webnovel

Bab 29-Kitab Langit dan Bumi

Langit dan bumi adalah sekutu

yang bersama-sama mengawal waktu

hingga dunia kehabisan rasi

dan orang-orang kehilangan hati

Suasana Puncak Ciremai hening seperti kuburan. Purnama tepat berada di atas kepala. Bulat sempurna. Semua orang menunggu apa yang terjadi. Di puncak tertinggi tepatnya di sisi utara kawah, Ki Ageng Ciremai mengangkat kedua tangannya. Matanya memandang lurus ke arah purnama tanpa berkedip. Bibirnya melantunkan sebuah tembang kuno yang berisi mantra-mantra gaib. Suaranya yang berat mengalun kencang di sekitar Puncak Ciremai meski bibirnya hanya bergerak pelan. Ki Ageng Ciremai membaca mantra Pemanggilan dengan hikmat. Ketiga tokoh lainnya terlihat duduk bersila dengan jarak yang teratur namun tidak terlalu berjauhan. Ketiganya memejamkan mata tapi dengan mata batin terbuka lebar. Siap menjaga segala kemungkinan gangguan dari orang-orang yang memandang ritual ini dengan penuh ketakjuban.

Cuaca dingin yang sanggup membekukan tubuh bertambah saat kabut tebal perlahan-lahan naik dari lereng gunung ke atas. Sebuah keanehan lagi dari ritual ini. Jamak apabila kabut turun dari atas gunung ke lereng atau lembah. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kabut tebal itu seolah diangkat oleh tangan tak kelihatan ke puncak gunung. Beberapa memandang dengan tatapan ngeri saat kabut tebal itu benar-benar menutup pandangan hingga jarak pandang tak lebih dari dua depa.

Kabut biasanya disertai hawa dingin yang sanggup membuat tubuh menggigil, namun kabut yang timbul karena ritual Pemanggilan ini berhawa sangat panas! Semua orang merasakan kegerahan yang luar biasa sehingga beberapa orang secara tak sadar membuka baju hangat yang dikenakan. Akibatnya sungguh fatal karena orang-orang yang membuka karena kegerahan yang teramat sangat itu langsung membeku menjadi patung es!

Ratri Geni menyaksikan semua itu dengan mulut melongo. Sedari tadi dia sudah mengerahkan hawa sakti Inti Bumi karena sudah menduga ritual ini pasti akan memiliki akibat yang luar biasa. Tubuhnya dialiri Amurti Arundaya dan Danu Cayapata secara bergantian. Menyesuaikan dengan hawa apa yang sedang terjadi di lingkup puncak gunung. Mata Ratri Geni melayang ke arah ayahnya yang masih berjongkok sambil memegang leher Sima Lodra. Sepertinya menyalurkan hawa sakti ke harimau gaib itu agar tidak beku kedinginan maupun terbakar hawa panas yang menguar dari kabut.

Buru-buru Ratri Geni melakukan hal yang sama kepada Sima Braja. Tubuh harimau itu sangat dingin. Matanya kuyu seperti mengantuk. Untunglah Ratri Geni cepat bertindak meniru apa yang dilakukan ayahnya karena Sima Braja memang nyaris tewas kedinginan. Ratri Geni mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tokoh-tokoh yang mempunyai kepandaian tinggi terlihat mengerahkan segenap tenaganya untuk bertahan di puncak gunung.

Orang-orang yang tidak mempunyai hawa sakti yang memadai terguling tewas atau pingsan dan sebagian yang masih kuat memilih untuk berlari cepat menuruni gunung. Herannya begitu kaki mereka meninggalkan area puncak gunung, hawa kembali normal. Saat mereka memandang ke atas, Puncak Ciremai sama sekali tidak nampak. Puncak gunung itu seperti diselimuti kapas yang luar biasa tebal.

