webnovel

TINTA MERAH (PARANORMAL)

Melangkah tanpa bunyi, mengiris tanpa hati, berkelana tanpa kaki. Hidup Mora seakan terbuntuti oleh seseorang di balik kegelapan yang bersembunyi. *** Berhadapan dengan hantu secara langsung mengejutkan Mora hingga ke ubun-ubun. Entah dendam apa yang sedang dipendam dan darimana kemunculan mereka, hanya menyisakan pertanyaan buntu bagi seorang gadis penyuka komik seram. Berjalannya waktu, Mora semakin menyadari akan keberadaan iblis dan pada akhirnya dianggap gila oleh keluarga. Ia seakan dituntun pada jejak-jejak kasus misteri yang malah membunuh orang-orang terdekatnya. Hingga pertemuannya secara tak terduga dengan seorang pria misterius, membawanya pada penyelidikan berdarah penuh teka-teki tanpa memandang risiko, sampai menemukan jawaban akhir. *** "Hei, kau yakin melakukannya?" "Tidak ada keraguan untuk itu. Bagaimanapun, aku harus melakukannya." "Tidak! Itu berisiko!" "Benar, ini berisiko besar, bahkan bisa dibilang menghadang kematian. Tetapi, sudah tak ada jalan lain lagi. Ingat, percayalah bahwa kita harus mencari jawaban atas hantu ini."

MoonSilver22 · Seram
Peringkat tidak cukup
15 Chs

[2. Panggilan Misterius]

Baru saja menyelam ke alam mimpi, Mora terbangun akibat dering ponselnya terdengar begitu keras. Mulutnya menganga lebar ingin menguap—tampak seperti seekor dugong kelaparan—sembari mengucek mata keringnya dan membuka gorden kelabu.

"Mora! Cepat berkemas!" bentak Mikael dibalik garasi mobil. Mora memegangi daun telinganya yang terasa panas setelah mendengar bentakan sang ayah mengalahkan api menyala.

Emily memotong roti gandum berbentuk persegi, sesekali mengoleskan selai apel diatasnya. Tangannya terhenti ketika melihat Mora berjalan begitu cepat menuruni tangga dengan rambut acakan tak terikat layaknya seorang pemulung gadungan. Dengan kasar, gadis itu merebut sepotong roti dan menjejalkan di dalam mulutnya seraya berlari seperti mengejar waktu.

"Mora, tidak sarapan?" Marissa meminum secangkir teh sembari duduk manis menatap anak semata wayangnya.

"Tidak usah bu! Aku harus cepat!"

Hari ini, Mora cukup mengunyah sepotong roti tawar sebagai sarapan pagi. Tak perlu daging maupun makanan lemak lainnya. Karbohidrat? Tidak melulu nasi putih dan sejumput jagung. Ia sangat menantikan kedatangan daging-daging manis yang menghampiri mulutnya di sekolah.

Mikael menepuk kedua sarung tangannya yang berdebu setelah memotong sebuah pohon tua. Pria penggila mebel itu mengumpulkan sebagian potongan kayunya di dalam gudang beratap bambu. Kemudian menyalakan mesin mobil agar tak mogok selama perjalanan nanti. Mora berjalan penuh riang dan duduk disebelah kemudi mobil, sementara ayahnya sibuk mencari kunci.

"Ra, nanti siang ayah dan ibu akan pergi ke mall. Sepertinya Emily pulang lebih lambat hari ini." Jelas Mikael sembari meminum sebotol es kopi.

Mora mengangguk, "Itu saja?"

"Jangan lupa bersihkan rumah ya!"

"Ah, kalau ada tugas sekolah, boleh ditunda, Yah?"

"Tidak boleh, titik. Yang penting, rumah harus bersih tanpa debu sedikitpun. Berikan pewangi di kamar ayah ya!"

