webnovel

Pertaruhan Harga Diri

John Lee dan Yelan tiba di markas secret service, lokasinya terpencil di sudut wilayah Sumeru. Gurun pasir yang berterbangan membuat mata lelaki bersurai hitam itu kerap kelilipan, sudah lama sekali ia tak bertandang ke tempat rahasia ini. Seluruh anggota secret service yang telah dilantik diberikan tugas dan langsung digantikan oleh anggota baru, mereka tidak perlu kembali ke markas atau memberikan laporan selama pekerjaan mereka selesai, limpahan dana akan terus mengalir karena pasukan khusus ini bekerja di balik bayangan.

"Kita bisa mencari tahu kenapa kau menjadi seperti ini," ujar Yelan setelah menutup pintu mobilnya lalu berjalan lebih dulu ke dalam.

John Lee hanya mengikuti perempuan itu dari belakang, banyak sekali wajah baru yang tak dikenal, namun mereka tetap menyapa John Lee dan Yelan saat sedang menyusuri koridor markas besar tersebut.

SLASH!

"Tahan emosimu, Cyno." ujar Yelan dengan suara beratnya.

Tubuh Cyno terlilit oleh benang tipis milik si surai pendek, perlahan kulitnya mulai terkelupas karena ia tak mendengarkan ucapan Yelan. Pandangan Cyno tetap terfokus kepada John Lee, ia takut kalau orang yang ada di depannya akan membawa masalah bagi secret service.

"Dia anak baru, belum ditugaskan, biarkan saja,"

John Lee mengangguk lalu kembali mengikuti Yelan sampai tiba di sebuah ruangan, saat mereka masuk, John Lee melihat seorang pria bertubuh besar sedang meninju samsak di dalam ruangannya.

"Oh, kau kembali!" ujar Varka sambil tersenyum.

Varka mengambil handuk kering di dekat sofa ruang kerjanya, sebelum berjabat tangan dengan John Lee, pria itu mengelap beberapa bagian tubuhnya hingga kering. John Lee tentu ingat siapa orang yang ada di hadapannya, Varka adalah orang yang menugaskan Zhongli untuk mengintai pergerakan salah satu anggota Harbingers yang bernama La Signora, namun sampai saat ini ia hanya mendapatkan sedikit bukti tentang kasus perdagangan manusia yang dilakukan oleh La Signora.

"Aku tak paham, kenapa kau begitu awet muda?" tanya Varka sembari mengernyitkan dahinya.

"Saya juga tak tahu, terakhir yang saya ingat saat itu saya terlibat kecelakaan di Liyue," jawab Zhongli saat dipersilakan duduk oleh Varka.

Yelan pergi dari ruangan Varka beberapa saat setelah keduanya mulai berbicara serius. Perempuan itu menggelengkan kepalanya saat melihat Cyno berlumuran darah karena berusaha melepas paksa benang tipis perangkap Yelan.

"Kau ini ada-ada saja, pangkat dia lebih tinggi darimu!" sentak Yelan kesal.

"Wajahnya saja masih seperti anak sekolahan, bagaimana bisa dia lebih tinggi pangkatnya dariku?!" balas Cyno sama kesalnya.

"Anak baru sepertimu seharusnya kubiarkan saja di jalanan," runtuk Yelan sambil berjalan meninggalkan Cyno seorang diri di koridor.

Varka mendengar seluruh cerita Zhongli, ia hanya bisa mangut-mangut karena tak percaya dengan mukjizat yang ia lihat. Zhongli kini berseragam SMA, tubuh dan wajahnya jauh terlihat lebih muda dari saat mereka terakhir bertemu 7 tahun lalu.

"Lalu bagaimana dengan istrimu? Kau sudah bertemu dengannya?"

"Sudah, tapi Ei tidak mengenal saya,"

Varka berdeham, ia tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

"Biarkan saya kirim orang-orang untuk menjaga rumah sakit dan juga istrimu, kamu bisa lakukan tugasmu lebih leluasa sekarang," ujar Varka sambil membakar cerutunya.