Ratri Geni menyaksikan sebagian besar orang meninggalkan puncak dengan tergesa-gesa dengan sisa kekuatan yang mereka miliki. Tersisa tak lebih dari belasan orang yang masih berada di pinggir kawah Gunung Ciremai.

Terdengar gelegak dahsyat yang berasal dari kawah gunung. Disusul dengan lontaran bola-bola api sebesar kepala ke atas. Berjatuhan di bibir kawah dan sekitarnya. Ratri Geni terkesiap. Gadis ini membisikkan sesuatu di telinga Sima Braja yang bersicepat mematuhi perintah Ratri Geni dengan berlari menuruni puncak gunung secepatnya. Ratri Geni juga melihat Sima Lodra melakukan hal yang sama. Harimau perkasa berwarna putih itu melompat dan melesat seperti kilat ke bawah gunung. Kembali Ratri Geni terkesiap. Gadis ini berdoa semoga kedua harimau itu tidak bertemu di bawah.

Ki Ageng Ciremai mengayunkan tangannya yang terangkat ke atas ke bawah dengan gerakan cepat sambil berteriak mengguntur dalam bahasa yang tidak dimengerti. Bola-bola api semakin banyak terlontar dari kawah ke udara. Keempat tokoh Delapan Penjuru Gunung itu telah berdiri dalam keadaan siaga. Entah apa yang mereka waspadai karena orang-orang tidak ada sedikitpun yang bergerak. Sibuk mengawasi bola-bola api yang bisa membakar hangus mereka.

Bersamaan dengan berhentinya lontaran bola api dan hilangnya kabut tebal secara misterius, terdengar suara luar biasa keras dari kawah Gunung Ciremai. Suara yang memekakkan telinga dan berpengaruh dahsyat bagi orang-orang yang segera mengerahkan hawa sakti untuk melindungi telinga. Termasuk juga menimbulkan akibat yang hebat bagi orang-orang yang telah turun dan kini menunggu di leher gunung. Beberapa orang memegangi telinga mereka yang mengeluarkan darah segar. Namun hawa yang sebelumnya dingin dan panas secara tak lumrah, kembali normal.

Ratri Geni merasakan jantungnya berdegup kencang. Ini sepertinya sudah memasuki tahap puncak ritual yang ditunggu-tunggu semua orang. Seiring dengan redanya suara keras luar biasa itu, dari dalam kawah terlontar gulungan cahaya yang jatuh dan mengarah ke utara kawah. Tempat para tokoh sakti Delapan Penjuru Gunung berdiri dengan waspada. Tidak ada satupun dari empat orang itu yang bergerak berusaha menangkap cahaya yang sekarang berputar-putar di atas kepala mereka.

Cahaya sebesar roda pedati itu terus berputar dengan suara berdengung pelan. Mengitari keempat Ki Ageng yang menunggu dengan sabar. Ratri Geni baru paham sekarang kenapa tidak ada dari mereka yang berusaha melompat untuk meraih cahaya yang terus memudar sehingga menampakkan wujudnya sebagai kitab tua berukuran kecil yang bersampul tebal dan kelihatannya terkunci. Mereka menunggu kitab itu jatuh ke pilihannya sendiri. Persis seperti yang dikatakan Ki Ageng Waskita. Kitab itu adalah penjaga gunung yang sedang marah dan tugasnya adalah meredakan kemarahan gunung tersebut.

Ratri Geni teringat kejadian gempa dan bumi bergetar beberapa malam berturut-turut saat di lereng Ciremai. Gadis ini menebak kitab itu akan jatuh ke tangan Ki Ageng Slamet yang bersama Ki Ageng lainnya membuka tangan siap menerima.

Tepat ketika purnama di langit mulai menjatuhkan diri perlahan-lahan ke barat, kitab tua itu meluncur turun dan jatuh di tanah di antara empat Ki Ageng Delapan Penjuru Gunung. Tidak menjatuhi tangan siapapun dari mereka berempat. Ratri Geni menajamkan pendengarannya dengan hawa sakti Inti Bumi. Dia melihat Ki Ageng Ciremai menggerakkan bibirnya berbicara dengan ketiga Ki Ageng lainnya.

