai menjelang tengah malam, Yesha masih belum pulang. Aku mondar mandir di kamar, sesekali melirik ponselku dan mempertimbangkan untuk menghubunginya—yang langsung kutepis dengan garang.

Saat makan malam tadi, kedua mertuaku memandangku iba. Sementara kedua adik iparku—Yara dan Orianna tampaknya hampir tak sanggup menyembunyikan kebahagiaan mereka. Keduanya cengar-cengir dan terkikik-kikik hampir sepanjang makan malam berlangsung. Tampangku pasti tampak sangat merana dan menyedihkan.

"Lo lihat sendiri, kan? Bang Yesha lebih mentingin pekerjaannya daripada lo yang katanya istrinya. Dia nggak pernah cinta sama lo," ujar Yara saat mencegatku di tangga tadi. Dia melipat tangan di depan dada, lengkap dengan ekspresi angkuhnya.

Aku mengerjap. "Kamu repot-repot nungguin aku di sini cuma buat ngomong itu?" tanyaku tak habis pikir—yang seketika dihadiahi pelototan dari gadis itu.

Tatapanku kembali jatuh ke ponsel yang tergeletak di atas nakas. Yesha sepertinya tidak pernah terpikir untuk menghubungiku, bahkan untuk sekadar mengatakan dia ada di mana atau kapan pulang.

'Cih! Jangan mulai bersikap kayak istri sungguhan.' Aku bisa membayangkan Yesha mengatakan itu, lengkap dengan nada bicara merendahkan dan raut mencemoohnya.

Aku bergidik. "Ih, amit-amit. Aku juga ogah kalau nggak terpaksa."

Aku menyambar novel yang sempat terabaikan, kemudian menumpuk beberapa bantal di ranjang dan duduk bersandar di sana sembari melanjutkan bacaan.

Aku tak habis pikir, mengapa orang-orang di sekitarku menyukai novel-novel tentang pembunuhan. Dulu Mbak Feri, sekarang suamiku. Sekarang aku sedang membaca salah satu novel thriller koleksinya.

Adegan di dalam novel sedang tegang-tegangnya, saat sang protagonis hampir membongkar siapa pembunuh yang sebenarnya ketika tiba-tiba seseorang bertanya, "Lo belum tidur? Lagi baca apa?"

Refleks aku menjerit dan melayangkan tamparan sekuat tenaga. Aku baru berhenti menjerit saat menyadari siapa yang barusan kutampar. Di depanku, Yesha berdiri dengan tampang kuyu sembari memegangi sisi wajahnya yang terkena tamparanku. Matanya terbelalak.

'Mati aku!'