webnovel

Who Are You In My Mind

dr. Alvero Yudistira, Sp. Kj... seorang dokter ahli kejiwaan. Tidak banyak yang tahu dia pernah mengalami gejala psikosis di usia 19 tahun. Sekarang, ia dihantui perasaan bahwa suatu hari nanti penyakitnya akan kambuh. Perasaan yang akhirnya membuatnya membatasi diri untuk berhubungan dengan orang lain. Vero bahkan tidak punya keberanian untuk mempertahankan orang yang ia cintai.

Romaneskha · Realistis
Peringkat tidak cukup
67 Chs

Chapter 24: Ketenangan yang Hilang

Di rumah,

Vero segera menyalakan layar hitam besar dan menekan satu tombol yang terhubung dengan kamera CCTV. Tentang kejadian di dua malam sebelumnya. Tangan Vero bergetar menyaksikan setiap kejadian yang terekam itu. "Aku pasti sudah gila," pikirnya dengan mata memerah. Amira yang terjatuh berkali-kali dan masih tetap bertahan bersamanya, "Bodoh!" hanya itu kata yang cocok untuk menggambarkan sikap yang dipilih Amira saat itu. Perempuan itu bisa saja mati karena ulahnya, peduli itu di bawah pengaruh alkohol ataupun tidak. Amira harusnya menelpon polisi, dengan begitu polisi akan segera menelpon bagian rumah sakit jiwa dan mereka akan menjemput Vero. Menurut Vero, itulah yang seharusnya terjadi.

Di sudut kota,

Amira tak tahu ke mana ia harus pulang. Rumah Vero? Untuk beberapa alasan, Amira merasa ia lebih baik tidak datang ke rumah itu. Vero mungkin merasa terganggu dengan kehadirannya, ketenangannya hilang dan ia berubah menjadi agresif. Dan sikap Vero yang masih membiarkan Amira tinggal di rumah itu hanyalah sebagai sebuah keharusan yang biasa diperlihatkan sesama makhluk yang saling berinteraksi.

"Amira! Sombong ya kamu sekarang mentang-mentang udah nikah sama dokter kaya!"seorang perempuan yang sebaya dengan Amira, duduk di hadapan Amira.

Amira bangkit dari lamunannya. Ia menegakkan wajahnya yang sempat tertunduk. Orang yang kini duduk di hadapannya, namanya Felisa, mereka pernah bekerja bersama di restoran Jepang. Ini sudah jam 12 malam, dan rasanya wajar jika tidak sengaja bertemu Felisa di angkringan di pinggir jalan karena jam kerjanya sudah selesai.

"Apa kabar?" tanya Amira masih dengan suara getir. Sudah dua jam ia duduk di tempat itu dan hanya melamun.

"Yah. Begitulah. Pelanggan Bos yang kaya semakin banyak. Aku ditawarin ngelayanin beberapa dari mereka, dapatnya lumayan juga. Lo gimana, sama dokter kaya itu? Aku dengar dia pelanggan tetap juga ya di restoran Jepang? Beruntung banget lo ngedapetin dia."

"Yang namanya wanita bayaran tetap wanita bayaran. Seperti boneka pemuas nafsu, mereka akan tetap diperlakukan seperti itu," sinis Amira. Itu bertentangan dengan batinnya, jelas Vero berbeda dari laki-laki hidung belang yang biasa mampir di restoran Jepang tempatnya bekerja dulu. Ada sesuatu di diri Vero yang tidak ia ketahui, sesuatu yang amat sangat buruk sepertinya telah terjadi dan Amira tidak akan pernah tahu itu. Itu menyakitkan, "Bagaimana mungkin kukatakan aku mencintainya, sementara aku tidak tahu apa-apa tentangnya," pikir Amira yang kemudian meneteskan air matanya.

Feli tertegun, "Mira… lo nggak kenapa-napa, 'kan?" tanyanya dengan kerut kekhawatiran.

Amira mengusap pipinya yang basah, "Maaf," ujarnya panik sendiri.

"Apa karena laki-laki itu? Laki-laki itu jahat banget, ya? Kalo lo mau, lo boleh cerita kok sama gue!" Feli meraih lengan Amira, perempuan berambut pendek itu kemudian mengeluarkan beberapa lembar tisu dari tas tangannya yang berwarna orange muda.

"Ibuku!" lirih Amira. Amira heran sendiri apa yang sebenarnya membuatnya menangis? Benarkah Vero? Dengan beberapa alasan, Amira ingin sekali meninggalkan rumah Vero dan kembali ke kehidupannya yang dulu. Tapi, jika ia memilih egois, bagaimana dengan ibunya?

"Gue tahu lo ngelakuin ini buat ibu lo!"terang Felisa. "Dan lo harus tahan sama semua ini!"

