Seulas senyum kecil merekah di wajah Hesa. Lelaki setinggi 173 cm kini tengah berdiri di trotoar dekat dengan gazebo yang ia duduki dan sedang memandang punggung lelaki yang satu jam lebih menghabiskan waktu dengannya. Wajah Hesa bahagia. Terlihat jelas, meski malam menggantung atau penerangan yang ada remang-remang, tapi wajah Hesa tampak berseri-seri.
Dan itu karena … "fufu. Project gede. Uwang. Uwang. Uwaang~" gumamnya sambil menciumi kartu debit Wijaya.
Siapa yang nggak demen uang? Meski kata orang bijak uang bukan segalanya, tapi segalanya itu butuh uang. Dan yeah, Hesa sudah mengalami jatuh bangun berkali-kali sehingga berakhir dengan kesimpulan … uang segalanyaaaaa~ kalau ada uang manusia bisa bahagia.
Tertawa kecil, setelah mengambil ponsel dan mengabari ibu penjual kopi di kantin jika gelasnya ada di gazebo, Hesa membalikkan badan. Langkahnya begitu ringan, bak tanpa beban, ia kembali ke gedung laboratorium. Hesa memikirkan rentet kerjaan yang harus ia selesaikan sebelum menggarap project barunya dengan si Antaresa. Mungkin karena membayangkan tantangan project dan uang yang baru saja didapatkan, Hesa masih meletakkan kartu debit Wijaya di bibirnya, menciumi benda itu. Jujur dia senang. Dududu~
Hanya saja, Hesa terpaksa meredam kegembiraan di dada ketika langkahnya memasuki area lobby. Awalnya pemilik rambut hitam kebiruan itu biasa saja, tapi begitu ia merasakan seseorang mengamatinya tajam dan orang itu adalah Andre, Hesa langsung meningkatkan kewaspadaan.
Dia berani bersumpah teman masa kecilnya sedang marah. Pertanyaannya satu, kenapa?
Kerutan terbentuk di dahi pemuda kelahiran 26 Desember ini, tangannya entah bagaimana reflek memasukkan kartu debit Wijaya ke dalam kantong. Punggung ia tegakkan. Ekspresi suka cita sirna, otot mukanya mengeras dan wajahnya kembali datar.
"Nyapo koen nang kene (kenapa kamu di sini)?" tanyanya sambil menaikkan dua alis. Gerak gerik Hesa begitu santai seolah tak terjadi apapun. Namun di mata Andre, tentu tidak begitu. Lelaki lebih muda itu jelas-jelas menyadari perubahan Hesa yang begitu cepat. Dia juga mengamati Hesa dari tadi, kan? Tanpa harus bertanya, ia tahu Hesa tengah berbahagia dengan 'pekerjaan' barunya.
Menggertakkan gigi, napas Andre mulai tak teratur. Hati ini entah bagaimana begitu sakit membayangkan Hesa mengalungkan tangan ke Wijaya, membenamkan wajah di dada bidang sang Ketua EM dan membiarkan dirinya direngkuh pemuda lain. What the puck! Andre tak terima! Dia tak mau itu terjadi!
Karenanya, membayangkan Hesa menikmati itu semua, membuat emosinya mendidih. Tangannya terkepal kuat, dia marah. Marah sekali. Saking marahnya, matanya sampai melotot tak jelas dan urat menyembul hebat di pelipis.
Dalam diam, Hesa mengamati perubahan Andre, entah bagaimana ia bisa menduga jika Andre pasti melihatnya dengan Wijaya dan sedang berkutat dengan pikirannya sendiri yang pasti nggak jelas. Hesa menimbang sesuatu, 'perlukah dia menjelaskan semua yang terjadi?' tapi, nah. Hesa merasa Andre bukan siapa-siapanya yang perlu dikasih laporan apa yang terjadi di kehidupannya. Mereka punya kehidupan masing-masing. Dan menjelaskan itu ... merepotkan. Pemikiran ini akhirnya menuntun si pemilik rambut ikal untuk abaikan Andre.
