Fabian mengambil sebuah buku dari lemari kemudian membawanya ke ruang depan dimana si Bungsu dan Sony tengah membaca koran-koran lama.
''Pernah membaca buku ini?''
Si Bungsu menoleh. Melihat kulitnya saja dia tahu tak pernah mengenal buku itu sebelumnya. Dia menggeleng. Fabian mengambil tempat duduk di sisi si Bungsu.
''Buku ini pantas kau baca. Bahkan bukan hanya Anda saja, tetapi barangkali juga pantas dibaca oleh semua pimpinan negaramu..'' dia meletakan buku itu di meja.
Sebuah buku cukup tebal. Si Bungsu masih belum meraihnya. Namun dapat membaca judul dan pengarang buku tersebut. Buku itu karangan James Mossman, penulis asal Inggeris. Judul bukunya REBELS IN PARADISE (Indonesia's Civil War).
''Buku itu bercerita banyak sekali tentang negerimu, Bungsu. Tentang Indonesia, dan lebih khusus lagi tentang Minangkabau. Yaitu cerita tentang PRRI. Cerita tentang kenapa mereka memberontak dan kenapa mereka kalah..''
Fabian menceritakan isi buku itu sambil meneguk minuman kaleng yang diambil dari lemari es. Tak dapat tidak, si Bungsu jadi tertarik jadinya.
Dia memang tak mengerti sama sekali tentang politik. Dan dia tak mau ikut campur masalah itu. Dia seorang awam. Sekolahnya hanya sampai SMP. Kemudian terbengkalai.
Nasib telah menyeretnya ke dalam badai dan gelombang kehidupan yang tak kunjung menghempas ke pantai yang tentram. Nasib dan penderitaan jua yang telah menyeretnya sampai ke Jepang, ke Singapura dan Australia.
Dan nasib serta kebetulan otaknya sedikit encer saja, makanya dia dapat belajar bahasa Jepang dan Inggeris. Barangkali kedua bahasa itu tak dia kuasai sebagaimana tamatan perguruan tinggi, namun sekedar untuk hidup, dia memahami kedua bahasa tersebut.
''Buku ini tak boleh masuk ke negerimu, Bungsu. Saya tahu beberapa orang pimpinan politik dan wartawan yang menyelusup kemari. Mereka kasak kusuk mencari buku-buku atau majalah yang menulis tentang negerimu, tentang pimpinan-pimpinan negaramu. Aneh juga bukan, orang terpaksa pergi jauh-jauh dari rumahnya, bertanya kepada orang lain tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam rumahnya sendiri.
Itu pertanda, di dalam rumahnya dilarang berbicara tentang kebenaran. Begitulah negerimu kini, sobat. Kau bisa baca buku ini. Barangkali tak semuanya benar, namun kau dapat menjadikannya sebagai pembanding. Kau tahu tentang rumahmu, kemudian kau dengar orang bercerita tentang rumahmu itu, maka kau akan ketahui mana yang benar mana yang tak benar…"
Si Bungsu meraih buku itu. Buku itu dicetak buat pertama kali di tahun 1961. kulitnya berwarna merah putih dan hitam. Sudah cetakkan kedua. Di kulit luar itu ada gambar sepotong tangan yang seperti menggapai, ada bercak-bercak darah dan lingkaran yang tak mengerti dia apa maksudnya. Nampaknya kulit buku itu dirancang dengan selera setengah pop.
Warna hitam dan merah, selain ingin menggambarkan keseraman, juga ingin menimbulkan suasana misteri. Namun kesan tak menarik tak bisa disembunyikan dari ilustrasi itu. Kalau ada yang menarik barangkali adalah judulnya itu. Tentang pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Indonesia.
Lebih eksplisit, buku itu memang bercerita tentang PRRI. James Mossman melukiskan dalam bukunya itu saat-saat sebelum dan sesudah diproklamasikannya PRRI bulan februari 1958. Lalu diceritakannya juga tentang tentara APRI yang di pimpin oleh Kolonel Ahmad Yani ketika mendarat di padang.
