webnovel

Who Are You In My Mind

dr. Alvero Yudistira, Sp. Kj... seorang dokter ahli kejiwaan. Tidak banyak yang tahu dia pernah mengalami gejala psikosis di usia 19 tahun. Sekarang, ia dihantui perasaan bahwa suatu hari nanti penyakitnya akan kambuh. Perasaan yang akhirnya membuatnya membatasi diri untuk berhubungan dengan orang lain. Vero bahkan tidak punya keberanian untuk mempertahankan orang yang ia cintai.

Romaneskha · Realistis
Peringkat tidak cukup
67 Chs

Chapter 13: Keterpaksaan

Keeseokan harinya,

Vero berbalik arah. Ini baru pukul setengah delapan pagi, tapi Angel sudah menghadangnya di pertengahan koridor menuju ruang perawatan.

"Papiku bilang kemarin kamu jalan dengan perempuan lain?" Angel menarik lengan Vero.

Jakun Vero bergerak naik turun. Amira yang tidak mengerti apa-apa, entah kenapa terlibat juga dengan masalah dirinya dan Angel. Vero kemudian memperhatikan jemari yang melingkar di lengannya, ia meraih jemari itu dan memaksa Angel melepaskan dirinya. "Sekarang apa pun yang aku kerjakan tidak ada hubungannya sama kamu. Aku juga tidak wajib mengklarifikasi apa pun," katanya. Vero tidak tahu lagi bagaimana cara membuat Angel pergi dan melupakannya."Pasti begitu buruk telah mengenalku. Jujur, aku tidak terbiasa berusaha terlalu keras untuk seseorang. Omong kosong soal cinta. Aku ini laki-laki, tentang wanita... kamu tahu 'kan apa yang laki-laki mau?" jelas Vero sedikit liar. "Aku tidak mau terlalu serius menanggapi ini dan berhenti menggangguku!"

Kening Angel mengerut. "Jadi, maksud kamu... aku pengganggu?" tanya Angel lebih pelan.

"Ya."

Vero tersenyum sinis, hari yang benar-benar cerah dengan awan putih yang menempel di semesta biru. Tapi, tidak ada satu pun yang akan menyadari kalut pikirannya. Vero menerobos tubuh Angel yang mematung. Bahu mereka saling bersentuhan, seketika tubuh Angel terguncang dan lututnya tertekuk.

...

"Angel, kamu nggak kenapa-napa, 'kan? Ayo, bangun!" seseorang yang kebetulan lewat segera membantu Angel agar kuat berdiri.

"Ayolah Angel, jangan begini!"

Vero memasukkan tangan ke saku jas, hanya untuk menyembunyikan jemari yang bergetar. Ia merasa ngeri sendiri mengingat Angel yang selama ini berusaha mengambil hatinya. Sekarang raga Vero seperti ruang hampa yang tidak berarti. Puluhan panggilan tidak terjawab setiap hari, bahasa-bahasa cinta yang dikirimkan Angel melalui pesan singkat, Angel yang tidak pernah melepaskan sorot matanya saat mereka bertemu, membuat Vero semakin dan semakin menyesali pertemuan mereka.

Memegang tangan Angel, itu yang ingin ia lakukan. "Aku mencintaimu," itu yang ingin ia katakan. Apa pun yang terjadi, seharusnya mereka menikah. Tapi, jika suatu hari nanti Vero kehilangan kewarasannya, lalu bagaimana dengan Angel? Apa Angel akan baik-baik saja? Tidak. Tidak pernah ada yang baik-baik saja.

Ribuan keluhan terus ia dengar. Vero bisa memahami jika pasangan mereka meninggalkan mereka yang sudah tidak waras lagi. Ini kelumpuhan secara mental yang dapat mengakibatkan kehilangan kemampuan bersosialisasi, terganggunya ekonomi, serta gangguan secara kognitif dan emosi. Sangat mungkin mereka yang kehilangan kewarasan, akan lupa bagaimana cara mengancingkan kemeja mereka sendiri.

Dan cinta itu sungguh mengerikan. Perasaan itu pernah membawa seorang ibu renta tetap bekerja dan berusaha melindungi anaknya yang telah terdiagnosa Skizofrenia selama berpuluh-puluh tahun. Cinta yang membawa seorang istri berada bersama suaminya dalam sebuah kamar dengan teralis yang terkunci. Pada suatu waktu ia menangis karena suaminya tidak lagi mengingat tentang dirinya. Dan hal yang lebih buruk mulai bermunculan di otak Vero hingga Vero merasa mual. Tidak. Dia tidak akan membiarkan Angel di posisi itu dan ikut terkena stigma negatif di masyarakat karena dirinya.