"Kalian lihat? Kitab Langit dan Bumi jatuh di tempat seharusnya Ki Ageng Merbabu berada." Ketiga Ki Ageng menganggukkan kepala. Ki Ageng Merapi yang terlihat paling berangasan di antara mereka berkata.

"Aku akan membawanya ke Puncak Merbabu. Tempat tinggalku tidak jauh dari sana." Ketiga Ki Ageng lainnya mengangguk mengiyakan. Namun sebelum Ki Ageng Merapi memungut Kitab Langit dan Bumi, berkesiur angin pukulan tajam yang mengarah tubuhnya. Disusul dengan angin pukulan lain yang menyerang ketiga Ki Ageng Gunung lainnya.

Dewi Lastri, Hantu Lautan, Malaikat Darah dan Wida Segara secara berbarengan menyerang keempat Ki Ageng Gunung. Disusul pukulan lain yang tak kalah dahsyat mendahului berkelebatnya sesosok tubuh perempuan kurus berambut merah. Nyai Sembilang tiba-tiba saja hadir dan ikut menyerang keempat Ki Ageng Gunung. Diikuti pula dengan satu bayangan lain entah darimana datangnya mendadak muncul dan ikut menyerang. Seorang kakek tua yang sangat cebol dengan pakaian aneh berwarna-warni. Kakek tua berasal dari Pulau Dewata yang dijuluki Si Tua Aneh.

Raden Soca masih berdiri di tempatnya semula. Dia tidak mau melakukan pengeroyokan. Matanya yang tajam terus mengawasi Arya Dahana. Dia akan menunggu saat yang tepat untuk menantang pendekar itu bertarung satu lawan satu.

"Nyai Sembilang! Aku sudah menduga kau akan hadir di sini dengan niat jahat!" Ki Ageng Merapi membentak dan menyambut serangan Nyai Sembilang. Nenek sakti kakak kandung Datuk Rajo Bumi itu tertawa terkekeh dan melanjutkan serangannya dengan gerakan dahsyat. Dewi Lastri tanpa ba bi bu membantu gurunya menyerang Ki Ageng Merapi yang terlihat beringas.

Ki Ageng Semeru menerjang ke depan menyambut Hantu Lautan. Dilihatnya selain Nyai Sembilang, tokoh ini punya kelebihan ilmu mengerikan karena mata batin Ki Ageng Semeru bisa melihat orang ini setengah siluman. Wida Segara tidak tinggal diam. Wanita muda ini maju ke depan membantu gurunya. Ki Ageng Semeru dikeroyok dua.

Ki Ageng Ciremai menyambut serangan Si Tua Aneh yang langsung menggunakan memainkan jurus-jurus aneh dan tak beraturan. Ki Ageng Ciremai terkejut. Dia mengenal Si Tua Aneh dari Ki Ageng Agung sebelum dia meninggal dunia. Tokoh aneh itu datuk golongan hitam yang merajalela di Pulau Dewata sebelum akhirnya dikalahkan Ki Ageng Agung dan menghilang dari dunia persilatan. Rupanya tokoh aneh ini lawan yang tangguh.

Ki Ageng Slamet melayani serbuan Malaikat Darah yang dibantu oleh Dua Panglima Malaikat Darah. Tokoh yang terlihat kalem ini dikeroyok tiga.

Ratri Geni hendak menceburkan diri dalam pertempuran melihat tokoh-tokoh jahat itu melakukan pengeroyokan. Namun langkahnya tertahan karena dilihatnya dua sosok berkelebat dari sisi kawah sebelah selatan. Arya Dahana dan Arawinda berlari cepat ke gelanggang pertempuran hebat itu.

--********