Kemudian perkembangan berikutnya. Baik di Sumatera Barat maupun Indonesia pada umumnya. Si Bungsu membalik-balikan buku itu dan membacanya beberapa halaman. Dalam buku itu diterangkan bahwa James Mossman wawancara langsung dengan beberapa tokoh PRRI, dan dari sana dia menuliskan pandangan nya, antara lain:
1.Tokoh-tokoh PRRI ternyata menganggap rendah lawan-lawannya. Dalam hal ini adalah tentara pusat dan Soekarno. Sikap inilah yang kelak menyebabkan PRRI lebih cepat dikalahkan.
Dalam salah satu halaman, ada wawancara James Mossman sebagai berikut:
Suatu hari Dia bertanya kepada kolonel Simbolon:
"Bagaimana kolonel bisa menafsirkan kalau Soekarno tidak akan mengirimkan tentaranya untuk mendarat di Sumatera untuk menyerang anda disini?"
Simbolon yang posisinya adalah menteri Luar Negeri PRRI, cepat menjawab: "Soekarno tak punya keberanian untuk itu "
Dan Kolonel Dahlan Djambek di bukittinggi amat senada jawabannya dengan Simbolon ketika di tanya Mossman,katanya:
"Soekarno will never dare invade us here.(Soekarno tidak akan punya keberanian menyerang kami disini.)".
Padahal waktu itu semua orang tahu kalau APRI sudah menduduki Pekanbaru dan Rengat. Artinya untuk melangkah ke Sumatera Barat tinggal melangkahkan sebelah kaki saja dari dua tempat itu.
Lebih lanjut Mossman menuliskan"Kemudian ternyata tokoh-tokoh PRRI di buat amat kaget ketika mendengar Soekarno memerintahkan APRI menyerbu ke Padang. Ketika serangan itu dilakukan, Pasukan kolonel Ahmad yani mendarat di Tabing lewat Udara dan di pantai padang lewat kapal-kapal perang, ternyata tak sebutir peluru pun di tembakanPRRI sebagai perlawanan. Padahal yang mendarat dengan parasut di lapangan udara Tabing amat mudah ditembaki dari bawah. Selain itu yang mendarat di pantai Padang dengan mudah pula disapu. Karena pantai Padang memiliki benteng yang amat tangguh yang tegak dengan kukuh menghadap lautan.
Benteng itu dibuat oleh ahli-ahli perang Jepang untuk menghadapi Ekspansi sekutu di tahun 1943. Tapi benteng-benteng yang menghadap kelaut itu, yang bakal tak mampu di tembus oleh peluru meriam kapal-kapal perang APRI, betapun besarnya meriam kapal tersebut tak pernah di pergunakan PRRI karena tidak adanya koordinasi.
James Mossman menuliskan itu karena dia berada di Padang tatkala tentara Ahmad yani melakukan pendaratan.
2.Tokoh-tokoh PRRI bersikeras bahwa akhirnya merekalah yang akan menang. mereka bersikeras karena berkeyakinan kalau Soekarno adalah pihak yang salah, mereka di pihak yang benar. Padahal peperangan bukan hanya masalah siapa yang salah atau pun benar, tetapi juga meliputi juga masalah persenjataan, taktik dan strategi!
Banyak contoh bahwa yang benar diluluh lantakkan oleh yang salah, hanya karena yang benar itu tak menjalankan otaknya, sementara yang salah itu pintar orang nya. MR. Syafrudin Prawiranegara, Perdana Menteri PRRI yang di tanya Mossman di Padang panjang tentang bagaimana perasaannya mengenai pasukan lawan yang saat itu mengepung Sumatera tengah, menjawab:
"Mereka(APRI) tak dapat berbuat untuk menyakiti kami. Tuhan berada di pihak kami. God is our side.." dan tak lama setelah jawabannya ini (selang beberapa bulan) Syafrudin ternyata menyerah, yaitu pada 28 agustus 1961 di Padangsidempuan.
