webnovel

Kebiasaan Yang Tak Biasa

"Braaak!"

Suara pintu yang ditutup dengan bantingan itu membuat para tetangga yang mengerubungi rumah Vika kompak geleng-geleng kepala. Dengan ekspresi yang tidak terkejut sama sekali. Karena memang mereka sudah melihat kejadian itu berulang kali.

"Ckckck. Sebenarnya dibandingkan dengan masalah yang terus datang ke Vika, aku lebih sedih lagi lihat penderitaan pintu itu."

"Tiap ada masalah, pasti pintu yang kena banting."

"Hahahahaha. Aku penasaran kapan rumah itu bakal roboh kalau setiap hari jadi pelampiasan kemarahan Vika."

Di dalam rumah, Vika bukannya tidak mendengar bisik-bisik tetangganya itu. Jelas saja ia mendengar. Tapi, ia tidak memedulikan itu. Karena memang seperti itulah kenyataannya.

"Argh! Ke mana aku harus nyari duit segini banyaknya?"

Dan ketimbang memikirkan bisik-bisik tetangga, Vika lebih memilih memikirkan uang yang harus ia berikan pada Rustina untuk biaya rumah sakit anaknya. Yang babak belur karena dihajar oleh adik sematawayangnya.

"Delapan juta lima ratus ribu rupiah?"

Vika membaca total tagihan yang ada di tangannya itu. Ia tertawa dalam ringisan seraya beranjak. Mengambil lembaran kertas lainnya yang ada di atas meja ruang tamu.

"Delapan juta itu baru tagihan rumah sakit korban Rizal. Belum termasuk enam juta tagihan salon Mama. Dan belum ditambah dengan lima belas juga tagihan utang judi Papa."

Dua tangan Vika sontak meremas semua lembaran tagihan itu. Dengan mata yang memejam dramatis. Geraman tertahan di pangkal tenggorokannya.

"Apa mereka nggak bisa diem duduk yang manis aja di rumah ketimbang keluar cuma untuk ngebuat tagihan-tagihan ini datang ke rumah?!"

Semua tagihan itu berubah bentuk menjadi bola kertas dalam waktu singkat. Vika membantingnya di lantai. Bentuk pelampiasan emosi selanjutnya.

"Keluar semuanya!"

Bentakan Vika terdengar kembali. Menggelegar seperti ingin meruntuhkan langit-langit rumah.

"Aku bilang keluar! Nggak usah pura-pura tidur atau semacamnya. Sebelum aku siram itu kasur dengan air!"

Tak butuh waktu lama setelah ancaman itu meluncur dari bibirnya, Vika mendapati ada derik halus. Berasal dari dua pintu kamar yang terbuka dengan perlahan. Menampilkan tiga wajah yang tampak menunduk seraya keluar dari sana.

Rahang Vika mengeras. Matanya menatap tajam pada mereka bertiga. Tangannya kemudian menunjuk ke lantai.

"Duduk sini!"

Ketiga orang itu tak lain dan tak bukan ada orang tua dan adik Vika. Yang ketika mendengar perintah itu, sontak langsung melakukannya. Duduk berjajar di lantai sementara Vika segera duduk di kursi. Tepat di hadapan mereka.

Tak langsung bicara, Vika melihat berang pada mereka. Kemarahan benar-benar tampak berkobar di matanya. Persis seperti nyala api yang disiram oleh berliter-liter bensin.

"Kalian mau buat aku sengsara sampai kapan sih? Masih belum puas buat aku banting tulang untuk bayar semua tagihan selama ini? Sampai semuanya kompak untuk buat masalah lagi?!"

Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Semuanya hanya menundukkan kepala. Persis seperti seorang anak yang sedang dimarahi oleh orang tuanya. Walau ups! Di sini ada yang berbeda. Nyatanya bahkan pasangan suami istri itu yang dimarah oleh anaknya sendiri.

"Vika ...."

Vika segera berpaling. Pada sang ibu yang entah mendapatkan keberanian dari mana, akhirnya buka suara. Tapi, tatapan tajam Vika sontak membuat ia meneguk ludah.

"Apa, Ma?" tanya Vika sengit. "Mau ngomong apa? Mau pamer warna baru rambut Mama?"

Lestari meringis samar. Menggeleng sekali dengan kedua tangan yang naik di depan dada.

"N-nggak, Nak. Nggak kok. M-Mama cuma mau ngomong ... Mama minta maaf."

Dua detik Vika diam. Lalu ia menunjuk pada bola kertas tagihan yang ada di atas lantai.

"Bisa maaf Mama dipake buat bayar tagihan itu? Bisa nggak?"

Lestari menyesal karena bicara. Dalam hati ia merutuk. Harusnya ia diam saja.

"Memangnya apa sih yang Mama pikirkan sampe ke salon? Perawatan segala macam dan ngecat rambut? Sementara beras di rumah aja udah habis! Mama emang lebih butuh cantik timbang makan?!"

Mata Lestari sontak memejam. Seperti bentakan Vika memiliki tenaga dalam yang bisa membuat ia tersentak. Di sebelahnya, sang suami langsung menahan tubuhnya.

