“Kamu tenanglah, jangan panik. Tenang. Jangan buat angin itu memperbesar api La.” teriak Mera panik.
“Pusaran angin itu tehubung padamu Ra, jadi kamu harus tenang.” ingat Paman John padaku.
Aku masih ketakutan, panik, tanganku masih bergetar. Aku takut kejadian waktu itu akan terulang kembali. Aku takut kekuatanku akan melukai orang lagi.
‘Deg’
Entah bagaimana caranya tapi pusaran angin itu kembali berputar terkendali. tanganku masih bergetar tapi kulihat tornado kecil itu menjadi semakin kecil, lalu menghilang. Tubuhku kaku, mataku terbelalak.
Agam memelukku. Entah apa yang ada di pikirannya, ia memelukku dari samping. Semua orang terdiam. Rasanya pipiku panas. Hingga aku tersadar dari keadaan terkejutku itu. Ia melepaskan pelukannya.
“Kamu baik-baik saja?”
Tanya Agam padaku yang menundukkan pandangan. Aku malu. Bagaimana jika orang berpikiran aneh tentangku. Tapi sedetik kemudian aku mengangguk. Menjawab pertanyaannya.
“APA YANG KAMU LAKUKAN TERHADAP SAHABATKU?!” tanya Mera pada Agam, lalu dia mendekatiku, bertanya apa aku baik-baik saja. Aku mengangguk walaupun rasanya tanganku masih bergetar.
“Aku minta maaf, El kalau aku lancang. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk membantumu tenang kembali, seperti yang dulu ibuku lakukan padaku saat aku panik.” ucapnya dengan nada yang rasanya tenang sekali. Aku hanya menangguk, masih menunduk menahan malu.
Anak lainnya sudah kembali mendekat, duduk di tempat mereka lagi.
“Tidak akan ada yang tahu itu Ra, kecuali kamu memberitahunya.” kata Paman John padaku dengan lembut. Entah hal apa yang ia bicarakan. Namun aku yakin dia membaca pikiranku tadi.
“Aku baik-baik saja, Mera.” kataku padanya sambil tersenyum. Ia mengangguk lalu memutuskan duduk disampingku.
“Wah tadi keren sekali Ra.” kata Rian padaku.
“Tidak cupu seperti punya Mera.” Rian kembali meledek. Mereka berdua kembali bertengkar. Aku tersenyum, membuat diriku melupakan kejadian memalukan tadi. Dengan paksa tentunya.
“Tinggal tersisa satu bukan. Masih mau dilanjutkan?” tanya Paman John pada kami.
“Lanjutkan saja Paman.” jawab Mera setelah melihatku. Dia mengerti aku tidak senang dikasihani. Ahh! Rasanya bangga sekali memiliki sahabat seperti dia.
“Okee, ayo Agam, perkenalkan dirimu.”
“Baiklah kalau tidak apa. Namaku Agam Aziel. Semua orang memanggilku Agam. 2 bulan lalu aku resmi 17 tahun. Aku juga memiliki alergi. Alergi susu. Makanan favoritku itu pangsit. Aku tinggal bersama dengan orangtua angkatku. Aku terlalu kecil untuk bisa mengingat bagaimana wajah ayah dan ibu dulu sebelum mereka meninggalkanku di depan pintu panti. Kata orang panti, dulu aku ditemukan di depan pintu, dengan keadaan badan basah kuyup seperti habis kehujanan padahal siang itu terasa panas sekali. Lalu saat umurku menginjak lima tahun, aku diadopsi oleh sepasang suami istri yang waktu itu sudah memiliki satu anak lelaki. Aku tidak tahu alasan mereka mengangkatku menjadi seorang anak. Mereka benar-benar orang yang baik.” jelas Agam panjang lebar. Dia tersenyum di akhir kalimatnya.
“Yaa, mereka benar-benar orang baik. Kalian tahu saat aku menginap di rumahnya aku disuguhi berbagai macam makanan.”
“Bukankah setiap bertamu kita pasti akan diperlakukan seperti itu? Kau bercerita seperti tidak pernah bertamu saja, Rian.”