Varka memberikan satu cerutu lagi kepada Zhongli, namun dengan halus ditolak olehnya, Varka kembali terkekeh karena sadar bahwa Zhongli tidak merokok sejak pertemuan pertama mereka.

"Apakah ada lagi yang mengganjal?" tanya Varka.

"Ya,"

"Beberapa anggota Harbingers berusaha membunuh saya di rumah sakit, bukan tubuh saya saat ini tetapi saya yang sedang koma,"

"Siapa?"

"Saya hanya ingat Pierro dan Arlecchino,"

Varka beranjak dari sofa lalu berjalan ke meja kerjanya, ia menghidupkan proyektor yang sudah tersambung di laptopnya. Sebuah gambar anggota keluarga Harbingers lengkap terpampang di layar proyektor.

"Berarti saya melihat Pierro, Arlecchino, Columbina, dan Dottore," lanjut Zhongli pelan.

"Mereka patut diwaspadai, namun Pierro dan Arlecchino tidak akan bisa bergerak bebas jika dikelilingi oleh polisi, mengingat mereka adalah pejabat di negeri ini,"

"Dottore juga sama, dia hanya bisa bergerak di area rumah sakit namun tak bisa berbuat banyak jika ada polisi,"

"Tapi Columbina—"

***

Seorang perempuan bersurai hitam bersenandung merdu sambil menatap tubuh tak berdaya Childe, si bungsu. Columbina tersenyum lebar melihat selang infus yang menempel di lengan adiknya, sesekali Columbina mengelus rambut oranye milik Childe sambil berharap Childe bisa bangun sebelum perempuan itu mengumumkan ajalnya.

"Anak baik..."

"Anak ganteng..."

"Bangun, dong..."

Childe perlahan membuka matanya setelah mendengar suara yang familiar, ia terkejut saat mendapati Columbina sudah ada di hadapannya. Columbina langsung menduduki tubuh lemah Childe, ia menyekap mulutnya dengan lakban hitam dan masih terus bersenandung sesukanya.

"Anak ganteng ini adikku, ya? Kok lemah?" ujar Columbina, ia mengelus lembut pipi kasar milik Childe.

Hanya erangan yang terdengar di telinga Columbina, karena tertutup lakban, Childe tak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya juga sudah dikunci oleh borgol saat Columbina masuk sekitar 30 menit lalu.

"Sebenarnya Kakak tidak peduli dengan reputasi keluarga kita, tapi kalau saham kita turun karena kamu, itu tak bisa dibiarkan, Dek."

SLASH!

Childe kembali menjerit kesakitan, Columbina mencabut paksa selang infus itu sampai darahnya menyembur ke wajah perempuan bersurai hitam tersebut.

"Hmm? Begini ternyata darah anak haram," gumam Columbina dengan suara beratnya.

"Kakak tidak menyangka, Arlecchino melahirkan anak laki-laki lemah seperti kamu,"

Columbina terus menggumam setelah mengambil sebuah pistol dari belakang jaketnya, ia memasang peredam senjata sebelum memainkan benda itu di depan mata Childe.

Tak ada yang bisa dilakukan Childe selain memberontak sebisanya, Columbina merasa sangat bergairah saat muncratan darah Childe terus mengenai wajahnya, ia menjilat rona merah itu sambil tersenyum lalu meletakkan ujung pistolnya ke dahi Childe.

"Bercanda!" kata Columbina sambil tertawa.

Dor! Columbina menembakkan peluru pertamanya di samping kepala Childe, keringat lelaki bersurai oranye itu bercucuran setelah mendengar suara pistol milik Columbina, telinganya berdengung sampai ia tak dapat lagi mendengar apa yang dikatakan oleh sang kakak.

Columbina merasakan ada yang janggal di selangkangannya, perempuan itu langsung mencengkram pelir adiknya sampai Childe kembali memekik kesakitan.

"Katanya sakit? Kok masih bisa tegang?"

Semakin keras cengkraman Columbina, semakin keras pula teriakan Childe walau tertahan. Perempuan itu menendang penis Childe hingga miliknya layu, lelaki itu pingsan setelahnya.

"Masa bisa, sih, nafsu sama kakaknya sendiri? Heran," ujar Columbina sembari beranjak dari tubuh Childe.