"Yo wes nek ra gelem semaur (ya sudah kalau nggak mau menjawab)," Tanpa berbicara apapun, ia meninggalkan Andre, bergerak menuju lab.
Melihat hal ini, Andre membelalak. Seketika rasionya terputus dan kuat dia menggebrak meja.
"Lapo si Nd—kkkhh," Hesa terkejut bukan main atas kekasaran Andre. Sayang, bahkan sebelum dia bisa menceramahi Andre, lelaki itu mendorongnya keras ke papan pengumuman yang tertempel di dinding. Hesa berdesis merasakan benturan ini, bahu kanannya menumbuk pin kuat, lalu bersama dengan Andre, mereka terjengkang ke belakang bersamaan; papan ini tak mampu menahan bobot dua pemuda. Suara BRAAAK! menggaung dari lobby.
Tepat saat jatuh, menggunakan momen keduanya bertumpang tindih, Andre menarik baju Hesa dan cepat, bibir mereka bertumbuk.
Hesa menegang karena hal simpel ini. Matanya membelalak. Bahkan ketika Andre berusaha berdiri dari posisinya, Hesa masih terlentang di atas papan yang kertasnya telah kocar-kacir ke sana kemari dan membeku. Kelereng coklatnya lurus menatap langit-langit, tapi di saat bersamaan … menembus benda itu dan melalang buana entah kemana.
<<"AKU BUKAN AYAH MAKHLUK MENJIJIKKAN SEPERTIMU!">>
Hesa bergetar. Suara kencang itu seperti diteriakkan tepat di telinganya. Lalu di saat bersamaan, wajah Andre yang berdiri dan mengulurkan tangannya berdenyar; berubah menjadi muka seorang pria yang kokoh dan dipenuhi emosi.
<<"PERGI KAU! KAU BUKAN ANAKKU!">>
Napas Hesa memburu. Keringat mengalir di pelipis dan sekujur tubuh. Dingin, dia merasakan suhu udara di sekelilingnya terjun drastis. Dadanya nyeri sekali. Kalimat terakhir itu terngiang keras di gendanya. Lagi, lagi dan lagi. Hesa sampai meremas dada bagian depannya, berusaha menahan rasa yang mencekik.
Wajah orang itu tiba-tiba berdenyar. Dia melihat Andre kecil di depannya kini. Dia menangis tersedu sambil berusaha menutupi badannya yang telanjang. Bibirnya pucat dan lirih dia mengatakan, <<"Kakak yang melakukan ini padaku ...">>
Hesa menggeleng tak percaya, dia ingin membela diri, tapi tak kuasa. Entah bagaimana dia merasa sekelilingnya mendadak ramai. Banyak orang berdiri, wajah mereka kabur, mata mereka menusuknya.
Kasak-kusuk terdengar,
<<"Kasihan pak Doni ya … punya anak kelainan seperti itu.">>
<<"Pantas dia tak pernah di bawa ke acara sosial, memalukan.">>
<<"Kenapa ada makhluk seperti dia sih? Menurunkan moral bangsa saja.">>
TIDAK! TIDAK! TIDAAAAAAK BUKAN BEGITUUUU!
Detik berikutnya, semua itu mengepul menjadi asap dan Hesa berdiri dalam kehampaan.
Gelap. Semua hitam. Tak ada siapapun di sini, dia sendiri.
Tidak. Tidak. Hesa menggeleng kuat. DIA TAK MAU LAGI!
Tatapan Hesa berubah, manik itu memajam. Detik berikutnya dia bangkit, sendiri, tanpa menerima uluran tangan Andre. Alih-alih, lengannya bergerak; pukulan melayang.
