webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Lainnya
Peringkat tidak cukup
63 Chs

UF2568KM || 36

Haris tersenyum saat ia melihat Rein masih tertidur pulas di kamarnya. Ia meletakkan segelas susu di atas nakas lalu membukakan tirai jendela kamar Rein.

Perlahan ia kembali melangkahkan kakinya untuk mendekati gadis itu. Sebuah tangan terulur untuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajah cantiknya itu.

'Sret'

Haris sedikit terkejut saat tiba-tiba saja Rein menangkap tangannya. Gadis itu perlahan membuka matanya dan menatap orang yang kini berada di depan matanya. Mereka saling melemparkan senyum mereka di pagi ini, seketika hati mereka terasa berdebar-debar saat melihat senyuman itu.

Rein menarik tangan Haris ke arah wajahnya lalu ia menempatkan tangan itu di pipi sebelah kanannya. Haris menggerakkan jempolnya di sana secara halus tapi tiba-tiba saja usapan itu berubah menjadi cubitan terhadap pipi gembilnya.

"Aww!"

"Hahaha sakit, ya? Ayo bangun! Katanya ada kelas pagi." Haris membantu Rein untuk bangun. Setelah Rein merubah posisinya menjadi duduk, Haris memberikan satu gelas susu hangat yang ia bawa itu.

"Kak Rendi udah berangkat kerja, gue yang anterin lo ya. Gue udah bilang dan dia ngasih kunci motornya." Rein terdiam. Sepertinya Haris mengira jika ia selalu diantarkan oleh Rendi setiap harinya.

"I-iya. Gue mandi dulu." Rein beranjak dari tempat tidurnya dan ia membawa langkahnya menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Setelah siap segalanya, gadis itupun turun ke bawah dan ia bertemu dengan ibunya dan juga Haris yang sedang duduk di ruang tamu.

"Udah beres? Sarapan dulu sana!" Perintah Nayra terhadap putrinya tersebut.

"Lagi males sarapan sebenernya," ucap Rein memelas. "Eh? Sarapan dulu, dong."

"Kalian udah sarapan emangnya?" Tanya Rein pada mereka yang direspon dengan anggukan dari keduanya.

"Ih gak asik!"

"Ditemenin deh ayo!" Haris berdiri lalu ia menemani Rein untuk sarapan pagi ini. Saat Haris meletakan piring yang berisi nasi goreng di depan Rein, tiba-tiba tangannya digenggam begitu saja oleh gadis itu.

"Ris, maafin gue, ya," ucap Rein tiba-tiba.

Haris yang tidak mengerti maksudnya apa, ia pun menatap gadis itu heran. "Maaf? Maaf buat apa?"

"Bu-buat, buat, ah pokoknya maaf deh."

"Aneh banget. Emang lo bikin kesalahan apa sama gue, hm?" Rein hanya terpikirkan akan kedekatan dia dengan Barra dan juga ia yang selalu merespon Sakti tanpa sepengetahuan Haris. Walau tidak ada hubungan yang lebih, entah kenapa Rein merasa bersalah. Ia pikir jika Haris mengetahuinya, ia pasti tidak akan mudah untuk menerima walau Rein menyebutkan jika tidak ada apa-apa di antara mereka.

"Cantik, kok diem?" Seketika Rein tersadar dari lamunannya setelah Haris kembali berbicara padanya seraya menyentuh puncak kepalanya.

"Gak papa, lupain aja."

"Ya udah, makan dulu nasi gorengnya." Gadis itu menganggukkan kepalanya dan ia pun mulai menikmati sarapan paginya.

Saat Rein telah tiba di kampus, ia melihat Barra tapi pria itu terlihat tidak seperti biasanya. Walau mereka sempat bertatapan pun pria itu tidak sama sekali menyapanya seperti biasa. Ia malah berjalan lebih dulu darinya.

"Barra." Rein menyusulnya dan berusaha menyamakan langkah mereka. Mereka cukup lama melangkahkan kakinya bersama walau tanpa bersuara sedikit pun, tapi … langkah mereka tiba-tiba saja terhenti ketika Barra mengehentikan langkahnya dan memanggil gadis itu.

"Rein."

"Hm?"

"Cowok lo pulang?"

"Iya."

"Berapa lama? Atau dia gak bakal pergi lagi?"

"Pengennya gue sih dia gak bakal pergi lagi. Tapi, orangtuanya cuma ngasih dia izin selama 5 hari doang."

"Lebih baik kita jaga jarak dulu, Rein." Barra kembali melanjutkan langkahnya tapi ia kembali berhenti ketika Rein memanggilnya.

"Tapi kenapa? Kita gak punya hubungan yang lebih dari sahabat. Kenapa kita harus menjauh?" Barra membalikan tubuhnya dan ia kembali menatap kedua bola mata Rein.

"Itu pandangan lo terhadap gue, tapi gue sebaliknya. Gue mandang lo sebagai cewek yang gue suka, bukan teman ataupun sahabat. Lo juga ngerti sebenernya, cuma lo terus ngelak dan ngalihin apa yang udah lo ngerti itu dengan kata sahabat yang sering lo pake." Rein mulai memberikan tatapan tak sukanya terhadap Barra setelah ia mendengar hal itu terlontar dari mulut pria itu.

