webnovel

The wound in my heart

Nayla seorang ibu rumah tangga mempunyai anak tiga. Sering mendapat perlakuan kasar dari Beni suaminya. Keluarga Nayla pun tak pernah di hargainya. Hingga suatu hari Ibu Nayla jatuh sakit terserang strok, sikap kasar suaminya semakin menjadi-jadi bahkan sanggup mengusir Ibu dan adiknya dari rumah yang mereka tempati. Tiga tahun kemudian Ibu Nayla meninggal dunia. Sungguh hancur hatinya menghadapi kenyataan ini. Akan tetapi sikap suaminya tidak berubah, bahkan tega berselingkuh dengan mantan pacarnya dulu. Akibat luka hati yang begitu dalam, Nayla pun pergi meninggalkan Beni, dengan membawa ketiga anaknya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Ikuti terus ya pembaca setia, hanya di aplikasi WebNovel. Ikuti juga ceritaku yang lainnya, 1. Choise Lover 2. It's my dream

Novita_Adha · perkotaan
Peringkat tidak cukup
268 Chs

Rezeki tak di duga

Bab 29.

Melihat aku ada di dapur, Sinta mengerutkan dahinya dengan wajah bingung ia bertanya.

"Bu ... kok cepat sekali mengantar Raka dan Nina?" tanya Sinta.

"Ayahmu yang mengantar mereka ke sekolah!" jawabku.

"Tapi di ruang tamu ada Uwak Hery, kok di tinggal pergi?"

"Gak papa, sebentar saja kok, kan sekolah adikmu dekat dari sini."

"Kebetulan Uwak Hery tugasnya masuk malam, jadi bisa lebih santai waktunya," jelasku.

"Oh-begitu, Sinta lanjut belajar ya, Bu!"

"Iya, Ibu juga mau lanjut ke dapur."

******

Tak lama terdengar suara sepeda motor Bang Ben, masuk ke halaman rumah. Kak Eli menyusulku ke dapur. Ia duduk di kursi meja makan sambil berkata.

"Hmm ... pusing Kakak mikirin masalah Bang Sanif ini!"

"Jadi bagaimana solusinya, Kak?" tanyaku.

"Solusinya, kalau bisa bayar uang damai, kasusnya selesai."

"Tadi Bang Sanif dapat telfon dari temannya. Ia bilang, polisi yang nangkap mereka, minta uang damai dengan jumlah banyak. Gilak gak tuh!"

"Dapat uang dari mana, coba? Sedang Bang Sanif aja, jarang masuk kantor, karena sepi job." Kak Eli bercerita, sambil mengomel panjang lebar.

"Oh, seperti itu ya, Kak," sahutku.

"Terus Bang Hery tadi, berjanji akan membantu menyelesaikan kasus ini. Tapi ia ingin jumpa dulu, dengan teman Bang Sanif itu. Ingin tau kejelasan kasusnya." jelas Kak Eli.

"Syukurlah Bang Hery punya waktu, kalau tidak ada dia, entah bagaimana jadinya,"

sahutku.

"Rencananya, besok Bang Sanif pulang kampung. Berangkat tengah malam, naik bus travel."

"Loh, kok gitu, Kak?" tanyaku bingung.

"Ia mau pinjam duit sama orangtuanya, untuk selesaikan kasus ini. Tapi pinjam uang harus ada jaminan nya, gitu kata mereka."

"Oalah, kan yang pinjam uang, anaknya sendiri, Kak?"

"Kalau soal uang, itu masalah yang sensitif, mana ada istilah keluarga!"

Kata Kak Eli.

"Jadi, apa jaminan yang Kakak beri ke mereka?" tanyaku.

"Mobil yang di rumah lah, itu harta yang lumayan harganya, selain rumah yang kami tempati," ucapnya.

Selama ini Kak Eli juga bekerja, ia bergabung di mitra usaha kredit barang elektronik. Ia menjalankan bisnisnya melalui online. Tugasnya mencari konsumen, secara langsung atau lewat media sosial. Ia mendapatkan lima persen dari total harga barang yang di jualnya. Jika mendapatkan konsumen, temannya yang bagian kantor, yang mengurus semua proses jual belinya. Kak Eli hanya menunggu gaji dari kantor tersebut dengan cara di transfer.

Sekarang aku pun ikut bergabung di kantor mitra usaha tersebut, tanpa harus masuk kantor sama sekali. Kak Eli memang wanita yang tangguh. Ia rela bekerja keras, demi membiayai pendidikan anaknya, yang berjumlah empat orang.

Sedangkan Bang Sanif, suaminya itu seorang wartawan, penghasilannya sering tak menentu. Ia lebih sering keluar, untuk nongkrong bersama teman sesama wartawannya. Ujung-ujungnya, selalu pulang membawa masalah. Seperti sekarang ini, Kak Eli di buat menangis, sambil bercerita padaku.