Telak, Hesa menghantam pipi Andre, DUAAAK!, membuat lelaki lebih muda tapi lebih tinggi 3 cm darinya itu terhuyung ke belakang. Hesa cepat membawa dirinya menjauh. Jarinya yang bergetar mengepal kuat di samping kanan kiri tubuh. Ekspresi wajah yang biasanya kaku dan datar berubah. Kemelut emosi bermunculan di muka itu, tapi satu menonjol di sana: kecewa.
Desisan mengikuti apa yang Hesa lakukan, "gendeng ta koen (kamu gila)?" Matanya memicing. Dia mengusap bibirnya sambil lemparkan tanya rendah penuh ketidak percayaan, "Nggilani (menjijikkan)."
Andre merasakan hatinya mencelos mendengar komentar ini. Ia jelas sekali melihat bagaimana perubahan ekspresi Hesa dari awal hingga akhir. Menegakkan punggung dan mengusap darah yang merembes dari ujung bibir, Andre menatap tajam pemuda itu. Sebegitu menjijikannya kah dia samapai mendapat komentar begitu? Bukannya Hesa baru saja dibeli si Wijaya? Apa salahnya kalau Andre menciumnya? CUMA CIUM AJA LHO! Apa dia berkomentar begitu karena Andre tak memberinya uang?
Kalau uang …
Kalau memang uang yang Hesa inginkan agar dia bisa menyentuhnya …
Dia juga punya.
DIA JUGA PUNYA UANG, TAK HANYA WIJAYA!
Mengambil uang dari dalam dompetnya, ia melempar lembaran-lembaran merah itu ke arah Hesa. "Bayaran buat apa yang aku lakukan tadi," kata Andre sambil menyeringai puas.
Namun tak seperti dugaannya, bukannya senang atas apa yang Andre lakukan, tubuh Hesa mematung di tempat. Dia memandang Andre dengan tatapan tak percaya dengan bibir sedikit terbuka. Kilat di manik itu begitu tertegun, tak menyangka akan menyaksikan Andre merendahkannya.
Ekspresi itu membuat seluruh bulu roma Andre berdiri. Sadar apa yang baru dia lakukan, Andre menjulurkan tangan. "H-hes, maaf ak—" dia berusaha meminta maaf.
Sayang suaranya terbungkam.
"Ha," Hesa tertawa. "Ha ha ha," tawa hambar yang sarat akan ketidak percayaan. Namun menonjol pula dari ekspresi itu, rasa sakit hati.
Hesa tahu Andre mungkin salah paham dengan Wijaya. Tapi dia merasa harga dirinya diinjak-injak dengan saweran uang itu.
Sambil menyibakkan poni panjangnya ke belakang, Hesa membuang muka. Dia mantap berjalan ke arah tumpukan uang dan meraup sebagian. Lalu dia remas uang itu, ia bentuk bola. Berikutnya, kencang, dia lempar benda itu ke muka Andre. "Duit jek njaluk wong tua ae kemlinthi, gayane yak yak o (Uang masih minta orang tua aja banyak tingkah, gayamu sok yes)," nada tak bersahabat dilempar Hesa, mata itu berkilat dingin, lurus menusuk manik Andre.
Hesa memasukkan dua tangannya ke dalam kantong setelah mengatakan itu. Pelan dia mendekati Andre. Caranya berjalan tunjukkan aura dominan yang dia miliki, matanya berkilat merendahkan. Andre menegang. Dia merasakan tubuhnya menyusut begitu banyak dan bayangan lelaki ini membesar. Aura menekan Hesa membanjiri, menerjang jiwa kecilnya dan membuat nyalinya ciut.