"Terus, Barr. Terus aja! Ya udah terserah, gue mau angkat tangan aja. Ok kita jauhan, mau deket lagi kek mau enggak kek, terserah lo. Gue udah capek ada dalam situasi sulit ini, dan gue capek terus-terusan ngerasa bersalah sama Haris."

Saat Rein hendak pergi, tiba-tiba Barra menahan tangan kanannya dan Sakti yang ternyata sedari tadi menguping pembicaraan mereka dibalik dinding pembatas langsung menahan tangan kirinya. Gadis itu melihat jika kedua tangannya tengah ditahan oleh dua orang yang berbeda. Rein menghela napasnya lalu ia menatap mereka satu persatu.

"Lepasin!"

"Gak!" Barra dan Sakti saling menatap satu sama lain setelah mereka mengatakan itu.

"Kenapa? Kenapa kalian kaya gini sama gue? Gue mohon jangan kaya gini! Terjebak dalam keadaan seperti ini gak pernah sama sekali gue harapin di hidup gue.  Lepasin gue sekarang atau jangan pernah lagi lo berdua temui gue lagi dan anggap kita gak pernah kenal sebelumnya." Tangan mereka langsung melonggar. Rein pun langsung menarik kedua tangannya lalu pergi meninggalkan mereka.

"Secara gak sengaja kita udah bikin dia gak nyaman."

"Lo ngomong sama gua?" Sakti berlalu dari sana dan tinggallah Barra yang masih mematung di tempat itu.

• • •

"Rein?" Rein melihat ke arah Barra sebentar lalu ia pergi lebih dulu tanpa mau mengetahui atas dasar apa pria itu memanggilkan namanya tadi. Ia pergi ke parkiran karena Haris telah menunggunya di sana.

"Gue harus terlihat gembira di depan Haris," gumam Rein di sela-sela ia terus melangkahkan kakinya.

"Aduh lama, ya? Maaf baru selesai kelas," kata Rein setelah ia sudah berada di hadapan Haris.

"Enggak tuh, gue juga baru sampe."

"Ya udah, langsung yu!"

"Tu-tunggu, Rein!" Rein yang tadinya hendak naik ke atas motor tiba-tiba langsung mengurungkan niatnya itu dan kembali menatap Haris. "Kita ke taman dulu gimana? Kalo lo gak keberatan itu juga, kalo lo capek gak usah."

"Oh. Eumm gue gak keberatan sih dan juga gue gak terlalu capek. Tapi berhubung dandanan gue udah luntur jadi gimana kalo sekarang kita pulang dulu, terus gue mandi, siap-siap, setelah itu kita pergi deh ke mana pun lo mau."

"Masih cantik, kok." Haris melipat kedua tangannya dan ia memperhatikan wajah Rein dengan senyuman yang ia perlihatkan pada gadis itu.

"Ah itu mah kata lo doang."

"Oh jadi mau cantik juga di depan cowok lain, gitu?"

"Ih gak asik ah salah paham. Bukan gitu ih, Haris. Entar kalau kita ketemu cewek cantik di jalan terus guenya lagi gak banget gimana? Insecure entar gue ah. Gak, gak mau sampe gitu pokoknya gak mau!" Haris sedikit menekan kedua pipi gadis itu dengan tangan kanannya.

"Udah beres ngocehnya?" Rein mengangguk lucu dengan keadaan mulutnya yang memonyong karena pipinya yang ditekan itu. "Ya udah kita pulang dulu sekarang dan lo lakuin apa aja deh di rumah. Setelah lo siap, kita pergi. Pokoknya gue mau ngabisin waktu sama lo selama gue masih ada di sini."

"Oke."

"Udah, yu!"

Barra yang ternyata dari tadi memperhatikan interaksi mereka dari kejauhan hanya bisa menghela napas panjang. "Lo berdua emang saling mencintai, ya. Gue jadi ngerasa bersalah banget karena udah berusaha buat dapetin lo selama ini. Dan, kayanya lo juga gak pernah punya niatan buat bales perasaan gue selama ini. Sorry Rein, lo jangan benci sama gue, ya."

'Duk'

"Aduh, maaf, Mba." Barra mengambil berkas-berkas yang jatuh dari tangan seorang wanita yang tidak sengaja bertabrakan dengannya.

"Tidak apa-apa, Mas. Terimakasih." Wanita itu tersenyum manis seraya menerima berkasnya yang sudah Barra bereskan kembali. "Oh iya, kenalin nama saya Chaerin, saya dari Fakultas Ilmu Budaya."

Wanita itu mengulurkan tangannya untuk mengajak berjabat tangan. Barra yang tidak menduga akan seperti itupun ia membalas jabatan tangan itu dengan ragu-ragu.

"O-oh, saya Barra dari fakultas ekonomi."

"Oh, salam kenal, ya. Kalau begitu saya permisi dulu. Sampai ketemu lagi."

"Iya." Barra terus menatap wanita itu hingga ia benar-benar sudah tak nampak lagi di penglihatannya.

"Rein, apa ini adalah saatnya gue buka hati buat cewek lain? Apa ini saatnya buat gue buang semua perasaan gue terhadap lo?"

•To be Continued•