webnovel

The wound in my heart

Nayla seorang ibu rumah tangga mempunyai anak tiga. Sering mendapat perlakuan kasar dari Beni suaminya. Keluarga Nayla pun tak pernah di hargainya. Hingga suatu hari Ibu Nayla jatuh sakit terserang strok, sikap kasar suaminya semakin menjadi-jadi bahkan sanggup mengusir Ibu dan adiknya dari rumah yang mereka tempati. Tiga tahun kemudian Ibu Nayla meninggal dunia. Sungguh hancur hatinya menghadapi kenyataan ini. Akan tetapi sikap suaminya tidak berubah, bahkan tega berselingkuh dengan mantan pacarnya dulu. Akibat luka hati yang begitu dalam, Nayla pun pergi meninggalkan Beni, dengan membawa ketiga anaknya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Ikuti terus ya pembaca setia, hanya di aplikasi WebNovel. Ikuti juga ceritaku yang lainnya, 1. Choise Lover 2. It's my dream

Novita_Adha · perkotaan
Peringkat tidak cukup
268 Chs

Suara tangis bayi

Bab 16.

Aku bereskan semua barang yang akan di bawa. Agak banyak sih, karena belum tau kapan pulangnya.

"Nay ... rencananya berapa lama berlibur di rumah Bapak?" tanya Bang Ben berulang kali.

"Belum tau, lagian anak-anak masih lama masuk sekolahnya," jawabku.

"Begini aja, setelah dua hari di sana, aku pulang aja duluan. Aku buka bengkel seperti biasa. Takut pelanggan lari ke bengkel sebrang," usulnya.

"Terserah aja," ucapku sekenanya.

"Nanti, kalau liburannya udah puas, pulangnya biar aku jemput lagi. Bagaimana, setuju gak?"

"Ya ... sudah!"

Aku pun melirik ke jam dinding, sebentar lagi kami akan berangkat ke terminal bus travel. Kami pun sudah selesai sarapan. Piring kotor segera ku cuci, dapur segera ku bersihkan. Semua isi rumah di periksa, lampu kamar di matikan. Tersisa yang hidup hanya lampu teras dan ruang tamu. Tivi, kulkas dan kompor, listrik sudah di padamkan sedangkan tabung gas, kabelnya sudah di cabut.

Setelah beres semua, kami pun memesan taksi online. Setengah jam kemudian, sampai lah di terminal. Setelah mengecek tiket, dapat tempat duduk di bagian depan. Barang di masukkan ke bagasi mobil. Kami langsung naik, dan bus pun segera berangkat menuju luar kota. Semoga selamat sampai tujuan, doaku di hati.

Sepanjang perjalanan, anak-anak tak rewel, mereka duduk manis. Malah aku yang sedikit pusing, karena ac mobil tepat di atas kepalaku. Melihat wajah ini sedikit pucat, Bang Ben langsung faham. Ia lalu memutar ac ke arah lain. Untung lah aku selalu sedia minyak angin, lalu ku oles ke hidung, dan perut. Serta meminum obat tolak angin. Lumayan lah, mulai berkurang pusing ini.

Setelah tiga jam, bus berhenti untuk makan siang. Kami pun turun untuk memesan makanan. Setelah itu aku dan Sinta, mencari musala di dekat rumah makan, untuk menunaikan salat zuhur. Sedangkan Bang Ben menjaga Raka dan Nina. Andai Bang Ben tak ikut dengan kami, mungkin aku kerepotan. Pasti itu juga yang di pikirkannya. Tetapi hendak bagaimana lagi, aku sangat kecewa dengan kelakuannya. Sekarang rasanya ingin menjauh dari dia. Ingin meyendiri merenungi, atas semua yang telah terjadi.

******

  Enam jam telah berlalu, akhirnya kami pun sampai di rumah Bapak. Alangkah senang hatinya melihat kedatangan anak, menantu dan cucunya. Sudah tiga tahun, aku tak pernah berkunjung, tak berkabar pada beliau. Karena aku takut menganggu keluarga Bapak di sini. Iya, sejak berpisah dari Ibu, beliau menikah lagi dan punya anak. Walau bagaimana pun tak ada bekas anak dan bekas ayah. Sudah seharusnya silaturahmi ini tetap terjaga, aku menasihati diriku sendiri.

Aku di bawa ke kamar tamu, kamar yang selalu ku tempati dulu, setiap datang ke sini. Barang bawaan ku masukkan ke kamar dan di susun rapi. Tak lupa aku keluarkan oleh-oleh kuliner, ciri khas kota ku. Bapak sangat suka dengan bolu yang ku bawa. Ini tahan tiga hari, kalau tak habis bisa simpan ke kulkas. Ibu tiri ku, orang nya ramah dan baik. Tapi aku merasa canggung, karena jarang bersilaturahmi dengannya. Bapak tahu kondisi itu, dan ia pun mencairkan suasana, dengan mengajak bicara suami dan anak-anakku.