Dibiarkannya darah Childe mengalir membasahi ranjang rawatnya, Columbina mengelap darah yang masih mengalir di sekitar wajahnya lalu beralih ke senjatanya.

"Kakak tahu kamu masih bisa mendengar Kakak, tiba-tiba gak mood tahu, Dek. Kamu bisa-bisanya tegang di sela-sela waktu kematianmu,"

"Kalau kamu bukan darah dagingku, mungkin kepalamu sudah bolong dari tadi,"

Columbina pergi dari ruang rawat Childe setelah memberitahu suster rumah sakit kalau selang infusnya terlepas sambil histeris. Perempuan itu memang gila, namun kata 'keluarga' masih mampu menahannya, lagi-lagi nyawa Childe selamat malam itu.

***

Berita kehilangan John Lee mulai tersebar bahkan sampai ke telinga Ei, melihat selembaran yang berserakan di jalanan berhasil menarik perhatian perempuan bersurai ungu tersebut.

"Ini, kan?" gumam Ei saat melihat foto John Lee di kertas itu.

Seminggu sudah pertemuan John Lee dan Ei di rumah sakit, penjagaan ketat dari Millelith kini bertubrukan dengan pasukan misterius kiriman Varka. Orang-orang yang lalu-lalang di dekat ICU harus diperiksa oleh Yelan, pemimpin pasukan khusus kiriman bosnya.

"Ei, sekarang belum jam besuk," ujar Yelan datar.

"Kenapa saya juga harus mengikuti jam besuk? Saya ini istrinya!" sentak Ei kesal.

Ei mengangkat kedua tangannya untuk diperiksa, Yelan menggeledah tubuh Ei dengan teliti, kertas yang ada di saku celana Ei mulai menjadi perhatian Yelan saat ini.

"Poster ini?"

"Ya, anak hilang dari SMA Teyvat," jawab Ei acuh.

Berarti dia belum tahu tentang Zhongli, gumam Yelan dalam hati.

Yelan mempersilakan Raiden Ei untuk masuk ke dalam, istri dari Zhongli itu mendengus kesal karena protokol ketat yang diberlakukan oleh Yelan. Padahal ia setiap hari berkunjung ke rumah sakit namun tak pernah sekali pun ia bebas dari penggeledahan.

Perut si surai ungu mulai membesar, hatinya selalu sakit jika melihat Zhongli terbaring kaku di atas ranjangnya. Ei mengecup lembut kening suaminya sambil menangis, sesering apa pun ia berdoa tetapi Tuhan seolah tak pernah mendengar penderitaannya.

"Padahal semuanya sudah normal," ujar Ei pelan.

Tidak ada yang aneh lagi saat pemeriksaan terakhir, namun dokter terus menyarankan untuk menunggu Zhongli hingga sadar di rumah sakit. Ei tak dapat membantah perintah dokter, bagaimana ia akan merawat Zhongli nanti kalau misalnya rawat jalan, lagi pula tidak ada rawat jalan untuk orang yang koma di Teyvat.

"Cepatlah sadar, Sayang." rintih Ei, tatapan sendu ke arah suaminya sungguh menyayat hati John Lee saat melihat istrinya dari luar ruang rawat.

John Lee hanya diberi waktu 3 menit oleh Yelan untuk melihat keadaan istrinya, setelah itu ia diusir dari area ICU. Di luar, John Lee diperlakukan seperti anak sekolahan oleh Yelan dengan alasan penyamaran.

Setelah keluar dari rumah sakit, John Lee melihat Hu Tao berjalan mendekatinya penuh kekesalan. Perempuan bersurai hitam itu menampar pipi sepupunya dengan keras.

"Lo ke mana aja, sih?! Hobi banget keluar masuk rumah sakit?!"

John Lee hanya mengelus pipinya yang perih, tak memberikan jawaban atas kerisauan hati Hu Tao.

Suara langkah kaki mulai terdengar dari belakang mereka, semakin cepat mendekati Hu Tao dan John Lee.

"Ayo tanding," suara itu cukup familiar di telinga John Lee.

