webnovel

Getting Closer

Jonathan menceritakan semua kehidupannya pada Tony. Mulai dari pertama ia berumah tangga sampai akhirnya ia berpisah dengan istri dan kedua anaknya hanya karena ia salah memilih kehidupan yang berkaitan dengan masa lalunya.

Ternyata Jonathan adalah seorang mantan mafia terbesar, dan ia berhenti menjalani itu semua setelah menikah dengan seorang wanita yang tengah menyadarkan dirinya bahwa kehidupan yang dijalaninya itu salah.

Ia pun memandang wanita itu seperti halnya permata yang sangat langka, sebab jarang sekali Jonathan mengenal seorang wanita seperti mantan istrinya itu. Kebanyakan wanita hanya memandangnya sebagai sumber harta melimpah yang tiada habisnya.

Sayangnya, perpisahannya antara Jonathan dan mantan istrinya itu harus terjadi karena suatu masalah di masa lalunya yang masih belum tuntas yang turut mengancam keluarganya. Akhirnya, Jonathan terpaksa menggugat cerai demi keselamatan istri dan kedua anaknya yang sudah beranjak remaja.

"Dan akhirnya, kau tidak punya pilihan lagi?" ujar Tony.

"Tepatnya, aku dalam pilihan yang sangat sulit saat itu," balas Jonathan penuh sesal dalam dirinya.

"Apa kau pernah menghubungi mereka?" tanya Tony.

"Tidak pernah, sejak perceraian itu."

Tony merangkul Jonathan, berusaha menenangkan pikirannya.

"Mereka mencintaimu, Jon, kau harus tahu itu,"

"Aku rasa tidak, aku meninggalkan mereka tanpa alasan yang jelas, Tony. Itu juga alasanku, mengapa aku tidak bisa merawat Anastasia. Kehidupanku rumit, berbahaya, tidak bagus membesarkannya dengan situasi seperti itu,"

Tony pun memahaminya dari sepenggal kisah kehidupan yang ia ceritakan padanya.

"Kau pria yang baik, Tony. Jangan sampai kau salah memilih kehidupan sepertiku," ucap Jonathan dengan wajah memelas.

"Pasti, Jon. Lagipula, sebentar lagi aku akan merawat Anastasia. Aku berjanji akan menjaganya seperti nyawaku." Tony tersenyum padanya.

***

Sepanjang perjalanan Tony mengantar Anastasia ke tempat tinggalnya dengan mobil, Anastasia memaparkan senyum manisnya tanpa terhenti sekali pun, menandakan bahwa ia sangat senang saat bersamanya. Sesekali Tony melirik dan membalas senyumnya.

Tempat tinggal Tony sangat luas dengan 2 lantai, di lengkapi kolam renang yang terletak di halaman belakang rumahnya. Sungguh berbeda dari tetangga-tetangga di sekitarnya.

Bibir manis Anastasia menganga, serta mata coklat indahnya melebar ketika memandang kesana kemari seisi rumah Tony yang begitu elegan dan sempurna bak rumah seorang sultan.

"Ana?" Tony melambaikan tangan di hadapannya.

"Oh, ya, Tony?" Anastasia pun tersadar.

"Ada apa denganmu?" tanya Tony tersenyum padanya.

"Ehm...tidak apa-apa, Tony, maaf," jawab Anastasia tersipu.

"Ayo ikut aku, aku tunjukkan dimana kamarmu."

"Ya, Tony." Anastasia mengangguk cepat, kemudian membuntuti Tony.

Tony membuka pintu kamar untuk Anastasia yang di dalamnya sudah terhias apik dan di penuhi boneka-boneka cantik di sekitaran ranjangnya. Dinding tembok berwarna merah jambu melengkapi kesan imut di dalam kamar itu.

"Ini dulunya kamar Cassie, adik perempuanku. Aku harap kau suka."

Raut wajah Tony tiba-tiba murung saat menyebut nama mendiang adik perempuannya.

"Tony, aku suka kamar ini, jangan sedih," ucap lembut Anastasia sambil menggenggam kedua tangannya.

"Aku tidak sedih, aku hanya, teringat kembali padanya. Selama ini aku tidak pernah membuka kamarnya sejak ia meninggal." balas Tony.

Memang benar yang dikatakan Tony. Semenjak meninggalnya Cassie, ia tidak pernah sekalipun membuka kamar itu. Vanesha lah yang selalu membersihkan kamar Cassie ketika ia sedang mampir ke rumahnya.

