"Acara apa ini?"
Peyvitta kebingungan setelah dirinya berdiri di depan sebuah gedung yang sekarang sudah terdapat banyak mobil yang terparkir, serta banyak orang yang berjalan dengan santai masuk ke Tempat ini. Sebelumnya Bima tidak memberi tahu Peyvitta kalau dia akan mengajak Peyvitta untuk datang ke tempat ini.
Bima melirik ke arah Peyvitta yang sekarang tengah mengedarkan pandangannya memperhatikan tamu-tamu yang berdatangan dan juga berjalan masuk. "Pesta ulang tahun," jawab Bima dengan cukup santai.
Mengetahui acara apa ini, ternyata tidak membuat Peyvitta mengangguk paham. Peyvitta malah merasa kebingungan dan kemudian dia memilih untuk bertanya, "Kenapa menghadiri acara ulang tahun?"
Terasa cukup membingungkan saat Bima memilih untuk menghadiri acara ulang tahun yang mana orang yang berulang tahu sekarang baru saja menginjak masa remaja. Sepertinya kalau yang berulang tahu sekarang sudah di atas kepala dua, Peyvitta tidak akan merasa heran dengan alasan yang Bima punya.
"Karena yang ulang tahun adalah anak dari rekan kerja saya," jelas Bima dengan nada yang datar.
Memang dirinya tidak akan datang ke sembarang acara, tapi yang mengadakan acara ulang tahun sekarang terbilang cukup penting, apalagi dari sudut pandang dunia kerjanya. Bima tidak ingin merusak citranya dengan menolak undangan kali ini.
Merasa mengerti dengan alasan yang sudah Bima ucapkan, Peyvitta akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh." Peyvitta membulatkan mulutnya.
"Ya, bersikap layaknya pacar saya."
"What the—
Belum sempat Peyvitta menyelesaikan kalimat yang berisikan sebuah umpatan, Bima sudah langsung memotongnya dan kemudian berbicara, "Saya tidak menerima penolakan dalam bentuk apa pun." Memang hal ini tidak Bima sukai.
"Apakah Pak Bima tidak mempunyai perempuan yang bisa Bapak ajak untuk datang ke acara ini dan menemui Bapak?"
Peyvitta bertanya dengan menggunakan nada yang masih terdengar begitu sopan, memang Peyvitta sudah terbiasa berbicara seperti ini saat dirinya sedang bersama dengan Bima.
"Jangan terus-terusan memanggil saya dengan sebutan Bapak. Ingat, perbedaan umur kita gak lebih dari 5 tahun, bahkan 5 tahun saja tidak. Lagi pula saya belum mempunyai anak. Akan lebih baik jika kamu memanggil saya dengan nama saya," jelas Bima yang mana telinganya merasa keberatan mendengar panggilan yang Peyvitta berikan pandanganya.
Dengan penuh keseriusan, Peyvitta menggelengkan kepalanya. "Gak mau," tolak Peyvitta yang memang dirinya sama sekali tidak ingin mengubah panggilan yang biasa dia ucapkan pada Bima.
Kening Bima mengernyit dengan sebuah tanda tanya sampai akhirnya tidak bisa dia tahan dan dia memilih untuk bertanya, "Kenapa?"
"Kalau saya memanggil Bapak dengan menggunakan nama Bapak, sama saja saya menyetarakan umur saya dengan umur Bapak." Peyvitta mengucapkan alasan yang dia miliki saat dia memanggil Bima dengan sebutan 'Bapak'.
Di sini Peyvitta lebih ke arah menghargai Bima, bahkan dari cara Peyvitta bertingkah, Peyvitta terlihat jauh lebih mengharagai Bima, dibandingkan dengan Santosa. Dirinya berucap sesuai dengan apa yang dia inginkan saat bersama dengan Santosa, bahkan Peyvitta sampai tidak sadar kalau apa yang dia ucapkan berhasil menyinggung perasaan Santosa.
"Terserah kamu, tapi jangan panggil saya dengan sebutan Bapak." Bima sama sekali tidak memedulikan alasan yang Peyvitta miliki, karena hal yang tengah berada dalam pikirannya adalah agar Peyvitta tidak terus-terusan memanggil dirinya dengan sebutan Bapak.
"Katanya terserah saya, tapi kenapa saya tetap tidak boleh memanggil Pak Bima dengan sebutan Bapak?" Dengan begitu enteng Peyvitta menanyakan hal ini, bahkan ekspresi yang Peyvitta pasang terlihat seperti orang yang sama sekali tidak merasa bersalah.