Tangisan Amira tiba-tiba terhenti. Ia menatap Felisa, perempuan yang entah sejak kapan ia anggap teman meski tak terlalu akrab. "Benar!" batin Amira. "Aku ngelakuin ini bukan buat aku, tapi buat ibuku. Hanya itu alasannya kenapa harus tetap berada di rumah Vero. Masalah perasaan yang mulai berbeda, sudah seharusnya Amira mengabaikan itu.

"Bahkan jika Vero menyiram air keras ke wajahku, aku tetap harus tetap bertahan," Amira membuat kesimpulan sendiri.

Felisa tidak mengiyakan pernyataan itu, tapi tidak juga menyangkalnya. Mereka sama-sama tahu, buat mereka tidak banyak pilihan sementara mereka harus mewujudkan hal lainnya yang lebih penting. Masalah berkorban, itu sebuah keharusan.

Embun sudah turun dan Amira mengabaikan rasa dingin yang menyentuh pori-porinya. Mata-mata malam yang misterius, ia juga tidak menghiraukannya. Amira tenggelam dalam perasaan berkecamuk yang mengiringi tiap langkahnya. Jalan menuju rumah Vero, terasa seperti hutan belantara yang begitu sulit untuk dijalani dan berkali-kali Amira ingin berhenti.

"Sudah datang? Kenapa nggak pulang aja sekalian?" pertanyaan itu muncul dari sosok yang tubuhnya melintang di atas sofa di depan televisi. Vero yang terbaring dengan tangan kanannya sebagai tumpuan kepalanya. Gelap memenuhi ruang tengah di hampir pukul dua dini hari itu. Cahaya hanya menghambur dari televisi yang masih menyala, kumpulan bebek yang berjalan dengan pantat terlempar ke kanan dan kekiri disertai background musik klasik terdengar riang malam itu.

Langkah Amira tertahan di jarak tiga meter dari pintu kamarnya. Ia berdiri tegak dengan wajah menunduk. Telapak tangannya saling menggenggam di depan. Seperti anak gadis yang siap untuk dimarahi ayahnya.

Vero bangkit dari sofa dan melangkah mendekat pada Amira. Dengan tangan kanan tertahan di saku celana trainingnya, Vero memandangi Amira. Jakunnya bergerak naik turun dan helaan napasnya akan terdengar berat. Amira dalam pandangan Vero, bibir perempuan itu seolah membeku dan ia samasekali tidak berani menegakkan kepalanya.

"Kenapa nggak pulang aja sekalian?" ulang Vero lembut.

"Maaf!" seharusnya itu yang keluar dari mulut Amira, namun "bukan urusan Anda!" itulah yang akhirnya terdengar oleh Vero.

Vero mengangguk beberapa kali. Ia berusaha mengerti bahwa Amira mungkin marah padanya dengan kejadian dua hari lalu.

"Aku pikir Anda bakal senang kalau aku nggak ada di rumah, nggak ada yang bakal ganggu Anda?"

"Satu jam lagi kamu nggak pulang… aku mungkin…"

"Apa?...Anda akan mengusirku?" potong Amira. "Apa kita akan bercerai?" Amira tersenyum. Itu bukanlah ancaman. Rasanya Vero sendiri yang bilang bahwa dia tidak akan menceraikan Amira dengan alasan apa pun kecuali Amira sendiri yang meminta cerai darinya. Silakan saja jika ia ingin menyalahi janjinya sendiri.

"Aku beruntung pernah menikah denganmu," ujar Vero sedikit mengejutkan buat Amira. Vero kemudian bergerak ke meja di depan sofa. Di sana ada lembaran berkas.

"Ini surat permohonan perceraian. Di sini tertulis kamu yang mengajukan permohonan perceraian ini, lengkap dengan aturan pembagian harta. Setengah hartaku akan jadi milikmu, termasuk sebuah rumah dan Lamborghini yang pernah kamu minta dulu. Biaya rumah sakit ibumu juga masih akan menjadi tanggung jawabku," ujar Vero.

Amira meratapi kertas dengan aroma khas yang disodorkan Vero.

"Malam itu, aku pasti membuatmu sangat ketakutan. Sudah seharusnya kita berpisah, aku nggak mau kamu jadi korban lagi,"Vero meraih lengan Amira yang terluka, ia mengusap lembut titik-titik luka yang terukir di sana. Vero mengira dirinya sudah cukup berusaha untuk tak berubah menjadi monster. Dan terbukti, ia tak memiliki kesanggupan itu. Keputusannya menjadikan Amira sebagai istri, meskipun dengan niat menolong perempuan muda itu dan untuk menghindar dari Angel, adalah salah. "Maafkan aku,"ujar Vero pada akhirnya.

Amira diam saja setelah meyambut selembar kertas dari Vero, sesuatu yang sepertinya harus ia tandatangani segera. Rumah, mobil mewah dan harta yang melimpah, sepertinya Vero menyebutkan banyak hal diluar keampuan Amira membayangkannya. Namun, seakan tak punya pilihan, Amira harus kembali ke kamarnya dengan membawa surat permohonan itu.