Kemudian Mossman mewancarai Kolonel Ahmad Yani. selaku komandan Operasi 17 Agustus di Padang."Apakah anda heran tidak ada perlawanan sama sekali dari PPRI?"
Yani menjawab "Tidak begitu heran , Orang-orang Minang ini anda tahu, mereka dihatinya adalah tukang-tukang Kumango. Mereka adalah pedagang kaki lima(shop-keepers). Mereka bercakap terlalu banyak untuk menjadi prajurit yang baik…"
Di halaman lain, si Bungsu membaca tulisan Mossman sebagai berikut: "Sejak hari-hari pertama perang saudara itu, Mossman mempunyai kesan yang pelik. Adapun Simbolon dan pemimpin militer yang lain, pendiri-pendiri sesungguhnya dari gerakan otonomi Sumatera Tengah, tidak pernah mengharapkan akan harus berkelahi sama sekali untuk kepercayaan-kepercayaan mereka. Mereka mengira akhirnya akan berunding di meja konferensi dengan Soekarno. Menurut Mossman pula, pasti Syafruddin tak pernah mengira akan terjadi segalanya itu. Yakni PRRI akan diserang dengan kekuatan tentara oleh Jakarta.
Sampai saat-saat akhir, dia percaya pada bantuan pasukan dan sekutu-sekutunya, prajurit-prajurit, politisi dan dunia barat. Kekalahan tak masuk akal baginya, karena dia percaya perjuangannya adalah benar. Ketika dilihatnya prajurit-prajurit PRRI tak mampu menghadapi serangan udara dan tak punya keinginan untuk menewaskan sesama orang Indonesia, atau dibunuh oleh mereka dalam suatu pertarungan untuk mana mereka tidak begitu aktif perasaan simpati mereka, maka dia jauh lebih terkejut daripada perwira-perwira yang mengangkatnya ke atas jabatan pemberontaknya.
Itulah tulisan Mossman tentang Syafruddin Prawiranegara.
Selanjutnya, wartawan Inggeris itu mencerca Syafruddin dengan pedas. Dalam bukunya itu dia menulis: ''Syafruddin seorang kerani, bernafsu, picik. Ia adalah kerani bank yang akhirnya lepas lalang dan merampok bank.''
Tapi Mossman tak pernah menjelaskan kebenaran tuduhan pedasnya, Bank mana saja yang dirampok oleh Syafruddin.
Di halaman lain, si Bungsu membaca tentang PRRI itu sebagai berikut: ''Tokoh-tokoh PRRI tampaknya sangat mengandalkan bantuanBarat. Sebab PRRI berjuang antara lain untuk menghancurkan komunis di Indonesia. Namun ketika bantuan itu tak kunjung datang, atau kalaupun datang tapi tak menentu dan dalam jumlah yang nyaris tak ada arti untuk mempersenjatai beberapa resimen, sementara tentara APRI telah mendesak terus, mereka tak dapat berbuat lain, kecuali menyumpah dan amat kecewa."
Dalam suatu wawancara antara Mossman dengan Simbolon di Mess Perwira Padangpanjang pada 15 April 1958 (Saat itu APRI telah maju cukup banyak) dia berkata:
''Kami memerlukan pesawat-pesawat pemburu. Hanya dua atau tiga pemburu jet. Satu malah dengan penerbang yang baik. Yang akan menghasilkan tipu muslihat. Kami akan mampu menahan majunya pasukan Nasution. Mengapa Barat tak melihat hal ini? Mengapa mereka tak mempunyai cukup kepercayaan buat mengirimkan beberapa pesawat pemburu, yang buruk sekalipun? Tak lama lagi, jika bantuan itu datang juga, keadaan sudah akan terlalu terlambat''. Itu ucapan Simbolon.
