webnovel

Vasavi Cross: Remnants

Empat tahun berlalu sejak Rignil Sang Pahlawan Terpilih menghilang setelah mengalahkan Rahnuc Sang Naga Raja Iblis. Namun, dunia belum sepenuhnya kembali damai. Keseimbangan yang tercapai telah hancur. Sisa-sisa kekuatan Rahnuc kembali membuat kekacauan. Sarvati, mantan rekan seperjuangan Rignil, terus berjuang untuk mengemban cita-cita Rignil yang menginginkan kedamaian dunia. Untuk membersihkan sisa-sisa kekuatan Rahnuc, Kekaisaran Naga terpaksa melepas kriminal paling berbahaya, Vayyu Wissn. Demi memenuhi janjinya pada Rignil, Sarvati mengemban tugas untuk menjadi pengawas dan pengawal Vayyu.

Mananko · Fantasi
Peringkat tidak cukup
17 Chs

Bab III - Vayyu

Mata Vayyu berkedip-kedip, memaksanya untuk memejamkan mata dan menggeleng beberapa kali. Dia masih perlu beberapa saat untuk membiasakan diri menggunakan organ yang sudah lama tidak dia pakai itu.

Soal jarang dipakai, seluruh tubuhnya juga terasa pegal.

Vayyu jatuh berlutut. Dia menggeliat-geliat, berusaha membuat otot-ototnya sedikit lebih lemas. Bunyi retakan jari dan sendinya menggema di dalam gua.

Benar juga, Vayyu dikurung di dalam sebuah gua. Kalau tidak salah tempat ini bernama penjara segel atau semacamnya. Walau selalu berusaha bermeditasi, ingatan Vayyu masih agak mengabur sama seperti kesadarannya atas perputaran kala. Sudah berapa lama dia tersegel seperti ini?

"Wissn…."

Vayyu mengenal suara yang datang dari arah depan itu. Suara yang dingin dan mendesis tajam seolah tidak memedulikan apapun. Suara Kaisser Brahmm Vaardict. Lagipula, tidak adanya pancaran energi sihir maupun tidak adanya bau khas dari arah suara itu semakin menjelaskan pemiliknya.

Akan tetapi, dia merasakan keberadaan makhluk lain di tempat ini. Selain bau nagga, bau makhluk itu seperti asap kayu ek yang dipakai memanggang daging. Tersirat juga bau macam bau manusia.

Selain itu memancar energi yang membara layaknya amarah gunung berapi. Panas, kuat, tetapi seperti dipendam. Bukan… bukan dipendam, tetapi bagai dimanipulasi untuk menutupi kenyataan. Anehnya, di saat bersamaan ada begitu banyak kebocoran energi pada dirinya, menyebabkan para segel sihir menyedot kekuatannya begitu cepat.

Vayyu menunjuk ke arah makhluk itu, "Siapa itu, Vaardict? Rekan bertelurmu? Apa dia anak harammu dengan manusia?"

Pancaran tenaga langsung melonjak dari makhluk yang dimaksud Vayyu, terasa bagai amarah. Bagus, sebuah reaksi yang diharapkan.

"Bukan. Dia Sarvati Vermillion, wakilku di Meteor Merah," jawab Kaisser.

"Meteor merah? Apa pula itu?"

Kaisser terdengar menghela napas, "Aku sudah menjadi Jendral di Kekaisaran Naga."

"Kau? Jendral?" Vayyu tergelak. "Hebat juga 'nagga biasa' macam kau bisa jadi jendral."

Mata Vayyu mulai berair dan dia terpaksa menutup matanya lagi.

"Kenapa dengan matamu?" tanya Kaisser. "Kalau kau takut silau, ini masih malam hari. Kau tidak perlu takut matamu mendadak buta."

"Bukan itu. Hanya terlalu lama tidak dipakai," keluh Vayyu. Dia menelungkupkan telapak tangan ke matanya, mengatur napas sejenak, memusatkan pikiran, lalu meletakkan dua segel ke matanya. "Nanti juga baikan lagi."