******

Menjelang tengah hari, Bang Hery dan Kak Eli pun berpamitan untuk pergi ke kantor polisi. Tinggal lah Bang Sanif dan Bang Ben yang masih duduk di ruang tamu. Bang Ben langsung bersiap untuk pergi bekerja.

Sedangkan Bang Sanif, rencananya akan di jemput oleh Bang Hery untuk pergi bersama ke kantor polisi. Ia pergi lebih dahulu ke sana, untuk memastikan situasi aman atau tidak. Aku hanya tertegun melihat situasi ini. Semua orang jadi repot di buat ipar ini.

Bang Ben sudah pergi bekerja, sekarang tugas aku yang menjemput Raka dan Nina. Untungnya sekolah mereka dekat, hanya lima belas menit dari rumah. Sedangkan Sinta baru selesai belajar online. Ia ingin ikut bersamaku untuk menjemput adiknya. Ketika hendak keluar rumah, ku lihat Bang Sanif sedang rebahan di kursi tamu. Hmm ... enak sekali jadi suami. Istrinya repot mengurus masalahnya, ehhh, dia asik tiduran sambil main hape.

Sinta yang menyapanya, memberitahu kalau kami hendak keluar rumah, untuk menjemput adiknya. Ia menitip selembar uang ke Sinta, untuk minta di belikan rokoknya. Kami pun berlalu dari hadapannya.

Tak lupa ku bawa beberapa lembar brosur, yang berisikan produk elektronik yang di berikan Kak Eli tadi. Biasanya sebelum pulang sekolah, banyak ibu-ibu yang sedang menunggu anaknya. Kesempatan itu tak ku sia-siakan, saatnya aku membagi brosur ini dan menjelaskan produk apa yang sedang aku promokan.

"Hmm ... jiwa emak-emaknya mulai bergejolak," ledek Sinta, saat melihatku mulai ngerumpi dengan ibu-ibu di sekolah.

"Hee ... heee, biasalahhh," jawabku.

"Oh-ya, lihat adik ya Sin, kalau sudah pulang, kamu datangi. Entar mereka celingukan mencari kita," pesanku.

"Iya, Bu!" Sinta berjalan ke arah kelas adiknya.

*******

Aku melanjutkan obrolan yang tertunda dengan ibu-ibu tadi. Dengan sabar ku jelaskan harga dan kelebihan dari produk yang ku jual. Ada seorang ibu berbicara kepadaku.

"Si Nayla ini, semua produk di jualnya. Mulai dari kosmetik hingga barang elektronik," ucapnya.

"Iya, Bu. Namanya usaha, bisnis online kecil-kecilan, untuk tambah jajan anak di rumah," jawabku sambil tersenyum.

"Iya-lah, hari gini tak perlu malu mencari uang. Manfaatkan media sosial untuk bisnis. Yang penting halal dan tak menyusahkan orang lain," imbuh si ibu.

"Oh-iya, Nay ... saya tertarik dengan mesin cuci yang di brosur itu. Saya pilih angsurannya selama setahun aja, tanpa depe, bisakan?" tanya si ibu.

"Bisa, Bu. Yang ini ukurannya satu tabung, isinya untuk sepuluh kilo pakaian. Soal warna, di sesuaikan stok yang ada di toko, ya, Bu," jelasku panjang lebar.

"Soal pembayarannya, bagaimana?"

"Begitu produk sampai di rumah, di periksa dulu kondisinya. Setelah beres semua, langsung bayar angsuran pertamanya, ya, Bu!"

"Ya-sudah, besok Ibu bawa syaratnya ya! Lampirkan foto kopi KTP dan Kartu Keluarga di brosur ini, lalu serahkan ke saya, biar cepat di proses," pintaku.

"Oke, lah. Sampai jumpa besok, ya!

Anak kita sudah ke luar dari kelas, tuh."

Kebetulan anaknya sekelas dengan si bungsu Nina. Jadi tak payah bagiku untuk menemuinya.

"Ibuuuu ...!" Seru Raka dan Nina saat melihat aku.

"Kak, kami mau jajan es krim itu!" pinta mereka ke Sinta.

"Nah, ini duitnya! Kita tunggu di sini saja, biar kak Sinta yang membelikannya."

"Asiiikkkkk ... makan es krimmm!" seru mereka sambil tertawa.

"Makan es krimnya, di rumah aja, ya! Entar baju sekolah kalian kotor, kena lelehan esnya."

Mereka mengganggukan kepala secara bersamaan. Tak lama Sinta membawa tiga mangkuk es krim di dalam plastik. Kami pun bergegas pulang rumah.

Dalam hati aku bersyukur sekali. Alhamdulillah ... hari ini dapat rezeki dari orangtua siswa. Padahal Bang Ben, sudah tiga hari tak membuka bengkel, karena sakit. Belum lagi iparku datang, dengan membawa masalah. Di balik kesulitan pasti ada kemudahan yang di berikan Allah.

Bersambung ....