Perputaran waktu mengabur bagi Sarvati yang mengejar Vayyu tanpa berhenti sedikitpun. Dia tidak peduli lagi ke arah mana Vayyu terus bergerak. Mungkin ke timur dan itu artinya Sarvati makin jauh dari tujuan mereka. Namun biarlah, dia bisa kembali bergerak ke barat setelah berhasil menaklukkan Vayyu.
Tanah kering, lembah, dan bukit telah mereka lalui. Vayyu tetap berlari begitu kencang walau mentari telah digantikan rembulan. Entah dari mana tenaganya datang. Untungnya bermandikan sinar mentari sepanjang siang mampu memberikan Sarvati cukup tenaga, bahkan lebih, untuk bisa terus mengejar Vayyu walau malam kembali tiba.
"Berhenti!!!"
Sarvati meraung. Api membara dari mulutnya yang membuka lalu meluncur ke arah Vayyu. Akan tetapi, bedebah biru itu berhasil menghindar sambil terus berlari kencang dengan kedua kaki dan tangan.
Vayyu sesekali berbelok untuk menghindari tebing. Sarvati memanfaatkan kesempatan itu untuk terbang di atas tebing demi menutup jarak. Walau sepertinya jarak antara mereka tidak berkurang karena itu.
Kadal kriminal itu pasti menggunakan salah satu sihir terkutuknya untuk mengelabui jarak di antara mereka. Ini semua ilusi, pasti ilusi. Sarvati pernah mendengar bahwa ada sihir yang bisa mengelabui lawan. Kalau tidak salah, Sarvati juga pernah melihat Rahnuc melakukan hal serupa.
Apa mungkin ini rencana sebenarnya Kaisar Drakko dan Jendral Kaisser? Mereka mau menjinakkan sisa-sisa kekuatan Rahnuc dengan kekuatan serupa?
Masalahnya kalau benar ini semua hanya ilusi, berarti di mana Vayyu yang sebenarnya berada? Masih di tempat tadi atau….
Vayyu mendadak berlari lebih cepat.
Persetan dengan semua pemikiran ini. Sarvati meraung melingkupi tubuhnya dengan api demi menambah kecepatan. Hal yang dia tahu hanyalah di depan mata ada target yang harus dia kerangkeng lagi.
Memang, Sarvati bisa saja tidak mengacuhkan Vayyu dan berpusat pada tujuannya untuk menetralisir sisa-sisa kekuatan Rahnuc. Lagipula dia sudah tahu bahwa dia hanya perlu pergi ke barat mencari sumber semua keanehan ini.
Namun, Sarvati teringat akan tugas yang diberikan kepadanya. Tidak mungkin dia bisa mengkhianati kepercayaan yang diberikan kedua nagga yang telah mau menerima dia yang tidak memiliki tempat lain untuk pergi.
"Berhenti kataku!"
Tepat ketika mereka berdua nyaris bertabrakan, Vayyu berkelit ke sebelah kiri. Sarvati berputar menebas sembari menghindari tabrakan dengan tanah. Vayyu malah berhasil mendarat lalu memukulkan tangannya ke tanah, menghasilkan angin kuat yang mementalkan Sarvati.
"Hebat, hebat, tenagamu masih banyak sekali," Vayyu bertepuk tangan. Mulutnya membuka lebar bersama dengan lidah bercabangnya yang melambai-lambai mengejek.
"Jangan berusaha kabur lagi, kriminal!" Sarvati menebaskan kedua pedangnya, menghasilkan gelombang api biru dan putih yang meluncur menyusur tanah ke arah Vayyu.
"Memangnya kenapa kalau aku mau kabur? Bukannya kau yang bilang aku kriminal? Itu hal wajar bukan?" Vayyu berseru. Dia melancarkan beberapa tinju cepat ke udara kosong, menghasilkan gelombang angin yang menghempaskan serangan api dan Sarvati.
Bertumpu pada pedangnya, Sarvati berusaha bangkit. Dia tidak menyadari bahwa tenaganya telah habis dipakai untuk seharian penuh mengejar Vayyu.
"Beraninya kau…."
"Aku memang berani, kau tidak perlu mengatakan hal itu lagi," balas Vayyu acuh tak acuh.
"Aku mungkin tidak memercayaimu," Sarvati mendengus. "Tapi mereka berdua… aku bisa melihat di mata mereka bagaimana mereka meletakkan harapan padamu. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antar kalian. Tapi melihatmu menginjak-injak kepercayaan itu begitu saja. Aku tidak heran bedebah macam kau sampai dipenjara. Apa kau tidak belajar apa-apa selama disegel?"
"Heh," Vayyu menggeleng. "Aku saja tidak tahu berapa lama aku tersegel. Lagipula, mana ada yang bisa belajar banyak kalau disegel seperti itu?"
Dia menegakkan tubuh dan memandang ke langit, "Soal kepercayaan mereka…." Vayyu terkekeh kecil sembari melanjutkan, "Kau yakin itu bukan rasa bersalah?"