Rian dan Mera kini bertengkar kembali. Mereka lama-lama seperti dua ikan cupang yang dipertemukan di satu wadah. Selalu bertengkar.
“Tidak, orangtua Agam berbeda. Bahkan aku diberi coklat yang mereka beli dari luar negri. Kamu seharusnya datang sendiri untuk melihatnya. Aku yakin bahkan saat melihatnya, kamu sudah bisa mengatakan mereka sangatlah baik hati.” Kata Rian seperti anak kecil yang terisak.
“Sudahlah, biarkan Agam melanjutkan ceritanya.” ucap Zeta menengahi pertengkaran mereka. Dia bahkan tersenyum pada Agam setelahnya, memintanya melanjutkan kembali carita yang belum selesai.
“Terimakasih. Akan kulanjutkan. Ini yang terakhir, aku memiliki kekuatan mengendalikan air.”
Rian dan Mera yang sedari tadi bertengkar kini terdiam. Bahkan kami semua yang sejak tadi diam kini mematung. Setelah Agam selesai berbicara, air dari dalam gelas di sekitar kami langsung terangkat. Agam hanya membalikkan tangannya dari yang awalnya menghadap tanah menjadi menghadap langit. Lalu ia menggerakan tangannya keatas. Tatapannya fokus pada telapak tangannya. Hingga saat gelembung air teh berada sejajar dengan kepala kami Agam membalikkan telapak tangannya lagi. Kembali menghadap tanah. Air yang tadi berterbangan kembali ke tempat semula. Yakni gelas air minum kami.
Kami terperanjat. Teknik yang dilakukannya seperti sudah ia kenal sejak lama. Ia tidak seperti seorang amatir.
“Keren sekali! Keren! Walaupun masih kalah dengan para pemilik kekuatan air lainnya, tapi itu sudah bagus. Kamu bisa mengendalikannya dengan baik!” puji Paman John pada Agam yang diikuti dengan tepuk tangannya.
Ia memuji Agam seperti meledekku. Seperti sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Itu kejam sekali.
“Aku tidak pernah mengejekmu, Ra.” kata Paman John padaku tiba-tiba.
Aku terkejut, lupa bahwa Paman John memiliki kekuatan itu. Membaca pikiran orang lain.
-*#*-
Setelah perkenalan itu kami membereskan barang, menaruhnya kembali ke tempat asalnya. Lalu beristirahat agar besok bisa kembali melakukan perjalanan menuju ke petualangan baru. Tapi entah kenapa mataku tidak bisa terpejam. Pikiranku masih melayang di udara. Mengingat hal yang baru saja terjadi dan teringat kejadian saat aku kecil. Aku masih melihat gugusan bintang di langit malam. Mendengar suara burung hantu dan kelelawar melakukan aktifitas mereka. Mendengar suara katak dan jangkrik yang ikut meramaikan malam. Api unggun masih menyala terang, dia akan padam ketika matahari terbit nanti. Sekarang pukul sebelas malam. Biasanya aku sudah terlelap dalam mimpi. Yang lainnya juga sudah tertidur lelap, bahkan si cerewet Mera. Tapi entah bagaimana kali ini suara-suara menenangkan itu tidak berpengaruh cepat padaku.
-*#*-
“Hai El!”
Sapa seorang gadis kecil riang saat memasuki sebuah ruangan. Diikuti ibunya di belakang.
“Haii Araa!” balas bocah kecil diatas ranjang dengan riang.
Bocah itu dipasangi sebuah alat yang membantunya bernapas. Wajahnya terlihat cerah, ia tidak terlihat seperti sedang sakit. Ibu dan tante bocah itu sedang duduk di sofa, samping ranjang putih, saat seorang ibu dari gadis kecil itu datang. Mereka kemudian berbincang, membiarkan gadis kecil itu menghampiri bocah yang terduduk tenang diatas ranjang. Ruangan 5 x 5 meter itu terasa hangat. Sinar matahari pagi membasuh lantai ruangan itu. Membuatnya tidak lagi terasa suram.
“Kamu kenapa bisa ada disini, El?” tanya gadis kecil itu.