Kepergiannya sungguh membuatnya terpukul layaknya sebuah palu raksasa yang menghantam keras kepalanya. Terbelenggu oleh rasa sesal yang mendalam karena tidak berhasil menyelamatkan nyawanya.

Tony merasa gagal merawat adik kesayangannya. Sebab kedua orang tua memasrahkan Cassie padanya saat mereka bekerja di luar kota, tepatnya di kota Jerman sebagai CEO di perusahaan mereka sendiri. Alhasil, Tony merawat Cassie sendirian tanpa bantuan siapapun, hanya dibantu transferan dana dari orang tuanya setiap bulan.

Kedua orang tuanya jarang sekali pulang ke rumahnya, bahkan hampir tidak pernah. Itu semua karena kesibukan mereka di perusahaannya. Saat itu lah Tony merasa jauh dari orang tuanya.

Malam hari, sebelum Anastasia tidur, ia sempat melihat bingkai foto-foto Tony dan Cassie yang terletak di meja belajar. Mereka berdua sangat bahagia. Terlihat jelas dari senyum cerah yang mereka utarakan di dalam foto itu.

Anastasia juga melihat foto mereka berdua bersama seorang wanita cantik berambut coklat ikal yaitu Vanesha. Namun ia masih belum pernah mengenalnya. Ia pun bertanya-tanya dalam hatinya, siapa wanita itu?

"Ana? Belum tidur?" sahut Tony membuatnya kaget.

"Ehm...belum, Tony," balasnya gugup saat melihat Tony yang sedang berdiri bersandar di tepi pintu kamar.

"Tidak apa-apa, lihat-lihat saja, aku memang ingin kau terbiasa di kamar ini,"

Jawaban Tony membuat Anastasia sedikit lega, karena ia merasa bahwa dirinya lancang saat melihat foto-foto itu.

"Jika kau lapar, aku membuat makan malam di meja makan..."

"Aku ingin makan malam bersama Tony." potong Anastasia.

"Maaf, Ana, aku tidak biasa makan malam, aku ambilkan untukmu ya?"

Lagi-lagi Tony membuatnya marah. Ketika Anastasia marah ia selalu diam dan berpaling darinya.

"Kau marah lagi padaku?"

"Aku tidak akan bicara dengan Tony sebelum Tony makan malam." jawab Anastasia.

"Tapi barusan kau bicara padaku, kan?"

Anastasia diam saja membelakanginya.

"Ok ok, ayo kita makan malam bersama di meja makan, ayo." akhirnya Tony mengalah padanya.

Hal itu membuat Anastasia tersenyum kembali, apalagi di saat melihat Tony yang begitu rakus menyantap makanannya. Sejujurnya karena ia sangat kesal pada Anastasia yang selalu memaksanya untuk makan.

"Kau senang sekarang?" ucap Tony ketika mulutnya masih penuh dengan makanan.

Anastasia pun tertawa terpingkal-pingkal melihatnya.

"Tentu saja kau sangat senang, jelas sekali." mengunyah kembali makanannya.

"Setahuku kalau makan tidak boleh berbicara," ujar Anastasia saat sejenak menghentikan tawanya.

"Baiklah, aku tidak akan berbicara." balas Tony yang masih kesal padanya.

"Tapi Tony masih berbicara barusan,"

"Kau juga, nona kecil."

"Aku hanya memberitahu Tony,"

"Tapi tetap saja berbicara, kan?"

Perdebatan lucu mereka tak kunjung henti disana. Namun hal itu justru membuat mereka semakin akrab.

Seusai makan malam, Tony mengantarkan Anastasia pergi ke kamarnya.

"Selamat malam, Ana. Sampai besok." lalu pergi meninggalkannya.

"Itu saja?" sahut Anastasia kemudian.

Langkah Tony terhenti di depan pintu kamar.

"Apa lagi yang harus kulakukan, Ana?" tanya Tony sambil menguap, kedua matanya tak kuat lagi menahan kantuk.

Ia rasa sudah cukup untuk hari ini mengerjainya, akhirnya ia menyuruh Tony untuk istirahat.

"Tidak ada. Istirahatlah. Selamat malam, Tony." tersenyum manis padanya.

"Selamat malam, Cassie."

Tak sengaja Tony memanggilnya dengan nama mendiang adik kandungnya sambil berjalan keluar kamar dengan mata mengantuk.

Anastasia sedikit cemburu dengan Cassie sekaligus merasa kasihan terhadap Tony yang sepertinya sangat sulit merelakan kepergian adiknya.