Amira mendorong pintu kamarnya dengan pelan. "Korban", "beruntung", "menikah", dan "maaf", sepertinya Vero sudah menyebutkan banyak hal asing. Lalu, kata-kata itu dirangkum menjadi satu pertanyaan, "Ada apa dengan semua itu?"

Sebenarnya, Amira bisa memahami jika Vero bilang kejadian malam itu sebuah ketidaksengajaan, bukan menjabarkannya dengan sesuatu yang lebih rumit. Ada puluhan panggilan tak terjawab dan pesan dari Vero yang singgah di handphone-nya sejak siang tadi. Amira memang tidak mempedulikan benda segi empat itu sejak keluar dari ruangan Vero.

...

17:23

Sampai kapan kamu nggak ngangkat telpon dari aku?

19:05

Aku mohon… angkatlah… aku mau bicara.

20:10

Amira, aku tahu kamu takut sama sikap aku kemarin, aku minta maaf…

21.00

Aku kelaparan.

22.10

Baik. Nggak masalah kalau kamu nggak mau pulang…menginaplah di hotel atau rumah temanmu. Beri aku kabar kalau kamu baik-baik aja.

23.30

Amira…

24.01

Aku akan terima konsekuensinya, bahkan kalau kamu mau kita cerai hari ini…

...

Amira kembali menarik gagang pintu. Ia menyelipkan tubuhnya yang ramping di antara daun pintu yang tak terbuka sempurna. Kata-kata "kelaparan" membuatnya tidak tenang. "Apa dia nggak bisa ngurus diri dia sendiri? Gimana kalau aku beneran pergi? Apa dia nggak akan makan selama berhari-hari?" keluh Amira dalam hati. "Tentu saja dia beruntung menikah denganku, aku yang memikirkan semua kebutuhannnya," Amira dengan percaya diri kembali menyoroti ruang gelap yang begitu sunyi. Dari celah sempit pintu kamar Vero yang terbuka, Amira melihat sosok tinggi itu sedang duduk di sisi tempat tidur, pahanya melebar, jemarinya saling menggenggam, tubuhnya agak membungkuk dan pandangannya jatuh ke lantai kayu berwarna kecokalatan.

Amira mengetuk pintu kamar Vero dua kali. Vero beraksi, ia berpaling, matanya tertutup helayan poninya yang mulai memanjang.

"Aku nggak sengaja," ujar Amira.

Vero diam.

"Soal panggilan Anda tadi siang," jelas Amira lagi.

"Sebenarnya wajar banget kalau akhirnya kamu nggak berani pulang," tanggap Vero. "Lagian nggak ada gunanya juga buat kamu ngangkat panggilan dari aku. Nggak akan ada hal penting yang bisa aku ucapkan, kecuali maaf. Dan maaf nggak akan mengembalikan waktu ke kejadian di mana hal buruk itu harusnya nggak terjadi. Maaf juga nggak akan mengembalikan orang yang mati menjadi hidup lagi," Vero tiba-tiba teringat soal ibunya. Ayahnya sudah meminta maaf pada Vero soal kejadian itu dan tetap saja seperti ada yang mengganjal di hatinya, nurani Vero tak bisa menerima begitu saja.

"Dan… aku tidak tahu apa aku bakal menandatangani surat permohonan cerai itu. Aku mohon, izinkan aku balas budi untuk semua yang Anda berikan, apakah itu dengan status sebagai istri, wanita simpanan, atau hanya sebagai asisten rumah tangga. Kukira diriku berguna dibidang itu?"

Garis bibir Vero tertarik ke kanan. "Pergilah! Atau kamu bakal terluka lagi!" Vero beranjak dari tempat duduknya dan berjalan melewati Amira. Bahu Vero menyenggol lengan Amira yang terluka dan sekali lagi membuat Amira meringis.

Vero berjalan menuju dapur, ia mengambil beberapa sayuran dari dalam kulkas. Memotong sayuran itu seperti seorang koki profesional. Wajan bergoyang dengan sempurna setelah Vero melemparkan potongan sayuran ke dalam wajan.

Mata Amira membulat, ia sadar ia salah mengira Vero tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Dia sempurna, sempurna untuk menyembunyikan keahliannya memasak selama ini.

Hingga nasi goreng tersaji di meja makan, Amira masih tidak bisa megatakan apa-apa.

"Kuberitahu bagaimana seharusnya kamu balas budi padaku…," berat Vero.

Amira menengadahkan kepalanya, melihat wajah Vero yang kini dihiasi senyum khas malaikat.

"Dapatkan gelar doktermu dan teruslah merawat ibumu hingga batas kau tak bisa lagi melawan takdir. Dan jangan menungguku mengusirmu, karena aku merasa terganggu dengan kehadiran orang lain di rumahku…adalah benar."