Jalanan sangat lengang, namun dibenak Mora tak pernah bisa berhenti berpikir banyak. Ia memang tahu, ayahnya itu mengutamakan kebersihan seolah-olah satu daun kering bisa sangat menganggu hidupnya. Mora hanya membalas dengan senyuman kecil dan tak ingin membantah untuk menghindari gertak sambal dari mulut Mikael.

~~~

"Anak-anak, bersiap untuk memasak?"

"Siap!"

Para siswa sibuk menyiapkan pisau dan kompor gas. Seonggok daging segar dan telur mentah siap diolah. Didampingi Pak Geol, guru senior ahli memasak yang memilih jalan hidup sebagai pengajar berupah kecil. Mereka kini berada di sebuah ladang peternakan yang hanya berjarak beberapa meter dari sekolah.

Tema hari ini yakni sapi. Hewan berlemak tinggi itu menjadi hidangan pokok yang istimewa. Mulai dari daging, susu dan telur mata sapi.

Mora tak bisa menahan air liurnya yang menetes jatuh. Terlebih, Julia asyik menggoreng daging sapi kemerahan itu dengan sangat hati-hati. Tangannya melambai ke arah Mora, mengisyaratkan untuk ikut memasak bersamanya.

Namun, gadis itu lebih memilih untuk memecahkan cangkang telur daripada menggoreng sebab ia trauma dengan makanan gosong. Mora sangat senang hari ini, meski harus berhadapan dengan puluhan ekor sapi yang sedang diperah untuk mendapatkan susu putih yang segar. Membayangkan dirinya menjadi petugas perah susu sapi, tentu langsung membawanya ke dalam mimpi buruk tak berujung. Sungguh, mengerikan.

"Siapa yang ingin memerah sapi?"

Mora terkejut mendengar suara itu sampai-sampai menjatuhkan sebuah telur yang kini membasahi sepatu hitamnya. Seluruh siswa mematung bak terkena lontaran semen cair.

"Hahaha, bapak hanya bercanda. Lagipula semua sapi sudah diperah."

Julia bernapas lega melihat guru itu mengoceh. Belum sempat menggerakkan tangan, ia berteriak sekencang mungkin ketika melihat daging di atas wajan menghitam. Mora tertawa kikuk. Pak Geol ikut tertawa dan tak menyadari seekor sapi bertanduk dua mendekat.

"Pak Geol, mengapa anda memilih setelan kemeja merah?" celetuk Mora pelan. Ia berusaha tak mengusik kedatangan sapi itu yang mungkin saja geram dengan hadirnya manusia serba merah.

"Ini warna kesukaan bapak. Kenapa? Tidak ada yang perlu ditakut—"

Terlambat, sapi itu menyeruduk guru berbadan kurus dan berlari diantara rerumputan menghijau. Para siswa tertawa melihat seseorang sedang menderita. Pak Geol terbangun seraya tersenyum simpul dan mengambil gelas bening.

"Bersulang! Mari kita makan!"

Setelah menikmati sarapan, Mora bergegas mengantar tumpukan surat entah apa isinya menuju ruang kepala sekolah. Melewati lalu-lalang siswa yang bergerombol ke kantin, membaca buku bahkan ada yang saling menjahili. Matanya memicing menatap seorang gadis berambut kusut terduduk di samping pintu kelas.

"Elvena?"

Gadis itu mengangguk cepat seraya menyunggingkan senyum. Siapapun yang melihat wajah tak bersuara itu tentu langsung terbujur kaku setelah melihat mayat. Terlebih, sejak menjadi murid pindahan dikelasnya, Mora diperlakukan sangat dingin. Bahkan, menatapnya saja beberapa detik pun tak pernah ia lakukan. Benar-benar menyebalkan.

"Bisa bantu aku, El?" tanya Mora dingin. Tanpa menyahut, Elvena merebut sebagian tumpukan kertas di lengan Mora dan membelakanginya.

"Ke ruang kepala sekolah, 'kan?"