~II~

"Maaf, tapi saya tidak pernah melihat Anda seperti ini."

Gerak pulpen yang ada di antara jari Vero terhenti. Ia lupa hal yang ingin dituliskannya. "Baiklah! Sekali lagi aku akan mendengarkan mereka yang menyalahkanku," pikir Vero. Vero akhirnya menengadahkan kepala dan memandang tegas pada orang yang sepertinya ingin sekali bicara padanya.

"Seperti apa aku dulu?" tanya Vero.

"Anda tidak pernah menyakiti siapa pun. Anda bukan orang yang tega."

"Jika saja aku bukan orang seperti itu. Kurasa akan lebih mudah."

"Maksud Anda? Anda terpaksa?"

Vero mengangguk. Terhadap satu-satunya perawat di ruang rawat inap akut itu, Felin namanya, yang berani bertanya padanya dan memberikan penilaian, Vero merasa tidak sulit untuk berkata jujur. Dia satu-satunya yang berani bertanya langsung di antara ratusan orang yang menghujatnya. Perempuan itu cukup berani untuk menunjukkan perhatiannya.

"Jika dikepalamu masih ada pertanyaan, tahan saja! Entah kenapa aku merasa kamu bakal lihat sendiri kenyataannya. Aku pergi dulu," Vero akhirnya menutup rekam medis pasien terakhir. Tugasnya telah selesai di ruangan itu.

Vero melihat jarum jam yang baru menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia juga mengecek smarthpone miliknya. Sebuah pesan singkat masuk sejak setengah jam lalu.

'Dok! Anda ditunggu di Poli Anak dan Remaja.'

Sekarang Vero ada di persimpangan, jika ia belok ke kanan, maka ia akan sampai ke Poli Anak dan Remaja lebih cepat. Namun, Vero justru berbelok ke kiri. Targetnya adalah cleaning servis yang sedang menyapu koridor. Vero melingkarkan tangannya ke bahu orang itu dan membisikkan sesuatu, "Aku bayar lebih untuk rokokmu!"

"Dok! Anda tidak boleh ngerokok di rumah sakit. Bisa didenda satu juta," kata laki-laki muda yang tingginya hanya sebahu Vero saja.

"Alah...kamu juga sering 'kan ngerokok di rumah sakit. Aku tahu kok kamu bawa rokok. Ayo, cepat siniin!" Vero lebih terlihat seperti pembajak daripada seorang dokter.

Aman mengeluarkan kotak rokok dari saku celananya."Tapi, ini cuman ada beberapa," katanya tampak tidak ikhlas.

"Nggak masalah," Vero merampas kotak itu dari tangan Aman. Ia kemudian menyelipkan uang dua puluh ribuan ke saku kemeja Aman. Vero merasa puas karena mendapatkan apa yang ia mau meski di dalam kotak itu hanya ada lima batang isinya. Takdir, rumah sakit jiwa selalu saja berada di tempat terpencil. Perlu lima kilometer keluar dari rumah sakit untuk bisa menemukan penjual rokok.

Targetnya selanjutnya adalah Yudi, orang itu sudah dipindahkan dari ruang perawatan akut. Sebenarnya, Yudi bukan lagi di bawah tanggung jawab Vero setelah laki-laki itu pindah ke ruang perawatan pasien jiwa yang mulai tenang.

"Bukakan ruangan yang itu!" pinta Vero pada perawat jaga di sana.

"Jangan macam-macam di sini!"

Vero tersenyum ketika ada yang menyahutnya seperti itu. Perawat yang barusan ia perintah, namanya Bu Ambar. Perawat senior sekitar empat puluh tahunan, kepala ruang perawatan yang terkenal pemarah. Semakin menyeramkan dengan bibir yang merekah seperti habis minum darah. Jika Vero bertemu dengannya, Vero akan berusaha menciptakan masalah. Biar begitu, Vero tahu Ambar tidak akan mengabaikan permintaannya.

Vero menemukan Yudi yang sedang duduk di tempat tidur sambil menghadap jendela. Vero menghampiri dan berdiri di sisi jendela sambil melipat tangannya di depan dada.

Yudi berpaling ke Vero, "Lama tidak melihat Anda," katanya begitu susah payah.

Vero mengeluarkan batangan rokok dan memberikan satu ke Yudi. Orang itu tentu saja sangat senang. Rokok adalah obat penenang yang paling manis, itulah yang dipahami Vero.