"Saya tidak suka akan hal itu," beber Bima yang merasa terganggu saat mendengar Peyvitta yang dengan enteng memanggilnya 'Bapak'. Bima mempunyai pikiran kalau telinganya akan cukup menerima jika Peyvitta memanggilnya dengan menggunakan namanya tanpa ada embel-embel depan Pak atau Bapak.
"Saya juga tidak suka kalau saya harus memanggil Bapak dengan hanya menyebut nama," jawab Peyvitta yang menyamakan kalimatnya dengan kalimat yang sudah Bima ucapkan tadi.
Dengan begitu serius, Bima menatap Peyvitta. Memperhatikan Peyvitta dengan tatapan yang dalam, sehingga mninggalkan sebuah kesan tanda tanya di dalam diri Peyvitta. Alasannya sebab Peyvitta kebingungan kenapa Bima menatapnya dengan tatapan yang seperti ini sekarang.
"Apakah wajah saya nampak seperti Bapak-bapak?"
Peyvitta menahan tawanya saat mendengar pertanyaan itu.
Tidak, Bima tidak nampak seperti Bapak-bapak, hanya saja Bima mempunyai jabatan yang tinggi di Kantornya, sehingga Bima bisa bersama dengan mereka yang sudah berumur, bahkan sekelas Papahnya Peyvitta saja memanggil Bima dengan sebutan 'Bapak'.
"Terserah Bapak, tapi saya tidak mau memanggil Bapak dengan nama saja." Peyvitta tidak peduli apakah Bima akan mengira kalau wajahnya sudah terlihat seperti Bapak-bapak atau tidak, karena dirinya tetap akan memanggilnya dengan sebutan 'Bapak'.
Ekspresi yang Bima pasang sekarang sudah mencerminkan orang yang sudah lelah dan juga frustrasi dengan keadaannya yang dia hadapi, karena memang Bima sudah kebingungan mencari cara agar Peyvitta mengubah cara panggilnya.
"Apakah saya harus memanggil anda dengan sebutan Ibu?" tanya Bima dengan nada yang begitu serius.
"Enak saja, saya masih muda, belum seperti Bapak!" ketus Peyvitta yang tidak terima saat Bima menanyakan apakah dirinya juga harus memanggil dirinya dengan sebutan 'Ibu'.
"Tidak ada Bapak yang bersama dengan adik atau Dede, kecuali mereka terlibat hubungan keluarga." Akhirnya Bima menjelaskan hal ini, karena memang Bima cukup terganggu dengan panggilan yang Peyvitta berikan.
Peyvitta tersenyum lebar dan kemudian menganggukkan kepalanya. "Nah udah tahu seperti itu, kenapa Bapak masih ingin bersama dengan saya?" Dengan begitu entengnya Peyvitta membalikkan kalimat yang membuat Bima terpojok di dalam kalimatnya.
"Apa perlu saya mengubah status kita langsung menjadi keluarga?" tanya Bima yang memojokkan Peyvitta balik.
Kalimat yang baru saja Bima ucapkan membuat Peyvitta membelalakkan matanya. "Gak! Gak mau!" tolak Peyvitta.
"Kalau seperti itu jangan panggil saya dengan sebutan Bapak lagi," putus Bima.
"Ok."
"Bagus." Akan cukup bagus kalau Peyvitta sudah menyetujui untuk tidak memanggilnya dengan sebutan itu.
"Saya akan manggil Bapak dengan sebutan Kakek," ujar Peyvitta sambil tersenyum dengan begitu lebar, menatap Bima sambil menaik turunkan alisnya.
Secara langsung Bima menatap Peyvitta dengan tatapan yang cukup tajam, memperhatikan Peyvitta secara terus-menerus.
Kening Peyvitta mengernyit bingung dan kemudian Peyvitta bertanya, "Ada yang salah dengan kalimat saya Kek?" Peyvitta tidak merasa kalau di dalam kalimat yang sudah dirinya ucapkan, ada sesuatu yang salah.
"Kenapa kamu memanggil saya dengan sebutan 'Kek'?"
"Bukankah tadi Kakek sendiri yang tidak mau jika saya memanggil Kakek dengan sebutan Bapak," jelas Peyvitta dengan begitu enteng sambil terus menunjukkan senyumannya seperti orang yang tidak berdosa.
"Semakin lama saya dengan kamu semakin cepat darah saya naik," kelas Bima sambil menatap Peyvitta malas.
"Gak papa dong, sapa tahu cepet naik ke langit?" tanya Peyvitta yang lagi-lagi tersenyum polos, menunjukkan eksresi muka yang tidak bersalah.
"Kamu nyumpahin saya cepat mati?"