webnovel

Vorfreude: Rachel Richmann

Krisis pangan dan energi berkelanjutan telah memperparah kondisi peradaban umat manusia di tahun 2157 M pasca perubahan iklim ekstrem dan kekeringan menahun. Para politisi, pebisnis, dan ilmuwan telah berbondong-bondong menciptakan kebijakan dan penemuan tepat guna agar manusia dapat bertahan hidup di tengah krisis. Rachel Richmann, CEO sekaligus ilmuwan dari Cyclops Intelligence adalah salah satunya. Rachel memiliki ambisi besar untuk melakukan rekayasa genetik agar manusia dapat bertahan hidup tanpa makanan dan oksigen melalui gen dan microchip yang diberi nama Instinctive Cardinal Nutrition Generator (ICNG-257). Penelitian dan komersialisasi bisnisnya sukses besar, namun diluar dugaan seseorang dari laboratoriumnya sengaja mengubah fungsi dan sistem gen dan microchip tersebut hingga mengakibatkan cacat permanen pada penerima rekayasa, termasuk diantaranya adalah para politisi dan pengusaha elit. Rachel telah dituntut atas kesalahan praktik yang terjadi di perusahaannya, namun Ia berhasil membungkam media dan penegak hukum. Rachel mengaku tidak bersalah, dan Ia terus mencari sosok Lore Hasenclever, peneliti yang disinyalir sebagai dalang dari insiden tersebut. Di tengah kegamangannya, Rachel bertemu dengan Niels Geyer, seorang arkeolog dan pemerhati lingkungan yang sangat membenci pengusaha seperti Rachel karena menganggapnya semakin merusak peradaban manusia. Namun, sampai lama waktu berlalu Niels tidak mengetahui dan mengingat pasti siapa sosok Rachel sebenarnya. Niels adalah seorang pengidap Alzheimer, Ia kesulitan mengenali teman dan keluarganya sendiri, dan momen-momen yang terjadi dalam hidupnya. Di sisi lain, Rachel juga menyembunyikan identitasnya dari Niels. Rachel tidak ingin Niels membencinya, karena jauh di dalam hatinya Rachel telah menaruh perasaan pada kesederhanaan pria itu. Niels jugalah yang telah menanamkan kembali nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang Rachel rasa telah hilang darinya sejak lama. Lalu akankah ambisi mengubah segalanya? Juga, mampukah Rachel sebagai seorang perempuan mewujudkan mimpi-mimpinya untuk menciptakan penemuan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia? ---------- Hello, welcome to the seventh novel by Aleyshia Wein! Novel kali ini mengangkat genre Sci-Fi (hard Sci-Fi, soft Sci-Fi, biopunk) dengan sedikit unsur-unsur crime di dalamnya. Novel ini tidak akan terlalu romantis, tapi mungkin manis. Novel ini akan menunjukkan sisi ambisius Rachel sebagai seorang CEO dan ilmuwan, sekaligus kelembutan dan perasaannya sebagai perempuan itu sendiri. Novel ini akan sangat kompleks membahas politik, bisnis, dan sains hingga terintegrasi ke dalam alur keseluruhan yang cukup melelahkan. Novel ini juga serius akan sangat filosofis menarik esensi terdalam kemanusiaan. Jika tertarik, boleh memberikan komentar, review, serta kritik dan saran yang membangun agar Author semakin meningkatkan kualitas penulisan kedepan. Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Sci-fi
Peringkat tidak cukup
24 Chs

Klarifikasi Lars-Philip

Laboratorium Karantina Primata

Cyclops Intelligence, Hatemoor

9 Februari 2157

07.30 NPM

Rachel mengembangkan senyumnya sedari tadi, semenjak ia masuk ke dalam ruangan besar berdinding kaca yang merupakan tempat tinggal sebelas ekor orang utan. Sudah lama Rachel ingin berinteraksi dengan hewan-hewan lucu berambut coklat itu, bahkan sejak kedatangan pertama mereka dari selatan. Selama tiga tahun terakhir, mereka telah tumbuh bersama Rachel, menjadi mitra bisnis Cyclops paling suportif sebagai hewan uji yang rela mati tanpa kompromi. Tanpa peran mereka, tentu saja penelitian gen dan microchip itu tidak akan mendulang kesuksesan, setidaknya sampai proses saat ini.

