webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Lainnya
Peringkat tidak cukup
63 Chs

UF2568KM|| 46

👤Sakti

Rein: Sakti, di mana? Mau ngapain?

Rein menunggu balasan dari Sakti. Setelah sekitar tiga menit ia menunggu akhirnya ia mendapat balasan juga darinya.

👤Sakti

Rein: Sakti, di mana? Mau ngapain?

Sakti: Gue di rumah, Rein. Rencananya jam 10 gue mau ke club

Rein: Ke club mulu. Tobat kek masnya ya ampun ;)

Sakti: Haha gue bosen kalo di rumah

Rein: Sama, gue juga bosen di rumah. Lo mau gak ajak gue keluar?

Sakti: Ke club?

Rein: Emang lo mau ajak gue ke sana?

Sakti: Enggak juga sih, cewek baek gak boleh masuk sana. Ya udah, lo mau gue ajak ke mana?

Rein: Kita ke taman kota, yu!

Sakti: Boleh. Ya udah, gue jemput lo

Rein: Oke, ditunggu ya Sakti

Setelah itu Rein langsung meletakkan ponselnya dan ia pun bersiap-siap. Ia mengganti pakaiannya dan sedikit memoleskan riasan pada wajahnya. Setelah selesai, ia pun turun ke bawah dan meminta izin kepada orangtuanya.

Rein menunggu Sakti di pinggir jalan di depan gerbang rumahnya. Setelah beberapa lama ia menunggu, akhirnya Sakti pun sampai di hadapannya.

"Yu!" Ajak Sakti. Rein pun mulai naik ke atas motornya dan sedikit berpegangan pada jaket yang dikenakan oleh Sakti.

"Masukin aja sini!" Sakti menarik kedua tangan Rein untuk masuk ke dalam saku jaketnya. Rein tidak menolaknya, ia pikir itu tidak apa-apa.

Selama di perjalanan, suasananya sangat hening di atas motor tersebut. Sakti fokus pada jalanan, sedangkan Rein … entahlah, entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini.

Mereka hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit lamanya untuk sampai sana. Setelah mereka sampai mereka mulai melangkahkan kakinya untuk mengitari tanah luas tersebut.

"Sakti, thanks ya udah mau ngabulin permintaan gue."

"Iya Rein, santai aja kali. Kita sama-sama bosen di rumah ya udah mending cabut aja keluar." Rein menanggapinya dengan senyum samarnya. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku Hoodie berwarna hijau botolnya itu untuk mendapatkan sedikit kehangatan bagi tangannya.

Sakti melihat Rein berbeda malam ini. Apakah itu hanya perasaannya saja? Tapi Rein benar-benar terlihat lesu saat ini.

"Rein, ada yang mau lo ceritain sama gue?" Rein tidak menjawab pertanyaan Sakti dan ia malah berjalan ke arah pinggir kolam. Sakti yang melihat itupun tentunya pergi untuk mengikutinya.

"Sakti."

"Iya?"

"Gu-gue … gue gak tau gue kenapa." Suaranya terdengar memelan. Sakti masih memfokuskan perhatiannya pada gadis itu dan ia melihat matanya yang mulai terlihat berkaca-kaca. "Gue gak tau gue kenapa Sakti."

Seketika air matanya mulai berjatuhan dan isak tangisnya mulai terdengar di telinganya. Sakti menarik gadis itu ke dalam dekapannya dan membiarkan gadis itu membasahi bagian dadanya. Tangannya perlahan terurai untuk mengusap lembut puncak kepalanya bermaksud untuk mengalirkan ketenangan.

"Dunia gue serasa hening, Sakti. Lo semua ke mana? Ke mana kalian semua pergi ninggalin gue? Gue sendirian, gue bener-bener sendirian. Gue kangen sama lo semua, gue kangen sama kita. Kenapa kalian satu persatu seakan pergi ngejauh gitu aja dari gue? Gue salah apa sama lo semua? Gue salah apa? Gue paling gak bisa sendirian, Sakti, gue gak mau gue kesepian kek gini. Gue pengen … gue pengen dunia gue yang begitu berisik balik lagi sama gue. Gue gak biasa dengan suasana kek gini."

