webnovel

New Life

Setelah lelah mereka bermain kejar-kejaran di taman bermain, Aura mengajaknya ke suatu tempat yang belum pernah siapapun kunjungi selain dirinya sendiri. Yaitu di lantai paling atas dari gedung panti asuhan yang tak beratap.

Pemandangan luas akan langit biru dan awan putih terlihat jelas disana, serta sejuknya udara pagi yang menenangkan kedudukan mereka yang saat ini berada di tepi gedung bersandarkan pembatas tembok yang rendah seukuran tubuh mereka.

Sembari menatap terbitnya sang surya yang masih bersembunyi di balik bukit, Aura menanyakan sesuatu tentang mimpi buruk yang Anastasia alami pagi buta tadi.

"Kau mimpi apa tadi? Jujur saja kau berhasil membuatku ketakutan tadi pagi," ujarnya sambil tertawa sekilas.

"Aku bermimpi bertemu dengan Ayahku, awalnya aku kira itu nyata. Ternyata itu semua hanya mimpi." ucap Anastasia mengeluh.

Lalu Aura merangkulnya, menyandarkan kepala Anastasia di bahunya.

"Sudahlah, jangan diingat-ingat lagi. Dia sangat menyayangimu, Ana. Karena kau baik."

"Biasanya Tony yang mengobati rasa rinduku pada Ayah. Tapi akhirnya aku juga terpisah dengannya."

Tak terasa hangatnya sinar mentari pagi menyinari wajah-wajah imut mereka. Senyum manis mereka pun turut menyertai momen itu. Jujur baru pertama kali ini Anastasia menikmati pemandangan yang tersaji indah di depan manik coklatnya.

"Biasanya aku sendirian disini. Tidak ada yang tahu tempat ini selain aku." ujar Aura kemudian.

"Mengapa begitu?" tanya Anastasia heran.

"Karena jika banyak yang tahu, pasti semua teman-teman akan kemari, apalagi kalau sampe ketahuan para suster, mereka pasti tidak akan mengijinkan kita kesini lagi," jelas Aura.

"Lalu mengapa kau mengajakku kesini? Apa kau tidak takut kalau suatu saat nanti aku akan bilang sama teman-teman tentang tempat ini?"

"Karena aku percaya padamu, Ana. Dan juga sebelum kita berteman, kau seringkali menyendiri, seperti ketakutan. Aku kasihan padamu, Ana, jadi aku mengajakmu." Jawab gadis yang murah senyum itu.

Anastasia mengangguk pelan dan membalas senyumnya.

Setelah itu, Aura bergegas mengajaknya kembali ke ruang kamar sebelum jam menunjukkan pukul 7 pagi. Sebab, biasanya para suster membangunkan anak-anak pada jam tersebut.

Namun sayang rencana mereka gagal saat salah satu suster disana menghalangi mereka yang tengah berlari kencang. Mereka terjingkat dan mendadak menghentikan pelariannya hingga hampir terjatuh ketika melihat suster itu di hadapannya.

Raut wajah suster itu tampak serius memandang kedua bocah tersebut. Aura dan Anastasia pun tidak bisa berkata-kata lagi layaknya pencuri yang tertangkap basah.

"Kalian berdua, ikut ibu ke kantor." sembari menuding mereka berdua.

Mau tak mau mereka berdua harus menuruti perintahnya. Kini dengan langkah gontai mereka membuntuti punggung suster itu hingga sampai ke kantor konseling.

Sesampai di kursi panas, mereka berdua mematung dengan pandangan sayu. Sementara suster lainnya yang bertugas di ruangan itu mulai menginterogasi.

"Kalian darimana?" tanya suster paruh baya itu dengan nada serius.

Anastasia tak sengaja melihat nama suster itu di mejanya, Claire Hunnigan. Ia pun langsung paham jika suster yang satu ini pasti berperan penting di panti asuhan ini. Seperti halnya kepala sekolah.

Saat Anastasia akan menjawabnya, Aura mendahuluinya.

"Maaf, suster. Kami berdua hanya jalan-jalan."

Jawaban Aura membuat suster Claire menyipitkan matanya seolah memastikan bahwa Aura tidak membohonginya.

"Mengapa tidak sewaktu kalian bermain saja pada pukul 9 pagi sampai pukul 12 siang? Seperti biasanya?" tanya Claire.

Aura tertunduk, sepertinya ia tidak bisa mejawab pertanyaannya lagi.

"Kecuali, kau sudah lama melakukan ini, Aura? Benarkah itu?"

"Ehm-suster Claire?" celetuk Anastasia sambil mengangkat tangan kanannya.

"Ya, Anastasia?" balas Claire yang masih serius.

Aura terkejut, kedua matanya melebar namun tetap menunduk. Ia merasa ketakutan jikalau sampai Anastasia mengatakan yang sebenarnya.