"Oh?" Lars yang melintas hendak menuju ruang bedah saraf tertarik berhenti, "Hey? Apa yang kau lakukan disana?" tanyanya.

"Aku? Merayakan delapan puluh persen keberhasilan bersama anak-anakku yang berharga," jawab Rachel, menunjukkan genggaman tangannya dengan orang utan paling besar dan paling tua dalam kawanan. Rachel bahkan memiliki nama untuknya: Lamika.

Lars tersenyum simpul, melipat kedua tangannya di depan dada, "Begini sajakah kau merayakan kesuksesan? Apa kau menginginkan sesuatu yang lain?" tanyanya.

"Kau ingin menyogokku? Jangan lupa jika aku masih marah padamu, Lars." Rachel si pendendam belum melupakan percakapan mereka tadi siang, sebelum Niels menghubunginya.

Lars mengangguk, "Ya, karenanya aku ingin meminta maaf dan berbicara. Haruskah kuambilkan sebotol wine dan sekotak keju favoritmua?"

"Kau lupa? Aku tidak boleh memakan apapun sampai besok, dan beberapa bulan kedepan jika eksperimen tahap akhir itu berhasil."

"Bagaimana jika itu tidak berhasil?"

Rachel mendelik tajam, beranjak berdiri dari sebelumnya berjongkok, menatap Lars datar dari balik dinding kaca, "Belakangan aku sering mendengar kau meragukan keberhasilan eksperimen yang kita lakukan. Apakah itu perintah Philip?"

Lars menaikkan sebelah alisnya dramatis, "Apakah Niels mengatakan hal-hal provokatif seperti itu padamu tadi siang?"

"Bukan urusanmu untuk mengetahui apa yang dibicarakannya padaku. Kenapa kau bertanya? Itu hanya semakin menandakan bahwa kau menyembunyikan banyak hal dariku, Lars. Aku kecewa padamu." Rachel berkata jujur pada intinya. Rasanya belum cukup ia mendiamkan Lars seharian ini, menghindari pria itu dengan gengsi.

Lars menurunkan tangannya, berpindah pada saku celananya, "Kau selalu mengatakan untuk tidak membuat asumsi, bukan? Lebih baik kau mendengar penjelasan dari sudut pandangku."

"Apa yang ingin kau jelaskan? Apakah Philip bahkan mengizinkanmu berbicara untuk semakin mengelabuiku?"

Lars menghela, tersenyum lelah namun tidak menyerah. Ia lantas mengampiri Rachel di pintu masuk ruang karantina primata, mengulurkan tangannya, "Ikut aku, kau perlu banyak beristirahat untuk besok, jangan banyak bermain," titahnya setengah memaksa.

Gengsi, was-was, dan jual mahal, namun akhirnya Rachel menyambut uluran tangan sahabatnya itu, turun dari batu pegunungan asli yang sedari tadi menjadi pijakannya selama mengintimidasi Lars. "Aku bosan, aku tidak mau beristirahat di ruang bedah."

"Lantas dimana? Sayangnya kau tidak bisa keluar dari laboratorium ini sampai dua minggu kedepan, Rachel."

"Di ruanganmu saja."

Lars mengerutkan dahinya, "Di ruanganku? Kenapa tidak di ruanganmu saja sekalian?"

"Bosan. Aku belum pernah juga memasuki kamar istirahatmu, kan?" Rachel akhirnya berjalan mendahului Lars, meninggalkan pria itu yang hanya bisa tersenyum simpul memperhatikan langkahnya yang tak mengenakan alas kaki. Pakaian rapinya tadi siang bahkan sudah kembali diganti dengan seragam tipis selurut hijau khas ruang bedah.

"Dia benar-benar polos seperti itu," gumamnya seraya berjalan menyusul. Semakin Lars tersenyum geli ketika turut melihat kepala plontos Rachel yang bergerak seiring hentakan kaki si empunya.