Kami pun saling menanyakan kabar, dan perkembangan di sini. Kegiatan Bapak sekarang ini, banyak di habiskan di masjid dan pesantren. Beliau menjadi imam masjid dan guru di pesantren. Bang Ben paling pandai mencairkan suasana, sekejab saja canggung ini menghilang. Anak-anak pun sudah tampak santai, sambil menonton tivi. Saudara tiriku juga ramah, mereka duduk bergabung dengan kami. Senang rasanya, seketika pikiran kalut pun menguap dan menghilang.

******

 Menjelang Magrib, kami pun membersihkan diri. Selanjutnya salat berjamaah di masjid dekat rumah Bapak. Syahdu terasa saat berada di masjid ini. Aku yang selalu sibuk mengurus anak, paling ke masjid saat bulan Ramadan untuk tarawih  dan salat hari raya saja. Maklum lah masjid jauh dari rumah kami. Melihat Bang Ben khusuk berdoa, hati ini rasa tak percaya. Mengapa ia sanggup berbuat curang terhadapku. Aku selalu melayani kebutuhannya dengan baik.

Apa yang sudah terjadi, itu sudah jalanNya, aku berusaha ikhlas untuk menerimanya. Sering terpikir, suatu saat nanti akan ku balas semua. Yang paling membuatku sakit hati itu, karena mulut kasarnya. Ucapan yang keluar itu, sangat melukai dan membekas hingga sekarang. Sering aku menangis dalam hati, tanpa di duga ia sudah kualat lebih dulu, tanpa harus terucap dari mulut ini. Allah maha tau dan mendengar, doa orang tersakiti langsung terkabul.

Selesai makan malam, kami pun berkumpul kembali di ruang keluarga bersama Bapak. Beliau mungkin punya firasat, kalau rumah tangga kami ini, sedang tidak baik-baik saja. Ia lebih banyak menasihati Bang Ben, dan aku sesekali ikut berbicara. Sedangkan anak-anak bermain di teras. Rencananya Bapak hendak mengajak kami piknik, berenang di pantai pasir putih. Lokasinya sangat indah, begitulah kata Bapak. Aku setuju saja, memang niat ke sini untuk menyegarkan pikiran.

Hingga larut malam, Bapak dan Bang Ben masih asikk bicara di ruang tamu. Mataku sudah tak tahan lagi, lalu segera masuk ke kamar tamu. Sedangkan Sinta tidur di kamar sebelah, ada anak Bapak yang sudah kawin, punya satu anak yang masih bayi. Tapi suaminya tak ada ku lihat dirumah ini, jadi Sinta tidur dengannya.

Jelang tengah malam, tak ada lagi ku dengar suara mereka berbicara, aku bangun dari tempat tidur lalu melihat ke ruang tamu. Ternyata mereka sudah tertidur, dengan posisi tivi masih menyala. Langsung saja ku matikan tombol tivinya. Terdengar dengkuran halus dari tidur Bang Ben. Ia pasti kelelahan setelah seharian di perjalanan bersamaku.

Aku berjalan menuju dapur, niatnya hendak buang air kecil. Tapi lampu kamar mandinya mati. Karena sudah tersesak, langsung saja ku beranikan diri masuk ke kamar mandi tersebut. Dugg ... aku menabrak bak mandi, dan jatuh terduduk. Sejurus kemudian seperti ada tangan yang membantuku untuk berdiri. Niat buang air kecil ku lanjutkan sampai selesai. Lalu mencuci muka.

Begitu keluar dari kamar mandi, aku baru tersadar, tangan siapa yang memegangku

tadi. Ketika melewati dapur, ada kursi dan meja makan. Nampak seperti orang sedang duduk makan di meja tersebut. Mataku masih setengah mengantuk saat melihat itu. Sambil bergidik ngeri, lekas ku ayunkan kaki menuju kamar tamu, tempat aku dan anak-anak tidur.

Sampai di kamar, aku langsung menutup tubuh ini dengan selimut. Tangan dan kaki mendadak dingin serta menggigil. Harusnya tadi, aku bangunkan saja Bang Ben untuk menemani ke kamar mandi. Tapi itu tidak ku lakukan karena malas mengganggunya. Mata ini sulit terpejam, walau sudah membaca doa.

Tiba-tiba terdengar suara anak bayi sedang merengek. Tapi suaranya berasal dari luar jendela kamar ini. Setau aku anak bayi itu ada di kamar sebelah, sedang tidur bersama Sinta dan ibunya. Duh ... aku semakin ketakutan, padahal di rumah ini ramai orangnya. Kok aku merasa sendiri di tengah malam begini.

Ku tarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh.

Sepertinya cuma aku yang mendengar suara rengekan itu. Tubuh yang tadinya menggigil berubah jadi berkeringat, kepanasan di bawah selimut. Besok pagi akan ku tanyakan pada Bapak, semua keanehan yang ku alami ini. Sambil terus membaca doa di dalam hati, akhirnya aku pun tertidur kelelahan.

Bersambung ....