"Katakan! Apa yang kamu lihat?" Vero mengepulkan asap ke udara.

"Saya hanya melihat Anda."

"Itu bagus," katanya. Yudi memang tidak histeris seperti saat di IGD. Tidak merasa terancam dan ketakutan terhadap objek yang hanya bisa dilihat oleh dirinya sendiri. Tapi, apakah itu bisa dipercaya? Yudi orang yang berpengalaman, ia akan cepat dikeluarkan dari rumah sakit jika gejala seperti halusinasi tidak mendominasi dirinya. Mungkin benar dia telah terbebas dari halusinasi karena pengaruh obat, tapi mungkin juga laki-laki itu sedang berbohong sekarang. Nyatanya, Yudi hanya mau memalingkan kepalanya tiga puluh derajat mengarah pada Vero. Ia akan menghadap lurus ke depan lagi setelah melihat Vero. Seperti ada sesuatu yang membuatnya takut berpaling ke belakang. Sudut kosong yang gelap.

~II~

Di Poli Anak dan Remaja,

"Dia kecanduan alkohol dan terlibat dalam penyalahgunaan obat tiga bulan terakhir. Orangtuanya mengatakan anaknya sering mengamuk dalam seminggu terakhir dan pernah juga melakukan percobaan bunuh diri."

Vero fokus mendengarkan riwayat kasus yang dibacakan oleh perawat yang berada satu ruangan dengannya saat itu. Ia mengempaskan punggung ke sandaran kursi sambil memperhatikan orang yang tertunduk di hadapannya. Sudah lima belas menit anak itu mematung, padahal Vero sudah menimbulkan cukup banyak keributan dengan memutar-mutar kursi dan memainkan pulpen di tangannya. Kesimpulannya, tidak ada yang menarik perhatiannya, Vero bahkan jarang melihatnya berkedip.

"Panggil orang tuanya!" perintah Vero.

"Anak umur 14 tahun sudah terlibat dengan minuman keras dan penyalahgunaan obat-obatan, jelas ini kesalahan Anda dan Anda!" tunjuk Vero satu per satu. "Saya hanya akan memberikan obat untuk menetralisir efek samping dari alkohol dan obat-obatan yang diminum dengan dosis berlebih. Selebihnya saya akan membuatkan jadwal."

"Untuk anak kami?" sasar sang ayah.

"Tidak," sanggah Vero."Saya akan membuatkan jadwal untuk Anda berdua."

Vero menyerahkan selembar kertas pada orangtua pasien.

"Sarapan dan makan malam bersama. Menelpon per dua jam. Nonton TV bersama setiap malam. Dan rekreasi di setiap akhir pekan," sang ayah membaca tulisan dari Vero.

"Anda juga harus menghubungi pembimbing spiritual Anda! Minta pencerahan minimal tiga hari sekali. Apa itu terlalu berat?" tanya Vero.

Tidak ada jawaban.

Vero menghela napas, ia tahu orang-orang di hadapannya juga pekerja. Betapa sulitnya bagi mereka memenuhi jadwal yang dibuat Vero. "Anda harus melakukan itu. Atau jika tidak, anak Anda akan mengalami disfungsi permanen sampai kematian. Saya dengar, dia ini anak Anda satu-satunya. Jika tidak segera ditangani, ada kemungkinan dia harus dirawat di sini dan mendapatkan stigma buruk dari masyarakat. Anda bahkan harus memberikan perawatan seumur hidup untuknya," Vero menceritakan fakta dengan lebih buruk.

"Baik. Kami akan usahakan."

"Ok. Sebulan lagi datang ke sini, bawa bukti dokumentasi bahwa Anda sudah melaksanakan apa yang saya resepkan."

"Baik. Dok!"

...

"Apa Anda harus menakut-nakuti mereka seperti itu? Dan, apa tidak apa-apa, Dok? Dia 'kan punya riwayat percobaan bunuh diri?" tanya perawat yang sejak tadi keningnya mengerut. "Saya kira Anda akan memumutuskan agar dia dirawat?"

"Anak ini mungkin mengalami depresi, tapi luka di tangannya tidak terlalu dalam. Hanya goresan-goresan saja. Dia cukup sehat untuk tahu mana yang bermanfaat dan tidak untuk dilakukan. Ini hanya caranya untuk mendapat perhatian dari orang tuanya," jelas Vero yang sebenarnya ragu dengan keputusan yang ia ambil. Bunuh diri, bagaimana jika orangtuanya gagal mengawasi dan gagal memberikan perhatian, kematian itu mungkin saja terjadi.

~II~