Dalam buku itu juga Mossman memperjelas siapa yang dimaksud oleh tokoh-tokoh PRRI itu dengan "teman barat" itu.
Mossman menunjukan peranan Central Intelligence (CIA) dari Amerika dalam kemelut perang saudara itu. Sebelum pecah perang saudara, beberapa tokoh PRRI bertemu dengan agen-agen CIA di Sumatera, dan di lain-lain tempat. Hanya dia tak merinci tempat-tempat pertemuan itu. Tak menyebutkan kota dan tempat serta waktunya.
Kemudian menurut Mossman, salah satu sebab kenapa PRRI berantakan dari dalam ialah karena diproklamirkannya Republik Persatuan Indonesia (PRRI) di Bonjol tanggal 7 Februari 1960. Republik ini merupakan gabungan antara PRRI dengna pasukan Darul Islam (DI) di Aceh dan Sulawesi Selatan.
Adapun DI yang fanatik Islam amat tak berkenan di hati orang Permesta yang beragama Kristen seperi Vence Sumual, Alex Kawilarang, Simbolon dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Proklamasi PRRI itu adalah awal dari perpecahan di kubu PRRI dan Permesta. Pemberontakan itu dianggap selesai sejak Presiden Soekarno memberikan amnesti dan abolisi secara umum terhitung 5 Oktober 1961.
Si Bungsu meletakkan buku tebal itu di meja. Menatap pada kedua temannya bekas tentara Baret Hijau itu.''Buku itu tak ada di Indonesia bukan?'' tanya Fabian.
Si Bungsu menatap buku tersebut. Dia menggeleng.
''Saya tak tahu. Saya tak berminat pada masalah-masalah begini di sana. Saya bukan politisi, bukan militer, bukan cerdik pandai. Saya tak tahu buku mana yang boleh beredar dan mana yang tidak di negeri saya itu.
Lagipula, saya bukan orang terdidik yang menyukai buku,'' ujarnya jujur tentang dirinya.
''Buku itu memang dilarang di negerimu, Bungsu. Sebab, meskipun sebahagian besar bicara tentang kelemahan PRRI, dia juga bicara tentang kelemahan dan kesalahan yang dibuat oleh Presidenmu, oleh para menteri dan pemimpin negeri kalian yang goblok, serakah dan pengecut!''
Si Bungsu menatap wajah temannya itu. Mukanya jadi merah. Betapapun juga, rasa nasionalismenya jadi tersinggung. Dia tahu, tak semua pimpinan di negerinya sejelek yang diucapkan Fabian. Tapi bekas kapten tentara Baret Hijau ini memaki mereka sama rata. Fabian segera menyadari jalan pikiran temannya itu.
''Sorry, kawan. Saya memang agak emosi. Soalnya negerimu itu amat condong ke komunis. Sebahagian besar rakyat kalian kini menjerit kelaparan. Sementara segelintir orang-orang berkuasa, atau yang dekat dengan penguasa, hidup mewah''
Si Bungsu masih tetap diam dan masih menatap Fabian. Fabian bicara lagi.
''Negerimu itu sesungguhnya negeri yang amat kaya, kawan. Di sana, matahari bersinar sepanjang zaman. Negerimu negeri yang amat sangat dilimpahi Rahmat Tuhan. Apapun yang kalian tanam di sana hidup dan tumbuh dengan subur. Untuk kemudian menghasilkan panen yang melimpah.
Di sana tak ada musim gugur, tak ada musim salju yang memunahkan seluruh jenis tetumbuhan. Tidak, negerimu panen bisa berlangsung sepanjang zaman.
Tapi kenapa rakyatmu melarat? Kenapa kelaparan? Apa yang tak ada di sana? Sebutlah: emas, perak, minyak, batubara, timah, tembaga, lada, pala, beras, pisang dan seribu macam sayur mayur. Apalagi yang kalian butuhkan? Tapi rakyat kalian tak bisa turun ke sawah, ke ladang dengan aman, sebab banyak teror dan intimidasi politik.