Sakti memejamkan matanya dengan posisinya yang masih sama, ia dapat merasakan getaran dari tubuh seseorang yang tengah ia dekap tersebut. Sakti sangat paham dengan apa yang dirasakan oleh Rein, ia tahu gadis itu memang sama sekali tidak pernah merasakan kesepian sebelumnya, apa yang dikatakannya memanglah benar, awalnya dunianya memang begitu berisik. Tapi itu semuanya selesai ketika ia menjadi satu-satunya wanita yang masih berada di dalam satu tempat bersama mereka.

Sakti percaya, mungkin ini semua memang tidak mudah baginya. Bagaimanapun juga ia tetap membutuhkan teman yang sejenis dengannya yang dapat mengerti akan dunia mereka yang sama. Sakti juga merasa jika dirinya, Bastian, dan juga Jian tidak akan selalu bertemu dengan gadis itu karena berbedanya jadwal yang mereka miliki.

Satu-satunya orang yang memiliki waktu yang sama dengannya hanyalah Barra. Tapi, sekarang apa? Pria itu malah menjauhinya demi kepentingannya sendiri. Ya, itu memang hak yang Barra miliki. Tapi, apakah salah jika Rein berharap Barra tidak seperti itu padanya? Dan juga, apakah Barra lupa jika pihak keluarga Rein sudah mempercayakan gadis itu padanya?

Gadis itu masuk ke dalam universitas dan jurusan yang sama dengannya juga karena apa? Karena pihak keluarganya percaya jika pria itu dapat menjaganya. Ya, sudah sebegitu percayanya sehingga mereka asal memutuskan dan tidak pernah menyangka akan seperti ini pada akhirnya. Telinga mereka tertutup rapat akan argumen di luar sana yang mengatakan bahwa 'manusia tidak dapat berharap kembali pada manusia'.

Rein susah bergaul dengan yang lain, sangat sulit untuknya mendapatkan teman yang sefrekuensi dengannya saat ini. Sungguh! Maka dari itu, ia selalu mengikuti ke mana saja Barra pergi selama mereka berada di lingkungan kampus.

"Udah, Rein. Gue ada di sini sama lo, gue gak ke mana-mana, gue ada di hadapan lo sekarang, dan lo gak sendirian. Gue peduli sama lo, Rein. Lo boleh lari ke arah gue kalo lo butuh sandaran, lo boleh pergi temui gue kapanpun lo mau. Rein, bilang sama gue! Ke mana pun lo mau pergi, bakal gue anter. Lo boleh salurin rasa sakit lo dan rasa bahagia lo sama gue. Gue gak akan nolak. Udah, ya? Lo jangan nangis lagi karena ada gue di sini sama lo." Rein mengangguk pelan dan memberanikan dirinya menatap pria itu.

"Makasih ya, Sakti," lirihnya. Sakti tersenyum lembut dan ia mengangguk pelan. Ia menyapukan jejak air mata Rein yang masih tersisa itu dengan kedua ibu jarinya.

Seketika perhatian Rein terarah pada dada Sakti dan ia sedikit mengusapnya. "Sakti, ini jadi basah. Maafin gue, ya?"

Rein berbicara seperti itu dengan wajah sedih sekaligus terkejut. Sakti yang melihat raut wajah Rein pun tertawa. "Lo ngapain sih? Muka lo jadi ngakak kan jadinya."

"Malah ketawa, lagi sedih juga." Rein mengerucutkan bibirnya sebal dengan matanya yang sayu akibat menangis.

