Sudah lima hari Vino melewati hari sendiri, dia selalu menolak jika ada tawaran dari para temannya untuk menemaninya di sana selama kedua orang tuanya pergi. Vino tidak ingin membuat mereka semakin ketakutan karena akhir-akhir ini banyak kejadian. Dia hanya ingin meluangkan waktu untuk berpikir kenapa ada peristiwa semacam itu yang harus terjadi?
Apa perlu Vino meminta sang Papa untuk mencarikannya detektif hebat se-Indonesia? Tapi jika beliau bertanya untuk apa, Vino harus menjawab jujur atau berbohong? Kalau dia berkata yang sebenarnya apa sang Papa khawatir dan akan cepat pulang? Vino tidak ingin mengganggu bisnis Papa nya, dia harus melakukan apapun seorang diri tanpa bantuan keluarga. Vino apa bisa mengahadapinya?
Handphone yang berada di atas nakas bergetar, terlhat ada nama seseorang yang menelfon Vino. Cowok itu segera mengangkatnya, mendekatkan ke telinga kanannya.
"Halo, Ger. Ada apa?" tanya Vino cepat. Geri di seberang terdengar menghela napas dalam, Vino menautkan alis bingung. "Ger. Lo ga pa-pa 'kan? Apa ada yang neror lo? Kasih tau gue." ucap Vino bertubi-tubi.
Geri sedikit terkekeh di sana, Vino yang merasa cemas pun bingung. "Ger, jangan becanda."
"Gue udah ada di pintu depan, lo ga mau bukain? Ga denger gue udah teriak kayak toa apa?" gerutunya yang membuat Vino segera berlari ke luar kamar menuju ruangan utama dengan tergesa, dia tidak ingin membuat Geri menunggu lama di luar sana.
Vino memutar kunci langsung membuka dan melihat Geri yang sedang membelakanginya.
"Geri, ayo masuk." ajak Vino, cowok itu memutar tubuhnya sambil bersenandung ria.
"Dari tadi, kek. Gue udah takut sendirian, security di deket gerbang terus liatin gue." dengus Geri yang melangkah masuk, mendahului Vino yang terkekeh pelan sambil menggeleng heran.
"Mungkin mereka naksir sama lo." kelakar Vino, dia merangkul Geri yang bergidik ngeri.
"Ogah. Bapak-bapak begitu, mendingan ama elo."
"Lo sendiri ke sini?" tanya Vino saat mereka sudah berada di kamar.
Geri mendeham. "Tadi gue mampir ke rumah, Sandy. Tapi dia nolak dan ga mau, katanya masih ga enak hati."
Vino diam. Tidak seharusnya Sandy seperti itu. Bukankah semua ucapannya hanya dalam mimpi saja? Vino tidak mempermasalahkannya selagi dia masih bisa untuk menjaga diri. Toh, selama ini Vino yang berkorban.
"Gue udah bilang kalau itu semua ga bener. Mimpi itu cuma ... bagian bunga tidur 'kan?" Geri menatap Vino bertanya, cowok itu meminta persetujuan dengan ucapannya yang menurutnya benar.
Vino mengangguk ragu. Ada sekelebat rasa yang telah dia rasakan dari sebelum Sandy memimpikannya, Vino justru mengalami hal yang serupa. Jika hal itu yang akan terjadi selanjutnya, apa Vino akan terima? Membiarkan semua temannya menangis tersedu melihat jasad tanpa tubuh dari Vino?
"Kalau itu di namakan alay, termasuk ga?" tanya Geri menatap lurus ke depan, dia kembali mengimbuhkan, "Gue yang pas kecil mimpi sepupu mati ampe sekarang panjang umur. Jadi, mungkin emang dia lagi ada pikiran ... bisa jadi penyebabnya dari situ."
Vino tidak tahu. Entah Sandy sedang ada banyak masalah yang sedang di hadapi tanpa dia ketahui atau memang kebetulan saja. Vino tidak juga memikirkan, namun Vino pun harus was-was semisal ada orang yang dia tidak kenal alias menarik curiga. Vino tidak akan segan, sesuai lontaran yang pernah keluar dari mulutnya.
"Udah ga perlu lagi di bahas. Tujuan lo ke rumah gue apa? Kenapa ga bilang kalau mau kesini?" Vino bertanya mengalihkan.