Vayyu menarik kasar keempat rantai yang membelenggunya. Dia memutar pergelangannya, membuat rantai dan borgolnya kini berfungsi menjadi pelindung lengan dan kakinya. Dia kemudian duduk bersila dan bertanya, "Jadi, ada apa kau mendadak melepaskanku? Apa Drakko akhirnya sudah membulatkan tekad untuk memancung…."

Kaisser menyela, "Kau tahu aku adalah nagga pertama yang akan memprotes hal itu, Wissn. Kau juga tahu Drakko tidak akan melakukan hal itu betapapun banyak tekanan yang dia terima dari para pendukung penguasa terdahulu."

"Cih," Vayyu mendesis. "Lalu bagaimana dengan Shivvar? Si dungu tidak ada bersamamu?"

Nada suara Kaisser berubah sendu, "Dia tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri karena merasa tidak cukup kuat. Karena itu dia pergi jauh ke selatan. Katanya untuk berlatih supaya kuat. Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi."

"Kalian berdua sama saja. Untuk apa kalian berusaha sekuat itu? Hidup dengan tenang sana, cari rekan bertelur dan beranak saja. Tidak ada satupun dari kalian yang seharusnya menanggung beban kejadian silam. Kau pikir aku tidak dengar cerita-ceritamu kalau kau ke sini?"

"Heh, dan kukira selama ini kau tertidur di dalam segel kristal itu."

"Lebih tepatnya bersemedi, tapi aku tidak dengar jelas, hanya semacam rangkuman saja. Mungkin Varana Mokhsa yang sebenarnya mendengarmu dan menyampaikannya ke pikiranku."

"Kalau begitu, kurasa kau mengerti kalau aku menganggap kita yang mewarisi dunia ini punya tugas untuk bisa menjaganya dan memberikannya pada generasi penerus dalam kondisi terbaik yang kita bisa."

Vayyu menggeleng, "Walau begitu, ada baiknya kalian tidak berusaha menanggung beban dunia sendirian. Dan ingat untuk mengejarkan apa yang kalian benar-benar inginkan."

"Ini memang keinginan terdalam kami. Agar bisa menjaga dunia ini dan membuktikan bahwa kita adalah yang terkuat. Tanpa harus membebanimu."

"Kalau begitu untuk apa kau lepaskan aku?"

"Karena ada hal-hal yang di luar kendali atau nalarku."

Vayyu merinding. Hal yang tidak bisa ditangani Kaisser terdengar cukup berbahaya. Dia mencoba mengingat-ingat lagi jika Kaisser pernah menceritakan tentang itu saat dia tersegel.

"Rahnuc?" nama itu terucap begitu saja dari lidah bercabang Vayyu.

"Ternyata kau benar-benar mendengarku."

Vayyu menggaruk-garuk kepalanya, "Tidak tahu, nama itu terlintas begitu saja dalam pikiranku. Sepertinya kau pernah mengatakan nama itu. Siapa dia?"

"Aku tidak pernah menghadapinya langsung. Drakko melarangku pergi karena sudah ada kesatria pilihan para manusia yang ditugaskan untuk mengalahkan naga iblis itu. Tapi Sarvati bisa menjelaskannya padamu nanti selama perjalanan kalian. Dia dulu rekan Rignil, kesatria pilihan para manusia itu."

"Hah?" Vayyu tidak bisa menahan keheranannya lagi. "Kau menyuruh si kerdil itu untuk menemaniku melakukan apapun tugas yang kalian berikan? Kau bercanda? Kalau ada apa-apa, memangnya dia bisa menandingiku? Ini sama saja aku pergi tanpa pengawal. Panggil Shivvar, lebih baik dia saja yang menenamiku kalau kau tidak bisa. Atau suruh Drakko sekalian ikut."

Seketika itu, Vayyu merasakan energi Sarvati berkobar marah. Cukup untuk menutupi kebocoran yang dinikmati para huruf segel.

"Kau marah, kerdil? Masih perlu seribu tahun buatmu berlatih agar bisa menyaingi kami."

"Wissn, ada baiknya kau tutup mulutmu," Kaisser menghela napas. "Sarvati sudah berhadapan langsung dengan Rahnuc. Lagipula aku yang melatihnya langsung beberapa tahun belakangan ini."