"Gak papa Rein, ini bisa kering. Lo mau ice cream gak?" Rein mengangguk dengan senyuman di bibirnya. Sakti pun merangkul gadis itu dan mereka mulai pergi meninggalkan tempat itu untuk mencari kedai ice cream.

Saat mereka sedang menikmati ice cream mereka, tiba-tiba saja ponsel Rein bergetar dan Rein langsung melihatnya.

"Haris nelpon."

"Ya udah angkat aja." Rein menggeser tombol berwarna hijau itu ke atas untuk mengangkat panggilan tersebut dan meletakkan ponselnya di telinganya.

"Hallo?"

"Hallo? Rein, kok berisik? Lagi di mana?" Tanya Haris di seberang sana karena ia dapat mendengar banyaknya suara kendaraan yang melintas.

"Iya, ini gue lagi di luar."

"Sama anak-anak?"

"Enggak." Haris terdiam sejenak dan mencoba menebak-nebak. Jika bukan dengan mereka, lalu kini ia sedang bersama siapa? Sendiri? Haris menggidikan bahunya dan lebih baik ia langsung menanyakannya saja.

"Terus, lagi sama siapa?"

"Sama … Sakti." Rein sedikit menoleh ke arah Sakti yang sedang memainkan video games di ponselnya.

"Cuma berdua? Sama Sakti doang?"

"Iya, kenapa? Masa gak boleh sih, ini kan Sakti." Rein mendengar Haris sedikit menghela napasnya sebelum ia kembali berbicara.

"Boleh, kok. Tapi jangan pulang kemaleman, ya? Sekarang kalian berdua lagi ngapain? Di tempat itu gak cuma ada kalian doang, kan?" Rein menahan tawanya ketika nada bicara Haris terdengar tak seperti biasanya. Mungkinkah Haris cemburu? Ia banyak bertanya dari tadi.

"Kita lagi makan ice cream, Haris. Jelas kita gak berdua aja di sini, banyak pelanggan yang lain juga kok. Gue bosen di rumah jadi ya udah gue ajak Sakti buat temenin gue main ke luar. Gitu."

"Ta-tapi kenapa harus? Ah udah, deh!" Rein sedikit tertawa mendengarnya. Sakti tidak dapat mendengar apa yang dikatakan oleh Haris karena Rein tidak mengeraskan panggilannya sehingga hanya dia sendiri yang dapat mendengar apa yang dikatakan oleh pria yang jauh di sana tersebut.

"Lucu, deh … kenapa, sih? Masa iya lo cemburu sama sahabat lo sendiri?" Rein mencoba menggoda Haris di seberang sana. Ia dapat membayangkan bagaimana kondisi wajah Haris saat ini.

"Gak."

"Ulululu singkat banget, Ganteng."

"Kenapa harus Sakti?"

"Ya karena dia yang jomblo hahaha." Sakti yang sedang fokus dengan games yang tengah ia mainkan itu melirik Rein sekilas.

"Siapa yang lo katain jomblo itu, ha?" Tanyanya pada gadis yang kini berada tepat di samping kanannya.

"Yang ngerasa aja haha."

"Udah becanda sama Sakti-nya?" Rein kembali menajamkan pendengarannya ketika ia mendengar Haris kembali berbicara.

"Iya udah."

"Cepetan pulang!"

"Iya iya bentar lagi, Ris. Astaga …!"

"Kalo udah kabarin!"

'Pip'

Haris memutuskan sambungannya sepihak. Rein hanya tertawa dan ia kembali meletakkan ponselnya dan menghabiskan ice cream-nya yang masih tersisa.

"Masa Haris cemburu sama lo?"

"Wajar, lo kan pernah suka sama gue. Wajar aja di was-was." Rein terdiam mendengarnya. Ia berpikir seperti itu juga sebenarnya. "Gue saranin deh, Rein. Kalo lo ada janji sama cowok lain, mau itu sama gue atau bukan, lebih baik lo bilang dulu sama dia biar gak ada salah paham."

•To be Continued•