"Ya!" jawab Mora getir.

Butuh sepuluh menit lagi bagi Mora untuk mencapai gagang pintu ruang Kepsek. Peluh keringat tak ia pedulikan, setelah menaiki berpuluh-puluh anak tangga tiada ujung. Demi melepas lelah, Mora mulai bergumam.

"El, kenapa kau tidak ikut memasak? Apa jangan-jangan kau hobi mengosongkan makanan? Hahaha, aku hanya bercanda," ucap Mora sedikit tertawa.

"Kau tahu? Pak Geol bertingkah bodoh saat sapi jantan dengan tanduk besi menyerangnya. Mungkin sekali-kali kau bisa bertingkah seperti guru memasak itu, El."

Lorong begitu sepinya hingga tak terdengar suara langkah kaki pun. Mora memutar ekor matanya ke atas, mendapati hal aneh. Pertanyaannya, Elvena tidak membalas ocehannya. Lalu, ia tak mendengar suara langkah kaki. Apa telinganya bermasalah kali ini?

"El, kau pasti tidak berca—"

Kosong. Tiada siapapun disitu. Pemikiran Mora benar adanya. Tubuhnya kini membeku, melihat apa yang sedang terjadi. Ini pasti mimpi, pikirnya. Sampai berapa kali pun ia mencubit pipi hasilnya tetaplah sama. Koridor kosong padahal jelas-jelas Elvena mengikutinya sejak tadi. Mora teringat saat ia bergumam sendirian layaknya orang gila. Tidak, ia belum ingin menjadi gila. Derap sepatu dari kejauhan menyadarkan lamunannya.

"Mora! Kau meninggalkan sebagian berkasnya!" pekik Julia dengan langkah tergopoh-gopoh.

Mora tersentak, "Dimana kau menemukannya?"

"Hah? Kau tidak ingat? Aku menemukannya disebelah pintu kelas kita."

Mora mencerna apa yang Julia katakan. Jika memang begitu, maka siapa Elvena tadi? Memikirkannya saja membuatnya takut.

"Ada apa? Mengapa melamun, Ra?"

"Elvena dimana?"

"Elvena? Kau tidak tahu? Dia tidak hadir hari ini sebab dalam kondisi berkabung."

"Begitukah?"

"Ya sudahlah, ayo masuk."

Ruangan Kepsek sangat sepi. Pigura-pigura emas dengan pajangan piala didalam lemari kaca menambahkan sederet kilauan emas yang gemerlapan. Sudah sepantasnya sekolah Junior high school menyandang predikat sekolah terbaik. Walau Mora tetap acuh terhadap benda berkilau itu yang dinilai terlalu berlebihan.

"Mora, sudah lama disini?" celetuk seorang wanita muda.

Mora menoleh seraya melempar senyum ke arah nyonya Zarra. Perempuan bertubuh kepal bak es dingin di musim salju itu lebih suka memanggil dirinya dengan sebutan 'nyonya'. Baginya, sekolah itu selain ruang pendidikan, juga ruang kerajaan pula. Tak heran, ia rela membeli koleksi patung kuda poni berlapis tembaga yang terbilang tak berguna sama sekali.

"Aku hanya ingin mengantar berkas ini, Bu," ucap Mora.

"Letakkan saja disitu. Kamu haus? Nyonya akan membuat teh oolong."

Mora menggeleng cepat. Angin berhembus memasuki jendela berkayu tua dengan kursi kecil kosong diterpa sinar sang mentari. Ia memandang sekeliling dan menatap kursi itu lagi. Jantungnya hampir tercopot lepas setelah sepersekian detik kemudian seorang wanita berambut ubanan terduduk diatas kursi itu.

Kelopak mata Mora tak dapat terpejam seperti terhantam es batu. Wanita itu memandanginya dengan senyum tersungging, seolah-olah mengejek. Berbeda halnya dengan matanya yang sembab seperti sehabis menangis berjam-jam. Oh, astaga! Mora betul-betul tak bisa menahan emosi tatkala selalu dikejutkan dengan penampakan ini-itu. Tanpa takut, ia mendekati wanita berambut keputihan itu dan sontak berhenti melihat sebilah pisau di tangannya.