Vayyu tergelak, "Tentu saja kau perlu melatihnya, Vaardict. Dia pasti gagal total dalam menghentikan Rahnuc itu makanya dia minta pertolonganmu. Tapi karena dia diamkan saja, iblis itu jadi makin kuat. Mau tidak mau kau sampai harus melepaskanku. Ini semua karena dia payah."

Energi dari Sarvati berkobar lebih kuat. Kali ini jauh melebihi kecepatan disedotnya tenaganya oleh segel sihir. Vayyu merasa itu cukup menarik.

"Kau bebas melakukan apa yang kau mau, Letnan," terdengar Kaisser menghela napas lagi sambil memberikan perintah pada bawahannya itu.

"Siap, Jendral."

Dua sumber energi keluar dari dalam Sarvati. Masing-masing berkobar hebat. Dari suara yang mereka keluarkan, sepertinya itu sepasang pedang. Akan tetapi, bagaimana caranya ada dua pedang dengan pancaran energi masing-masing keluar begitu saja dari tubuh si kerdil itu? Trik macam apa ini?

Biarlah, Vayyu mau tahu seberapa kuat didikan Kaisser itu. Karena itu, dia bertepuk tangan meledek, "Waah, siapa yang mengajarimu trik itu, kerdil? Pasti pacarmu si Rignil itu ya? Ngomong-ngomong, ke mana dia? Sudah mati? Atau kabur karena malu?"

"Tutup mulutmu, kriminal!"

Bersamaan dengan kekuatannya yang makin berkobar, Sarvati menerjang. Aura yang memancar darinya kini bukan seperti gunung berapi, melainkan bagai burung api dengan dua cakar berbentuk pedang.

Masih bersila, Vayyu menahan tebasan kedua pedang Sarvati dengan lilitan rantai pada lengan kanannya. "Dasar amatir," ejek Vayyu. "Kekuatan api itu bukan cuma soal amarah, tapi kontrol."

"Kubilang, tutup mulutmu!" Sarvati bergeser dan berusaha menebas sekali lagi. Namun, Vayyu juga berhasil menahannya.

Nagga mungil itu bergerak-gerak cepat di sekitar Vayyu, terus melancarkan tebasan demi tebasan. Vayyu masih terus berhasil menangkis semua serangan, tetapi kecepatan Sarvati yang terus bertambah akhirnya memaksanya untuk berdiri.

Vayyu mendengus, "Cih, kecepatanmu boleh juga, tapi kekuatanmu tidak ada arti."

Mendadak, Vayyu merasakan hawa panas datang dari depan. Dia menyilangkan tangannya menahan semburan api dari Sarvati. Bukan hanya panas yang dia rasakan, tetapi juga hempasan yang mendorongnya beberapa langkah ke belakang.

Vayyu mendengar nafas Sarvati terengah-engah setelah menyemburkan api walau kobaran energi dari nagga mungil itu masih membara. Hal itu membuat Vayyu merasa tergelitik. Efek para huruf segel di gua ini ternyata punya efek begitu besar karena banyaknya celah kebocoran energi dari Sarvati. Sampai kapan stamina si kerdil itu akan bertahan dalam kondisi ini?

"Kau barusan menyemburkan api dari mulutmu? Menjijikkan," gelak Vayyu.

Kali ini Sarvati tidak menjawab Vayyu, melainkan berbisik, "Kobarkan api sucimu, Aggni."

Tidak ada perubahan dari arah Sarvati. Akan tetapi, Vayyu merasakan sesuatu terbentuk di bawahnya. Hawa panas yang agak berbeda. Vayyu bisa saja menghindar, tapi itu tidak seru.

Sebuah pilar api langsung melahap tubuh Vayyu dari bawah. Serangan ini lebih panas dibandingkan semburan tadi. Lucunya, Vayyu malah merasa nyaman. Aliran energi dalam tubuhnya mendadak memberontak. Tato huruf segel pada bagian dadanya terbakar. Bukan untuk menyakiti, tetapi seperti dimurnikan. Hal yang sama terjadi pada segel yang baru Vayyu letakkan pada matanya.

Menarik. Sangat menarik.