Di depan Andre persis, Hesa berdiri. Dia mengamati Andre dari atas ke bawah, lalu tertawa sarkas. "Heh, gede endasmu saiki yo (Heh, kamu sekarang merasa tinggi ya?)" jeda terjadi, dengusan kasar dibuang Hesa. "Kementhus pisan. Nyaopo se koen iku? (Sok tahu pula. Kenapa sih kamu itu?)" lanjutnya dengan nada sedikit meninggi. "Wes ngerasa sugeh ta? Rasane wes iso nguasai ndoyo mbek duit e wong tuamu ta? (Udah merasa kaya ya? Rasanya sudah bisa menaklukan dunia dengan uang orang tuamu ya?)" Hesa sedikit tertawa. Namun dari caranya bicara, gaya ia tertawa, terdengar jelas cengkok sindiran.
Andre menahan napasnya. Tanpa terasa, dia yang tadi berani membalas tatapan Hesa, perlahan menundukkan pandang. Gugup, takut, resah membebat di dadanya. Sambil menggigit bibir, Andre berusaha untuk tetap tegar, mendengar apapun celaan yang terlontar.
Namun Hesa tak mencela. Ia masih tertawa sarkas sebelum tegas, menepuk bahu Andre. Gelak yang tadi ada hilang. Hesa mendekatkan kepalanya ke arah Andre dan berdendang sesuatu tepat di telinga pemuda setinggi 176 cm, "Gua ingin lihat selama apa lu ada di 'posisi' itu, Andre~ Bima~ Suhendra~"
Andre terdiam, udara seolah direnggut paksa dari paru-parunya mendengar kalimat Hesa. Sudah 5 tahun Andre tak mendengar bibir itu menggunakan 'lu-gua'. Namun indikasi dari kalimat itu … 'Posisi' yang dimaksud Hesa itu …
"B-bang, gua …," Andre meraih lengan Hesa, tapi cepat Hesa menepis. Senyum kecil merekah di bibir Hesa. Pelan dan penuh penekanan, si bikal kembali berkata, "kita cuma teman, Ndre. Nggak lebih dan tak akan pernah lebih." Hesa melenggang, melewati Andre.
"B-bang … Mas!" Andre berusaha memanggil lagi. Sayang, Hesa sudah tutup telinga. Sengaja, dia tak acuhkan pemuda berambut cepak itu. Dia justru menepukkan tangannya dan berseru, "bubar rek, bubar. Jok kepo ae, wes mari iki (bubar guys. Jangan kepo aja, udah selesai ini lho)."
Di sini Andre menolehkan kepalanya ke berbagai sisi. Dia bisa melihat kekacauan yang terjadi atas apa yang ia lakukan. Papan roboh, kertas berhamburan dan juga … massa yang berkerumun di sana, melihat mereka. Andre menegang, merutuki kegilaan apa yang baru dia lakukan.
"Ndre. Koen sing nggawe perkoro, koen sing beresno lho yo (Kamu yang buat masalah, kamu yang merapikan kembali lho ya). Oke?" Di ambang pintu lab, di depan rekan-rekan yang kepo, Hesa keluarkan perintah. Nadanya santai seperti baru saja tak ada perkelahian di antara mereka. Namun Andre bisa melihat, Hesa tak mau melihatnya.
Kendati sakit, Andre mengulas senyum. "Oyi sam (oke mas)," sebelum balik badan dan mulai membungkuk merapikan kekacauan.
Di saat inilah dia baru sadar bahwasanya para penonton masih berkerumun. Andre menghela napas sebelum berseru, "Bubar rek, bubar. Wes mariiiii (udah selesaaaiiii). Syuh … syuh ..." mengusir pemerihati yang lagi mengabadikan mereka.
Dalam posisinya, Andre melihat ke tempat Hesa tadi berada. Hatinya menganga. Suara Hesa terngiang lagi 'Duit jek njaluk wong tua ae kemlinthi, gayane yak yak o (Uang masih minta orang tua aja banyak tingkah, gayamu sok yes)'.
Terus kalimat itu memantul di benaknya.
Pun bagaimana cara Hesa memandangnya.
Karena di sana, Andre bisa melihat … kilat kebencian dari seorang <<Desta>>.
[]