“Ceritanya panjang sekali, kamu mau mendengarnya?” jawab bocah itu sambil tersenyum.
Gadis itu hanya mengangguk. Ia kemudian ingin menaiki ranjang itu, agar bisa duduk berhadapan dengan sahabatnya. Tapi badannya yang masih kecil tidak mendukungnya untuk naik dengan mudah alhasil membuat dirinya hanya bisa melompat-lompat. Ibu gadis kecil yang melihatnya pun hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah anaknya yang menggemaskan ini. Kesusahan pun dia tidak ingin minta tolong. Akhirnya ia dibantu untuk naik oleh ibunya tanpa permintaan yang diajukannya lebih dulu.
“Terimakasih ibu.” katanya manis.
“Ayo, ceritakan. Aku mau mendengarnya.” ucapnya pada bocah itu.
“Jadi tadi malam saat makan malam dengan ibu dan tanteku, aku tiba-tiba merasa sakiit sekali. Kamu tahu dadaku terasa sesak. Seperti tercekik monster kejam yang kuperlihatkan padamu saat itu, Ra! Kamu ingatkan?” jelas bocah itu penuh ekspresi.
Sahabatnya pun mengangguk setelah ingat tentang gambar yang ada di buku cerita yang pernah mereka baca.
“Nah iya seperti itu! Lalu aku dibawa sama ibu dan tante kemari. Sebelumnya mereka sangat panik.”
“Lalu apa kamu menangis saat itu?”
“Tidak, aku kan superhero. Jadi aku tidak menangis. Aku itu kuat sekali kamu tahu!” katanya sambil mengangkat tangannya bak memamerkan otot di lengannya.
Gadis kecil itu hanya tertawa melihat sahabatnya yang diikuti tawa bocah itu.
“Ara, aku mau tanya boleh?”
Tanya bocah itu dengan muka memohon. Gadis itu hanya mengangguk tersenyum.
“Kamu mau tetap jadi sahabatku kan? Sampai kapanpun jadi sahabatku yaa. Plisss.” katanya memohon dengan tangan ditangkupkan didepaan dada.
“Aku tidak mau!” jawab gadis itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“Kenapa?”
“Aku tidak mau jadi sahabat. Aku mau jadi seorang princess. Dia cantik, baik, dia juga selalu memakai gaun indah. Kalau aku jadi sahabatmu aku tidak jadi seorang princess. Aku tidak mau!” ucap gadis kecil itu menggelengkan kepalanya sekali lagi.
“Yaah. Berarti aku sendirian dong. Tidak punya sahabat.” kata bocah itu muram.
“Tidak. Kamu tidak sendirian. Kan ada aku. Mmm..bagaimana kalau kamu jadi pangeran saja. Jadi nanti kita akan terus bersama selamanya!”
Kata gadis kecil itu sambil menggerakkan tangannya memutar.
“Bolehkah? Kalau begitu suatu hari nanti kita akan menunggangi kuda bersama mengalahkan monster jahat yang ada di buku yaa!” ucap bocah itu senang.
“Ya lalu kita akan pergi mencari unicorn, juga peri kecil yang lucu.”
“Iyaa, kamu benar. Lalu kita juga akan mencari naga lalu terbang di langit!”
“Ahh, juga membakar marshmallow dari api yang keluar dari mulut naganya!”
Mereka berdua terus bercerita sambil sesekali tertawa. Hingga saat bocah itu merasa kehausan mereka baru berhenti bercerita.
“Ibuu, aku haus, minta tolong ambilkan minum boleh bu?” tanya bocah itu manis pada ibunya.
“Boleh, tunggu sebentar yaa.”
Lalu ibunya dengan telaten membantunya minum air dari gelas kaca.
“Bu, apakah aku boleh keluar. Aku ingin bermain di luar bu, bersama Ara. Boleh yaa.” pinta bocah itu pada ibunya selepas minum.
“Tidak bisa, kamu masih harus istirahat kan.” kata ibunya mengingatkan.
“Sebentar saja bu, kata dokter juga boleh kan. Ayolah ibu.” rengeknya.