"Sebenarnya aku mencoba berbaur disini, suster. Dan aku juga masih tidak paham dengan waktu-waktu yang ditentukan disini. Ini bukan salah, Aura, suster. Maafkan aku, suster." jelasnya dengan akhir merunduk menghormatinya.

"Baiklah, aku harap ini yang terakhir, anak-anak. Jangan sampai di ulangi lagi ya. Jujur kami sangat khawatir saat suster Siena memeriksa kamar kalian, tapi kalian berdua tidak ada disana."

Suster Siena adalah suster yang tadinya menghalangi pelarian Aura dan Anastasia. Usianya masih cukup muda untuk menjadi suster, sekitar 20 Tahunan. Dibalik hijab hitam yang juga termasuk seragam khas para suster, paras cantiknya cukup terlihat sempurna. Hanya saja saat itu Anastasia bertemu dengannya saat ia melakukan kesalahan. Andai saja bukan di waktu itu, ia yakin bahwa suster Siena itu adalah sosok wanita yang baik dan ramah.

Berbeda dengan Suster Claire yang selalu serius, namun setiap kata yang ia lontarkan sangat mendidik. Dengan kaca mata kotak yang selalu ia kenakan setiap saat.

***

Pagi ini Tony sedang berada di rumahnya untuk mengambil beberapa pakaian ayahnya dan juga beberapa barangnya yang saat itu tidak di bawa olehnya.

Tak sengaja, Tony melihat surat hak asuh itu lagi di dalam lemarinya. Diambil lah surat itu dari selipan pakaiannya yang sudah tertata rapi.

Dengan melihat nama Anastasia Amber, lagi-lagi ia merindukan sosoknya yang pernah hadir di sisinya. Hati bergejolak bercampur rasa amarah yang saling beradu membuatnya menggenggam erat kedua sisi surat itu, tak lama kemudian ia merobeknya menjadi dua bagian.

Dan Vanesha melihat semua itu setelah memasuki kamar yang awalnya berniat membantu Tony membawakan barang-barangnya.

"Tony? Apa yang..." menghampirinya dan mengambil surat hak asuh itu yang berserakan di lantai.

"Ada apa, Tony?" tanya Vanesha yang mengkhawatirkannya.

"Tidak apa-apa, kan surat itu sudah tidak berguna lagi untukku,"

Vanesha menghela nafas lalu mengajaknya untuk duduk sejenak di tepi ranjang. Mencoba meluruskannya.

"Tony, aku pun merindukan Anastasia. Perasaan bersalah tiada henti yang aku rasakan ketika mengantarkannya ke panti asuhan. Disamping itu juga keputusan Ayahmu, Tony. Aku tidak bisa berbuat apa-apa..."

"Aku tahu, Vanesha. Kau sudah menjelaskannya kemarin. Lupakan saja, buanglah surat itu." lalu kembali melanjutkan aktifitasnya.

"Tony, sepahit apapun keputusan orang tuamu, aku yakin itu adalah yang terbaik untuk anak semata wayangnya. Bahkan sampai saat ini mereka sudah pernah kehilangan satu harapannya, yaitu Cassie. Kini tinggal dirimu, Tony. Satu-satunya harapan mereka yang tersisa. Kau hanya kehilangan satu orang, yang sebenarnya itu memang bukan milikmu, kau sudah seperti ini?"

Penjelasan dari Vanesha itu berhasil membuatnya merenung. Tony sempat menghentikan aktifitasnya sejenak dan mendengus kasar. Kemudian menatap Vanesha, tatapan serius itu seolah memiliki arti yang sangat dalam baginya.

Namun Vanesha paham dengan apa yang dirasakan Tony akhir-akhir ini. Penuh bimbang, gelisah, bahkan terkadang sering bertarung dengan dirinya sendiri.

Setelah selesai, mereka berdua pun berangkat kembali ke rumah sakit dengan mobil. Lalu Tony tak sengaja melihat Christine di depan rumahnya. Ia bersama dengan seorang pria yang sepertinya akan membeli rumah yang ia jual itu.

Tanpa ragu lagi, Tony menepikan mobilnya lalu turun menghampiri Christine yang sedang berbincang dengan pria itu.

"Hei, Christine!" dengan tegas Tony menyapanya.

Christine tampak terkejut setelah mengetahui bahwa pria yang memanggilnya itu adalah Tony.

"Bagaimana kabarmu?! Kemana saja kau selama ini?!"

Christine meneguk salivanya berkali-kali. Tony memandangnya cukup tajam sampai membuat Christine gelagapan, seolah ingin menghindar darinya.

"Kau tidak bisa lari kemana-mana lagi, brengsek!" ujar Tony kasar sambil menudingnya.