"Vika! Kamu itu nggak ada sopan santun sama sekali dengan orang tua!"

Vika beralih pada sang ayah. Yang terlihat berusaha menenangkan istrinya. Dan itu membuat Vika berang.

"Terus Papa apa? Ada sopan santun? Udah ngabisin duit buat judi, terus utangnya malah disuruh aku yang bayar? Iya? Itu sopan santun?!"

Kali ini Harjo yang dibuat meneguk ludah karena pertanyaan sang putri. Mau tak mau itu membuat ia jadi tutup mulut. Alih-alih menjawab, ia memilih tetap mengelus punggung sang istri. Sambil menenangkannya.

"Dan kamu, Rizal!" bentak Vika pada sang adik. "Kalau kamu emang hobi berantem, ikut aja tarung gelap sana! Timbang kamu mukulin anak orang dan nggak dapat duit, mending kamu jadi petarung jalanan. Nyata dapat duit. Bukannya malah buang-buang duit aku!"

Rizal, cowok yang sudah berusia dua puluh empat tahun itu, memilih diam saja. Tidak ingin mengambil risiko seperti ibu dan ayahnya. Yang bicara, tapi justru semakin dibentak oleh sang kakak.

"Kalian pikir aku itu dapat duitnya metik dari pohon? Jadi sesuka kalian buat masalah di luar sana?!"

Vika bangkit dari duduknya. Berkacak pinggang dengan aura membunuh yang seolah menguar dari tubuhnya. Membuat Lestari, Harjo, dan Rizal makin tak berkutik.

"Memangnya susah ya diam saja di rumah? Harus ya kalian pergi keluar sana cuma untuk buat masalah? Apa kalian nggak bisa hidup tenang kalau sehari aja nggak buat masalah buat aku?"

Tak ada lagi suara yang Vika dapatkan kali ini. Tak ada balasan yang ia dapatkan. Semuanya kompak diam.

Namun, diam itu tidak membuat kemarahan Vika reda. Tidak sama sekali. Yang ada justru sebaliknya. Ia merasa dadanya semakin sesak.

"Kalian kalau emang mau buat aku sengsara sampe aku mati, mending bilang aja deh sekarang terus terang," kata Vika sembari membuang napas kasar. "Karena kalau iya lebih baik bunuh aja aku kini. Nih!" Ia menepuk badannya sekali. "Biar organ dalam aku bisa dijual. Biar puas kalian semuanya bisa judi, ke salon, atau mukulin anak orang."

Masih diam, Vika mendapati dirinya semakin kesal. Hingga ia kemudian menjerit sekuat tenaga. Hanya untuk meluapkan semua rasa kesal dan emosi yang membuat ia merasa sesak di dada.

Lestari, Harjo, dan Rizal kompak menutup telinga masing-masing. Dan mereka yakin, tetangga di luar sana pasti melakukan hal yang sama.

"Aaargh!!!"

Tuntas mengeluarkan emosinya dalam bentuk lengkingan suara bernada puluhan oktaf itu, Vika menarik napas dengan terengah-engah. Kakinya memberikan satu hentakan di lantai, lalu beranjak dari sana. Menuju ke kamarnya dan melakukan pelampiasan andalannya. Yaitu, membanting pintu dengan sekuat tenaga.

Astaga!

Mereka bertiga sontak melihat ke atas. Pada langit-langit rumah yang tampak bergetar.

"S-sepertinya rumah ini memang bakal roboh sebentar lagi."

Lestari dan Rizal sama-sama melihat pada Harjo. Yang tampak ngeri membayangkan bila harta satu-satunya yang mereka miliki akan hancur dalam waktu dekat. Mereka mau tinggal di mana?

Bahkan kalaupun rumah itu benar-benar roboh, Vika sudah tidak peduli lagi. Sebenarnya ia malah mengharapkan yang lebih. Misalnya kiamat datang mendadak begitu.

"Mereka nggak mikir apa? Hidup udah segini berat, mereka malah buat hidup aku makin berat lagi," keluh Vika. Ia membanting tubuhnya di kasur dengan kemarahan yang belum mereda sama sekali. "Mereka pikir mereka aja yang punya kehidupan yang harus aku perhatiin. Aku juga punya. Aku juga mau kayak cewek lain. Yang udah mau umur tiga puluh itu sibuk mikirin cowok cakep. Bukannya sibuk mikir tagihan keluarga!"

Tangan Vika memukul-mukul kasur. Geramannya terdengar berulang kali.

"Ini boro-boro mau nikah, cowok pun pasti nggak ada yang mau deket dengan cewek yang penuh dengan lilitan utang. Bahkan aku juga yakin. Aku open BO juga kayaknya nggak ada cowok yang mau. Takut keciprat kena tagihan utang juga!"

Karena entah mengapa, mendadak bayangan itu muncul di benak Vika. Ketika ia tengah bersama dengan seorang cowok yang akan membayar jasanya, bukan percakapan nakal sensual yang terjadi. Alih-alih ....

"Oh .. no. Oh ... no. Kamu punya utang? Sial! Kata terkutuk itu ngebuat aku nggak bisa keluar!"

Hubungannya?

Stres mempengaruhi ejakulasi!

*

bersambung ....