“Jangan El, tunggu kamu sembuh saja. Aku temenin kamu disini.” kata gadis kecil itu yang juga menolak diajak bermain diluar.
Bocah itu lalu menundukkan kepalanya kecewa. Ia tidak bisa bermain diluar seperti biasanya.
“Baiklah.” bisiknya sedih.
Beberapa jam berlalu hingga saat siang hari tiba orangtua mereka berdua pergi membeli makan siang. Sementara dua sahabat kecil itu masih bermain bersama. Kini mereka bermain mobil dan pesawat mainan. Bocah itu tetap duduk diatas ranjangnya, sementara gadis kecil itu sesekali berlari memutari ranjang. Mereka tidak hanya berdua. Ada tante dari bocah itu yang menunggu mereka. Dia sedang asik bermain dengan gadgetnya.
Lalu saat tante bocah itu beranjak berdiri untuk ke kamar mandi mereka berbisik pelan.
“El, aku punya satu rahasia. Kamu mau tau tidak?” ucap gadis itu berbisik di telinga bocah kecil seperti takut jika saja ada yang mendengar pembicaraan mereka.
Ia mengangguk cepat. Ingin segera tahu rahasia itu.
“Aku punya kekuatan, kamu percaya?”
“Kekuatan? Kekuatan apa?” tanyanya penasaran.
“Aku tunjukkan ya.” katanya senang.
“Yaa.”
Lalu gadis kecil itu menutup matanya. Ia seperti berkonsentrasi. Tangannya ia julurkan kedepan, seperti memegang bola transparan. Lalu beberapa saat kemudian pusaran angin kecil terbentuk. Lalu membesar seukuran tangannya. Gadis kecil itu membuka matanya lalu dia mulai memutari pusaran angin itu memutari ranjang rumah sakit. Bocah itu terpukau, tapi ia tidak bertepuk tangan. Takut kalau saja tantenya nanti akan mendengarnya dan memarahinya.
Tapi tiba-tiba saja pusaran angin itu menjadi tidak terkendali. Angin itu berputar sangat kencang.
“Raa, kamu apakan angin itu?” tanya bocah itu panik.
“Aku tidak tahu. Bagaimana ini!” kata gadis kecil itu ikut panik.
Satu dua barang yang ada di ruangan itu berterbangan. Lalu entah kenapa bocah itu seperti kesulitan bernapas, padahal alat bantu napas masih terpasang.
“El, kamu tidak apa? Ell?” Kata gadis kecil itu semakin panik. Ia lalu berlari mendekati ranjang rumah sakit itu, menuju bocah yang terduduk diatasnya. Saat ia berlari tanpa sengaja ia menabrak pusaran angin itu, lalu entah bagaimana pusaran angin itu pecah. Terbelah lalu hilang. Gadis kecil itu terdiam sebentar lalu kembali berlari mengetahui napas sahabatnya belum kembali normal. Lalu tante dari bocah itu keluar dari kamar mandi. Saat melihat ruangan kamar rumah sakit yang berantakan itu ia langsung panik. Ditambah dengan keadaan keponakannya yang terlihat sesak napas.
“ELL! APA YANG TERJADI? ASTAGAAA!” katanya panik. Sedangkan gadis kecil itu sudah menangis ketakutan. Ia takut karenanya sahabatnya menjadi sakit.
“Ara, panggilkan ibunya El dan ibumu ya. Cepat. Larilah!” perintahnya.
Tante bocah itu langsung saja menekan tombol disamping ranjang untuk memanggil perawat. Gadis kecil itu mengangguk langsung lari. Ia terus menangis. Saat ia keluar ruangan seorang perawat datang, ia langsung berlari masuk kedalam ruangan saat melihat seorang gadis kecil keluar ruangan dengan menangis.
Gadis kecil terus berlari hingga itu menemukan ibu mereka di depan pintu rumah sakit, mereka sedang berbincang saat gadis kecil itu datang berlari sambil menangis.
“Araa, ada apa nak. Kenapa menangis?” tanya ibu gadis kecil itu lembut.
“Ell ibu.”