Mereka berdua menoleh ke sumber suara, Xiao sudah berdiri tegak dengan tangan mengepal. Ia ingin membalaskan dendamnya kepada John Lee setelah kalah tarung di sekolah beberapa minggu lalu.

"Sabar, Bro! Gue ada urusan sama dia duluan,"

Dari arah yang berbeda, kawanan Itto ikut mendekati John Lee dan Hu Tao. Dengan tongkat besi kesayangannya Itto mengarahkan benda itu ke wajah John Lee.

"Setelah urusan gue sama Childe selesai, gue harus bantai lo berdua supaya bisa jadi jawara sekolah!"

John Lee menghela nafasnya berat, ia mengangguk tanda setuju atas ajakan Xiao dan Itto.

"Cari tempat sepi," ujar John Lee dengan suara berat.

Xiao berjalan lebih dulu meninggalkan mereka, disusul oleh John Lee dan Arataki Gang serta Hu Tao di belakangnya.

Saat mereka tiba di gang kecil dekat pusat kota, John Lee memasang kuda-kudanya sebelum berkelahi dengan Xiao dan Itto sekaligus.

"Pakai saja senjatamu," kata John Lee saat Itto memberikan tongkatnya kepada Kuki Shinobu.

Itto tertawa terbahak-bahak sambil mengayunkan tongkatnya, ia langsung memukul Xiao dengan senjatanya lalu berlari menerjang John Lee.

Xiao tersungkur ke tanah, serangan mendadak ini di luar ekspektasinya. Kemarahannya memuncak saat ia kalah start dengan Itto. Pertarungan mereka tidak bisa dibilang sengit. Saat Itto menyerang, John Lee dengan mudah menghindari seluruh pukulan pria gondrong itu.

"Perkelahian anak sekolah memang seru untuk ditonton, ya?"

Hu Tao terperanjat saat melihat sosok lelaki bersurai hitam dengan banyak cincin di tangannya. Ia hanya tersenyum ke arah Hu Tao sebelum kembali fokus menonton pertarungan John Lee, Xiao, dan Itto.

Serangan demi serangan mampu ditepis dengan mudah oleh John Lee, ia sudah terlatih bela diri sejak masa pendidikannya di pasukan khusus. Anak-anak sekolahan seperti mereka bukanlah lawan yang sepadan bagi John Lee.

Saat Itto melayangkan pukulannya, John Lee mengarahkan tangan Itto kepada Xiao sampai ia kembali tersungkur untuk kedua kalinya. Kerasnya tangan Itto berhasil membuat Xiao hilang kesadaran, saat itu juga John Lee melayangkan pukulan pertamanya tepat di hidung Itto hingga tulang hidungnya patah.

"Anjing!"

John Lee bergerak seperti angin, ia menendang Itto dari belakang sampai bocah raksasa itu terjatuh dan tak sadarkan diri pula.

Pertandingan ini dimenangkan oleh John Lee, lelaki itu menang telak dari kedua jawara sekolah yang sedang berusaha naik ke posisi pertama.

Suara tepuk tangan terdengar dari pria misterius itu, ia pergi dari gang kecil itu setelah puas menonton pertandingan anak-anak tadi. Hu Tao hanya bisa bertanya-tanya sosok misterius itu di benaknya, tanpa sadar John Lee sudah menarik lengannya untuk menjauh dari area pertarungan.

"Kapan saya bisa kembali sekolah?" tanya John Lee.

"Dari kemarin juga udah bisa! Lo aja yang ngilang!" balas Hu Tao kesal.

Namun, ada yang aneh ketika Hu Tao menatap wajah John Lee dari samping. Raut wajah John Lee tidak seperti biasanya, John Lee terlihat seperti hewan buas yang kecewa dengan mangsanya. Hu Tao tak lagi berani bersuara sampai John Lee kembali menjadi sosok yang ia kenal.

Mereka tiba di halte bus, sembari menunggu, John Lee menyenderkan tubuhnya di kursi halte sambil memejamkan matanya. Uap yang keluar dari kepalanya membuat Hu Tao semakin ketakutan, ia bukanlah John Lee yang Hu Tao kenal.

'Sebenarnya lo itu siapa?!' gumam Hu Tao dalam hati.