Geri tertawa pelan. Dia duduk bersila menghadap Vino. "Ga boleh emang? Gue laper, sih. Mau numpang makan, hehe."
Vino menepuk dahi sambil menggeleng pelan. "Gue mana ada masak, sih. Di sini ga ada, ART."
"Stok daging di kulkas udah abis?"
Vino melirik, "Makin nambah, tadi pagi bokap kirim lewat paket."
Geri tersenyum lebar. "Let' s go!"
"Duluan aja. Gue mau ke toilet dulu." balas Vino yang di angguki kepala Geri.
Cowok itu melesat pergi ke dapur, dia tidak bisa menahan lapar terlalu lama. Vino hanya menatap kepergiannya, kedua matanya mulai menghitam. Ada sesuatu yang dia lihat dari sosok satu temannya.
Sepertinya Vino harus lebih waspada.
"Gue ga rasain dia itu ... Geri, yang asli."
*******
Boby berjalan santai, dia di kejutkan oleh David saat cowok itu akan berbelok kedalam kelasnya. Beruntung Boby bukan orang yang latah, mungkin dia akan teriak atau akan menggeplak David dengan keras dan sadis.
"Lo apaan, sih?! Ngapain di kelas gue?" sewotnya menatap jengkel.
David tertawa renyah, kedua tangannya sampai memegang perut yang menahan sakit. "Lo itu emang harus di kagetkan."
Boby mendengus sebal. "Sinting ni anak."
"Gue pinter bukan sinting." David menyanggah.
Boby masa bodoh, dia mulai berjalan ke arah bangkunya yang berada di barisan ke tiga paling belakang. Membiarkan David mengekorinya dari samping.
"Lo di parkiran liat yang lain ga?" tanya David yang sudah duduk di depan meja Boby.
Cowok itu menyimpan tas nya sebelum menjawab, "Engga, tuh. Emangnya pada belum berangkat?"
David menggeleng. "Gue cuma liat, Tama. Itu anak malah buru-buru ke kelas mau ngerjain tugas." ucapnya.
Boby tertawa kecil. "Ampe tugas di bawa lagi ke sekolah? Keterlaluan amat, waktunya di buat apaan, dah."
David berdecak. "Lo ga tau kalau dia sibuk ngurusin adek nya? Hal biasa kalau dia mah begitu, kebanyakan adek."
Boby nampak terkejut. "Serius lo? Gue ga tau yang mana adek nya si, Tama. Emang punya berapa?" tanyanya penasaran.
David berpikir, "Tiga. Semuanya masih pada kecil."
"Mayan juga." gumam Boby sedikit anggukan di kepala.
"Vino, belum berangkat apa? Kok, dia susah di hubungin dari tadi malem." David baru mengingat, dia merasa resah sejak Vino pulang dari sekolah kemarin. Entah kenapa perasaan David saat itu mulai tidak tenang.
"Apa, iya?" Boby sendiri tidak ada menghubungi sama sekali, dia justru asyik main game tadi malam.
David mengangguk yakin, dia menggigit kecil bibir dalamnya. "Perasaan gue ga enak banget, Bob. Waktu kemaren liat punggung, Vino ... yang menjauh dari kita semua. Rasanya ... kayak bakal ada kejadian yang menimpa dia."
Boby menghela napas. "Maksudnya mimpi, Sandy ... akan jadi nyata gitu?" dia tidak pernah percaya akan hal semaacam itu, baginya sangat mustahil.
"Gue ga tau, Bob. Tapi perasaan khawatir itu ga boong." David tidak mengelak, dia hanya menyampaikan keresahan, bukan bermaksud mendo'akan buruk untuk sahabatnya sendiri.
Boby mengulum bibirnya sambil sedikit menekan. Dia jadi teringat malam itu. Apa peristiwa tempo hari adalah kesialan buruk yang akan terjadi pada Vino? Kepala Boby terasa pening, dia pijat sedikit guna meredakan.
"Tadi pagi udah gue hubungin, tapi ..." David menjeda, Boby menatap menunggu terusan ucapan dari temannya.
"Tapi apa, Dav?"
David menatap lamat. "Yang angkat telfon bukan, Vino."
"Lah, terus?"
"Gue denger samar, tapi suaranya berat karena serak. Gue curiga ada sesuatu."