Sarvati mengernyit. Cara bicara Vayyu terdengar aneh. "Buat apa mereka merasa bersalah karena memenjara kriminal macam kau?" tanyanya.
"Walau Vaardict mungkin bisa membunuhku, tapi bukan mereka yang menyegelku."
Aneh. Kalau rumor tentang Vayyu memang benar, seharusnya naga itu begitu kuat. Kalau bukan Kaisar Drakko mauoun Jendral Kaisser, Sarvati tidak bisa memikirkan makhluk lain yang punya kekuatan untuk menyegel Vayyu. "Lalu siapa? Nagga bernama Shivvar yang kau sebut2 itu?"
"Si bodoh itu tidak munkgin bisa."
"Lalu siapa, Rahnuc?"
Vayyu menghujamkan telapak tangannya ke wajah. "Dan kukira Shivvar adalah makhluk paling bodoh yang pernah kutemui."
Sarvati mendengus, "Jawab aku, kriminal."
"Tentu saja aku yang menyegel diriku sendiri. Kau pikir ilmu segel itu siapa yang punya, hah?" Vayyu mulai mengoceh. "Astaga, kau ini benar-benar bodoh. Si bedebah Vaardict itu tidak pernah mengajarimu apa-apa ya?"
"Lalu apa hubungannya dengan mereka merasa bersalah?"
"Mereka merasa bersalah karena membiarkanku menyegel diriku. Kau paham tidak?"
"Mana mungkin aku paham dengan alasanmu yang tidak masuk akal itu? Bagaimana mungkin seorang Kaisar dan seorang Jendral merasa bersalah karena sudah membiarkan seorang kriminal mengurung dirinya sendiri?"
"Itu karena aku bukan kriminal!"
Sarvati tersentak.
Mustahil….
Vayyu pasti berbohong….
Si kadal biru kemudian melanjutkan ocehanya, "Kecuali kalau jaman Takksa, itu memang dia menganggap aku kriminal. Padahal dia sendiri berengsek."
"Kau berbohong," sela Sarvati. Zhurron mulai mengeluarkan percikan api lagi. "Kau pasti berusaha mengelabuiku lagi."
"Astaga," Vayyu menghela napas. "Kalau benar begitu, menurutmu bagaimana mungkin mereka begitu akrab denganku?"
"K-karena," Sarvati mulai kebingungan menyambungkan semua ini. "M-mungkin kau dulu teman mereka, lalu mengkhianati mereka. Lalu.. lalu mereka sudah memaafkanmu."
"Dasar bodoh, justru mereka yang selalu kesulitan memaafkan diri mereka sendiri."
"Kalau kau bukan kriminal, lalu kenapa kau menyegel dirimu sendiri?"
Kata-kata Sarvati entah mengapa sepertinya berhasil menyentak Vayyu. Nagga biru itu terdiam sejenak, matanya membuka agak lebar seolah teringat sesuatu.
Dengan lirih, Vayyu menjawab, "Karena aku tahu aku berbahaya. Satu-satunya cara adalah untukku belajar mengendalikan kekuatanku. Walau puluhan atau ratusan tahun berlalu, bukan masalah. Aku hanya ingin siap di saat dunia memerlukanku lagi."
Dia kemudian menghela napasnya, "Masalahnya kalian sudah membuat masalah sebelum aku siap. Payah, kalian semua. Ayo jalan"
Sarvati mengernyit, dia masih belum bisa sepenuhnya menerima bualan Vayyu. Walau begitu, sebagian dirinya merasa memang kata-kata itu seperti ada benarnya. Mungkin memang ada alasan tertentu kedua nagga yang Sarvati segani itu tampak begitu akrab dan menaruh harapan pada Vayyu.
"Sebelum itu," Sarvatin bertanya, "kalau kau belum siap, kenapa kau mau mengambil misi ini?"
"Untuk menebus dosa-dosaku, walau mungkin memang tidak bisa diampuni."
"Cih, kau terdengar macam kriminal, ceritamu itu omong kosong, kau tadi memang mau kabur bukan?"
Vayyu menyipitkan mata saat menatap Sarvati. Dia berkata sinis, "Panas badannmu bagaimana?"
"Eh?" Sarvati terkejut. Dia baru sadar bahwa tubuhnya yang kemarin sempat begitu memanas kini terasa lebih sejuk. Bahkan sebenarnya terasa agak lemas.
"Matahari sudah mau terbit, lebih baik kita cepat-cepat masuk hutan sebelum kau memanas lagi macam gunung api yang mau meletus."
Vayyu mengatakan itu sambil berjalan acuh tak acuh ke dalam hutan. Di saat itu Sarvati juga baru tersadar bahwa mereka sudah mencapai Hutan Talaari. Hutan dengan peponohan raksasa yang membatasi Kekaisaran Naga dengan Kerajaan Andralus.
Seberapa jauh mereka berdua kejar-kejaran?