"Api suci, ya?" kata Vayyu masih dalam nada mengejek. Tubuhnya terasa jauh lebih segar. Sisik birunya kini menutupi seluruh dadanya menggantikan para huruf segel. Segel pertama telah dibuka tanpa sengaja. Dia membuka matanya perlahan yang kini mulai bisa melihat jelas.

Di hadapannya, wajah manis Sarvati membelalak. Nagga dengan sisik jingga berkilau bagai perapian itu menatap tidak percaya pada Vayyu. Api berkobar dari kedua pedang Sarvati bersama sayapnya yang ikut membara. Dengan tubuh mungilnya dia tampak seperti peri api.

"Kenapa? Kau heran kenapa nagga terkutuk macamku malah tidak terpengaruh api sucimu?" Vayyu menyeringai, angin mulai berkumpul di tangannya. "Kau pikir, cuma kegelapan yang bisa memberikan kutukan, hah?!"

Hembusan angin yang begitu kuat langsung menerpa Sarvati ketika Vayyu mengayunkan tangan meninju udara kosong. Sarvati menyilangkan pedang berusaha menahan, tetapi dia tetap terpental jauh ke lorong gua yang menuju ke luar.

"Murid-mu menarik juga," Vayyu menyeringai pada Kaisser. "Kau yakin dia tidak akan mati kalau berhadapan denganku yang sudah kehilangan satu segel?"

Kaisser tersenyum, "Sudah kubilang, dia menghadapi Rahnuc langsung dan selamat. Mana mungkin aku mengambil murid sembarangan?"

"Cih, bicaramu seperti kakek-kakek saja Vaardict, padahal paling baru beberapa tahun berlalu sejak aku disegel."

"Wissn, soal itu…."

Vayyu tidak mengindahkan kata-kata Kaisser dan melesat menerjang ke dalam lorong. Dia terus melemparkan tinju-tinju udara pada Sarvati, memaksa si kerdil itu terlempar sampai ke luar gua. Tentunya sambil terus meledek, "Hahahaha! Segini saja kekuatanmu, Vermillion?"

Di ujung gua terlihat Sarvati jatuh berguling di tengah dasar lubang penjara segel. Cahaya rembulan jatuh menghiasi semua yang ada di daratan. Vayyu mempercepat langkahnya, matanya sedikit berair. Entah mengapa hatinya mendadak merasa haru.

Kebebasan. Lepas dari segala belenggu. Kerinduan akan dunia luar yang begitu lapang. Sebuah emosi yang sudah lama dia lupakan, yang mungkin tidak pernah dia sadari pernah miliki.

Namun, ketika dia sepenuhnya keluar dari gua, Vayyu tersentak. Aura mencekam memancar dari segala penjuru. Kebencian dan dendam tersirat dari balik semua itu.

Vayyu menoleh-noleh panik dalam kebingungan. Dia merasakannya, tidak ada satupun makhluk yang disegel di tempat ini ada yang lepas selain dia. Penyebabnya adalah makhluk lain di luar sana.

Dia memejamkan mata dan menggeleng sesaat sebelum memandang langit. Nagga biru itu terperanjat.

Langit sangat berbeda dengan yang dia ingat. Rembulan masih bersinar, tetapi sinarnya begitu temaram bagai diliputi tabir tipis. Begitu banyak garis-garis berwarna keunguan yang tipis bersilangan di atas langit. Beberapa begitu tebal dan membelah awan. Vayyu menyadari garis-garis lain juga terus terbentuk dan menjalin bagai ingin mengurung dunia ini.

Dari kecepatan garis-garis itu terjalin, mustahil kondisi terjadi dalam waktu cepat. Setidaknya perlu bertahun-tahun.

"Lawanmu di sini, bedebah!"

Sarvati meraung menebaskan pedanngya. Vayyu langsung menangkap golok yang dipakai menebaas. Dia memperkuat tangannya dengan segel untuk menahan kobaran abi biru yang berusaha melahap tangannya.

Vayyu menggeram pada Sarvati, "Apa yang sebenarnya terjadi? Berapa lama aku di dalam segel itu?"

"Tadi sudah mau kubilang," jawab Kaisser yang melangkah keluar dari gua tempat Vayyu disegel tadi. "Dua puluh tujuh tahun sudah berlalu, Wissn."