Tunggu. Untuk apa ia memegang pisau? Memotong sayur? Di sana tak ada dapur kecuali penghangat air. Mulutnya mulai berkomat-komat mengucapkan sesuatu, namun Mora sama sekali tak mengerti. Pikiran buruk menghantui dirinya ketika wanita itu berdiri seraya berlari membawa pisau daging.

"Hei, lihat apa?" celetuk nyonya Zarra membuyarkan lamunannya.

Mora tersentak, "I... itu..."

"Apa? Itu hanya kursi kosong, Mora."

Merasa tidak nyaman, gadis itu meninggalkan ruang Kepsek dan berlari memasuki kelas. Ia mengurung diri disana dengan tangan melingkar di kepala seraya melihat jam dinding.

Bel pulang telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Mora mendesah lelah setelah meneguk segelas air dingin sembari memandang rumahnya. Begitu kotor sampai seekor cicak bersembunyi di antara laci dapur. Bahkan tokek yang ditakutinya sedang bersembunyi dibalik celah sofa dan menatap jahil ke arah jari tangannya.

"Waktunya bersih-bersih!"

Mora melenturkan tangan-tangannya seraya menyiapkan sapu dan alat kebersihan lainnya. Seperti biasa, ia akan bergidik jijik melihat bangkai tikus di loteng. Dilanjutkan ke empat kamar lainnya dan tak lupa menyemprotkan pewangi ruangan.

"Selesai!"

Ketika hendak meneguk segelas jeruk dingin, pintu gudang sedikit terbuka. Lantas, Mora meletakkan gelasnya dan membawa alat penyedot debu kedalamnya. Ia hampir melupakan satu tugasnya di gudang tua yang kotornya mengalahkan loteng.

"Aku tak sudi tidur disini." Batin Mora dalam hati. Ia memukul laba-laba kecil yang ingin melarikan diri dan membersihkan jaring-jaring pengganggu. Tak lama berselang, tumpukan barang-barang antik berserakan diatas lantai. Membuat Mora setiap kali menghela napas kasar.

Tiba-tiba saja, telepon rumah berdering keras. Mora menghentikan aksinya dan pergi mengambil gagang telepon. Entah, siang ini terasa sangat panas meski matahari sedang bersembunyi.

"Halo?"

" Aku tidak tenang ... dia sedang menggali ...."

"Halo?"

Mora sedikit asing dengan suara wanita di sambungan telepon itu. Seperti sedang merintih entah karena apa. Namun, ia tak ingin berpikir macam-macam.

"Kuburan."

"Apa?"

" Andai dia tidak merahasiakan tentangku!  Kau harus ...."

Sambungan telepon terputus diiringi bohlam lampu pecah. Tangan Mora menjadi sangat panas dan menahan napasnya yang terpacu kencang. Pintu rumah terbuka, memperlihatkan Emily yang datang dengan sekujur tubuh penuh keringat bercucuran.

"Ada apa Emily?!"

"Kak, kota kita mengalami pemadaman listrik dan sinyal. Sejak jam 12 siang, sekolah ku seperti ladang jeruk tanpa air. Di toserba pun, semua es krim meleleh cair."

"Sinyal? Tadi kakak menerima telepon. Kamu tidak bercanda 'kan, Emily?"

"Atau kakak yang berbohong? Lihat saja diluar." Ucap Emily ketus.

Panggilan telepon tadi mengagetkan Mora sepenuhnya. Suara itu seperti dari antah berantah. Mengalahkan ketakutannya dengan sapi yang diperah. Hal itu tak ada apa-apanya dibandingkan menerima telepon misterius yang menghantui.

_________________________________________

Maaf jarang up, author kena banyak tugas di bulan ini. Tiup-tiup dulu sambil menunggu kelanjutan ceritanya!

Kurang serem ya? Matiin lampu dan baca dibalik selimut. Hewhwe.

Jangan lupa tambahkan ke library kalian!