Dua kata itu langsung membuat ibu El berlari menuju ruangan dimana anaknya berada. Diikuti dengan ibu gadis kecil itu yang akhirnya menggendong anaknya dan ikut berlari.
Saat sampai di ruangan, El dan tantenya tidak ada. Salah seorang dokter yang merawat El berlari di koridor.
“Dokter, dimana anakku El?” tanya ibu El panik. Ia masih terus menahan air matanya keluar.
“Ruang operasi.” ucapnya singkat kemudian kembali berlari.
Gadis kecil itu masih terus menangis terisak, dia juga terus ditenangkan oleh ibunya. Lalu mereka bertiga kembali berlari ke arah ruangan operasi.
“Dek, gimana El? Dia didalam?” tanya ibu El kepada adiknya.
“Mbak tenang dulu, dokter dan perawat sedang mengusahakan yang terbaik untuk El.” kata tante El menenangkan.
Gadis kecil itu diturunkan dari gendongan ibunya. Ia lalu berlari ke arah ibu El dan meminta maaf sambil terus menangis.
“Tidak apa Ra, itu bukan salah siapapun. Kamu tenang yaa, jangan menangis.” kata ibu El tersenyum pada gadis kecil itu. Tapi ia tidak bisa berbohong, ia juga tidak tenang. Air matanya sudah mengalir saat sampai di depan ruang operasi.
Dua jam mereka menunggu operasi seorang bocah kecil yang tampan. Yang selalu bersikap baik dan manis. Yang tidak pernah membantah ibunya bahkan membantu sahabatnya dari perundungan anak lain. Dua jam mereka menunggu dengan khawatir. Sesekali terisak menangis kembali. Mereka terus mengucap doa untuk El, bocah kecil malang itu.
Sejak satu jam yang lalu ayah dan kakak gadis kecil itu datang, ikut menemani.
Pintu terbuka. Dua orang dokter dan beberapa perawat keluar ruang operasi. Para perawat keluar dengan muka datar, mereka bahkan tidak melihat keluarga bocah tampan itu.
Salah seorang dokter menghela napas.
“Disini siapa keluarga pasien?” tanya seorang dokter kepada mereka.
“Saya ibunya dok.” kata Ibu itu cemas.
“Bagaimana operasinya dok? Apa anakku baik-baik saja?” lanjutnya. Ia kembali meneteskan air mata, berusaha kuat mendengar apapun jawaban dokter.
“Kami sungguh minta maaf bu, sungguh minta maaf.”
Kata seorang dokter lainnya yang diikuti isak tangis. Ibu El langsung jatuh terduduk tidak kuat menahan badannya untuk tetap berdiri. Adik ibu itu membantunya untuk terus berdiri.
“Apa maksud dokter?” kata tante El, adik ibu itu.
“Kami sungguh minta maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Ia meninggal diwaktu terakhir kami menyelesaikan operasi. Kami sungguh sudah berusaha mempertahankan nyawanya. Sungguh kami minta maaf.” dokter lainnya melanjutkan ucapan dokter sebelumnya.
“Dia sungguh anak yang baik, anak yang manis. Kami sungguh minta maaf.”
Bahkan dua orang dokter lelaki yang membantu pengobatan bocah tampan itu menangis meminta maaf.
Gadis kecil sahabat El tentu saja sudah menangis sejak tadi. Ia bahkan berteriak dan berusaha lepas dari pelukan ayahnya yang sejak tadi menenangkan dirinya.
“Aku ingin lihat El bu, aku ingin lihat!” teriaknya sambil terus menangis.
“Tenang Ra tenang.” ucap ibu itu menenangkan. Gadis kecilnya itu tetap saja ingin berusaha lepas dari pelukan ayahnya. Emosinya membuat kekuatannya bertambah berkali lipat.
"Ell hanya tidur kan buu, El tidak pergi. El sudah janji padaku tadi. Dia sudah berjanji. Ara harus bangunkan El ibuu. Dia harus temani Ara sampai besok."
"Araa, sudah tenang ya nak."
“EELL, MAAFKAN ARA ELL, SUNGGUH MAAFKAN ARAA!!”