webnovel

The wound in my heart

Nayla seorang ibu rumah tangga mempunyai anak tiga. Sering mendapat perlakuan kasar dari Beni suaminya. Keluarga Nayla pun tak pernah di hargainya. Hingga suatu hari Ibu Nayla jatuh sakit terserang strok, sikap kasar suaminya semakin menjadi-jadi bahkan sanggup mengusir Ibu dan adiknya dari rumah yang mereka tempati. Tiga tahun kemudian Ibu Nayla meninggal dunia. Sungguh hancur hatinya menghadapi kenyataan ini. Akan tetapi sikap suaminya tidak berubah, bahkan tega berselingkuh dengan mantan pacarnya dulu. Akibat luka hati yang begitu dalam, Nayla pun pergi meninggalkan Beni, dengan membawa ketiga anaknya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Ikuti terus ya pembaca setia, hanya di aplikasi WebNovel. Ikuti juga ceritaku yang lainnya, 1. Choise Lover 2. It's my dream

Novita_Adha · perkotaan
Peringkat tidak cukup
268 Chs

Bingkisan untuk Ibu angkat

Bab 11.

Tak lama ibunya Rani berpamitan pada kami, untuk menuju pondok terapung itu. Sedangkan Rani berjalan mengekor di belakangnya, sambil memegang kamera fotografer. Ia berhenti tak jauh dari tempat kami berenang. Membidikkan kameranya sambil berselfi dengan mengambil latar belakang danau yang biru. Tiba-tiba kakinya tersandung, dan jatuh sepertinya sengaja mencari perhatian. Bang Ben melihat sekilas ke arahnya, lalu memalingkan pandangan ke anak-anak lagi.

"Ayah berenang dong, asiiik loo," ajak Raka sambil mencipratkan air ke wajah ayahnya.

"Kasihan Sinta, Bang, kewalahan mengawasi adiknya. Lihat tuh, gak mau di pegang sama kakaknya," ucapku sambil tersenyum geli.

"Namanya anak kecil, kan sukanya main air," sahutnya.

"Lihat ke sini ya, biar Ibu foto!" ucapku. Lalu mengarahkan kamera hape ke mereka.

"Tergoda juga nih, ikut main air yuk!" ajak Bang Ben ke aku.

"Oh, okeee ... siapa takutttt," jawabku sambil meletakkan hape di dekat handuk. Bang Ben melepaskan bajunya,  lalu menggendongku nyemplung ke air.

Byuuurrrr ....

"Yee-yeee ... Ayah, Ibu, ikut berenang!"

Teriak anak-anak. Serasa kolam sendiri aja, batinku.

"Sini, Raka, berenang sama Ayah!" Bang Ben merentangkan tangannya. Raka pun kesenangan naik ke atas punggung ayahnya.

"Adekkk ... lihat nih, kakak mau nyelam!"

Seru Sinta ke Raka dan Nina.

"Wihhh ... kakak hebattt," jerit mereka.

"Aihh ... senangnya, bisa lihat mereka bahagia, pikirku.

Dari kejauhan, ku lihat Rani kembali berjalan ke arah kami, sambil memegang kamera.

"Lihat sini, biar Tante fotokan!" Rani mulai membidik kameranya.

"Nah ... sekarang foto sekeluarga ya! Merapat ke sini," ucapnya lagi.

"Foto in kami berdua ya, Ran!" pinta Bang Ben.

Bang Ben langsung meraih lengan ku, dan mendudukkan aku di pangkuannya. Hmm ... sepertinya Bang Ben sengaja, hendak pamer kemesraan di depan Rani. Aku sih senang-senang aja. Lagian suami sendiri juga. Rani pun menunjukkan hasil bidikan kameranya.

"Wihh ... so suit bener, foto kita dan anak-anak ya," seru Bang Ben.

"Entar di cetak fotonya ya, Ran!"

Rani mengangguk, kemudian berlalu menuju pondok terapung yang mereka duduki sejak tadi. Aku mulai memantau gerak-geriknya. Karena dari awal, suka sekali cari perhatian Bang Ben. Tapi ada hikmahnya juga. Bang Ben tak pernah menyebut kata "kau" lagi padaku, tapi di gantinya dengan kata "kamu" agar terlihat lembut tutur katanya. Seperti biasa yang di lakukannya ketika bicara dengan cewek di telfon.

Dari jauh kelihatan kalau Rani masih curi pandang. Mungkin merasa iri melihat kebahagian keluarga kami. Sorak sorai anakku menambah kehangatan pagi. Padahal si Rani itu bawa keluarga juga, tetapi tak ada kekompakkan. Sibuk dengan urusan sendiri. Mereka duduk bersama, tapi saling diam memegang hape. Ibunya yang banyak bicara, sedang mereka menjawab sekenanya saja.

******

Tak terasa dua jam berlalu, udara pun mulai hangat. Kami pun menyudahi berenang nya. Di pinggir kolam di sedia kan air pancur, anak-anak langsung menyambung mandinya dengan air tersebut. Aku ambil sampo dan sabun, biarin mereka mandi sepuasnya. Karena besok, kami akan pulang. 