****

Ruang Pribadi Lars

Cyclops Intelligence, Hatemoor

9 Februari 2157

08.40 NPM

Satu jam waktu berlalu, dan beberapa hal yang dilakukan Rachel di kamar Lars hanyalah berbaring di atas kasur, menunggu sebotol kecil cairan infus berisi nutrisi dan obat penenang masuk seluruhnya ke dalam aliran darahnya, serta tak ketinggalan menyaksikan Niels menyantap makan malamnya dengan lahap di kursi santainya yang menghadap langit terbuka malam hari. Sebuah jaring halus penyaring udara automatis terpasang disana, mengalirkan hanya udara segar ke dalam ruangan. Itu permintaan Rachel yang kemudian dikabulkan Lars dengan banyak pertimbangan. Alasannya karena Rachel yang katanya sudah lama tidak menenangkan diri dengan menatap langit.

"Kurasa ini akan segera habis," ujar Rachel, menunjuk botol kecil terakhir berisi vitamin.

Lars menoleh seraya mengunyah daging burung panggangnya, "Ya. Selang dan jarum infus itu akan lepas dengan sendirinya ketika semua cairannya telah terserap di tubuhmu."

"Aku pernah menguji seberapa efektif makanan berbentuk cairan intravena seperti dalam memenuhi nutrisi, dan hasilnya tidak begitu memuaskan."

"Hm, mungkin karena konsentrasinya tidak terlalu sesuai. Nutrisi dan obat yang kuberikan padamu selalu dua puluh persen di atas dosis normal, dengan harapan kau akan merespon efeknya lebih cepat."

Rachel hanya menaikkan sebelah alisnya, memainkan kuku-kukunya yang sebenarnya sama sekali tidak menarik, "Atas dasar apa kau mempertimbangkannya? Apa karena perintah Philip?"

Lars terhenti, jengah sudah mendapati tuduhan bertubi-tubi dari Rachel hari ini. "Rachel, biar kukatakan padamu, jangan mempercayai seseorang berlebihan, termasuk Niels, pria yang kau sukai," ujarnya setengah kesal.

"Apa aku terlihat sangat mempercayainya? Saat ini justru kau yang merasa sangat tidak aman ketika aku terus menyinggung Philip," ujar Rachel, menatap Lars tajam. "Ini hanya permainan psikologis dariku, dan kau sudah terindikasi salah, Lars. Kenapa kau terus menghindari pertanyaan itu dengan menuduh Niels memprovokasiku?"

"Baik, kalau begitu biar kujawab pertanyaan itu sesuai ekspektasimu. Aku tidak berpihak pada Philip, dan alasanku banyak meragukan keberhasilan eksperimen ini adalah karena aku sangat khawatir padamu!"

Kini gantian Rachel yang terdiam.

"Kau tidak salah, aku memang menemui Philip hari itu. Tapi itu hanya sebagai dokternya, tidak yang lain. Benar juga jika Philip memintaku menggagalkan eksperimenmu ini, tapi apa kau tahu apa responku?"

"Apa?"

"Aku marah, Rachel."

Rachel kembali terdiam, sementara Lars susah payah meneguk salivanya sendiri, menahan amarah yang semakin lama semakin tersulut. "Aku tidak mengatakannya padamu karena tidak mau kau memikirkan banyak hal yang justru akan memperburuk kondisi kesehatan mental dan sarafmu. Bukankah itu masuk akal?"

"Justru Niels..."

Rachel mendelikkan matanya tajam, "Ada apa dengannya?"

Lars tersenyum misterius, "Saranku, berhati-hatilah dulu dengannya. Kritik yang disampaikannya padamu setelah kongres parlemen benar-benar kritik yang dituntutnya untuk terlaksana."

"Apa maksudnya? Jangan bertele-tele."

Lars menghela, "Dia tidak akan pernah mendukung eksperimen yang kau lakukan, Rachel. Seberhasil apapun..." ujarnya, menggelengkan kepala dramatis, "Sebaik apapun eksperimen ini sukses, dia tidak akan mendukung apalagi menyukainya."

"Apakah kau menangkap maksudku? Dia bisa saja menjadi lawanmu, entah dalam hal apa, dan entah kapan."