"Bang, lihatin Raka dan Nina mandi ya! Aku dan Sinta mau masuk dulu, untuk mandi ke kamar hotel," pesanku ke Bang Ben.

"Oh, iya," jawabnya singkat.

Aku dan Sinta berlalu meninggalkan mereka. Selesai mandi, ku cuci pakaian yang di gunakan untuk berenang tadi. Kemudian menjemurnya di rak handuk yang tersedia di depan kamar mandi. Mandi dengan air hangat lebih asik, tubuh pun kembali rileks dan segar. Pagi ini, jadi mandi dua kali, deh.

Bang Ben membawa Raka dan Nina masuk ke kamar, lalu menggantikan baju mereka dengan yang kering. Tumben ia perhatian dengan anak-anak. Biasanya semua urusan itu, aku yang kerjakan. Mungkin suasana hatinya lagi bagus kali ya, aku berpikir positif aja. Selesai berganti pakaian, Bang Ben mengajak kami untuk bergabung, duduk di pondok terapung dengan keluarga Rani. Kami pun menuju ke sana, sambil membawa cemilan keripik balado yang ku buat sendiri, kemarin sore.

Kami duduk tepat di pinggiran danau, di sini tersedia beberapa meja dan kursi untuk tempat bersantai. Pondoknya terapung, di set dengan desain yang unik. Kita bisa duduk di atas danau, tanpa basah sama sekali.

"Bu ... ada gak orang berenang di sekitar danau ini? Sepertinya airnya tenang," tanya Sinta ke aku. 

"Gak ada lagi yang berani, berenang di pinggir danau ini," jelas ku.

"Emangnya kenapa, Bu?"

"Tadi malam pihak hotel berpesan, tak boleh berenang di sekitar danau ini. Karena beberapa bulan yang lalu, ada tamu mengadakan perpisahan sekolah di hotel ini. Mereka merayakan dengan berenang bersama di danau."

"Terus apa yang terjadi, Bu?"

"Salah satu dari mereka ada yang tenggelam, tanpa di ketahui oleh teman yang lain. Air yang tenang itu, ternyata menghanyutkan dan melenyapkan nyawa seorang pengunjung hotel."

"Hiii ... takuttt, Sinta mengangkat bahunya." lalu memelukku.

"Maka nya, kalau mendatangi lokasi yang baru, gak boleh sembarangan melakukan sesuatu. Harus tanya dan izin dulu ke yang punya tempat," saranku. Syukurnya Sinta tak lasak seperti anak gadis yang sedang puber. Sikapnya tenang, tak mudah panik, seperti diriku.

******

 Selesai makan siang, keluarga Rani berencana mengajak kami, untuk berjalan-jalan ke pulau kecil di sebrang danau. Dengan cara menyewa kapal bot, yang harganya lumayan juga. Di sekitar danau, banyak tertambat kapal bot, sedang mencari penumpang. Lagi-lagi abangnya Rani menantang kami.

"Berani gak kalian nyebrang pulau itu dengan menggunakan bot?" kelakarnya. 

"Berani aja, emang berapa sewa bot nya?" tanya Bang Ben.

"Bentar ya!  Aku tanya dulu, ke pemilik bot di pinggir danau itu.

Setelah sepakat dengan harga nya, tiga kapal bot pun di sewa, untuk pergi dan pulang nanti. Awalnya aku ragu dengan rencana menyebrang danau ini. Ngeri rasa nya, danau seluas ini hendak di sebrangi. Menggunakan bot kecil lagi. Tetapi di pulau kecil itu lah, surga nya berbelanja bagi turis dan wisatawan lokal. Di sana ada sebuah pasar yang cukup terkenal. Khusus menjual semua pernak-pernik khas daerah ini. Mendengar penjelasan itu, jiwa belanja ku pun meronta-ronta. 

Akhirnya kami semua, naik ke atas kapal bot. Dengan membaca doa, hati ini bisa lebih tenang, saat berada di atas bot. Terlihat pemandangan yang sangat indah. Tetapi Rani dan aku tak ada yang berani membidikkan kamera. Apa mungkin ia memiliki ketakutan yang sama, pikirku. Takut saja rasa nya,  melihat bot yang kecil ini, sedang membelah danau, hingga ke pulau sebrang. Setengah jam kemudian, kami pun sampai di pulau kecil. Tampak banyak orang yang berlalu lalang sedang berbelanja oleh-oleh.

Bang Ben menggendong Nina, sedangkan aku, Sinta dan Raka jalan bersisian sambil bergandengan. Sementara keluarga Rani, bergaya bak turis lokal. Dengan menggunakan kacamata hitam, serta baju yang seksi, Rani berjalan sambil menenteng kamera. Bang Ben melirik ke arahnya, aku pura-pura tak melihat. Biasa lah jomblo, mulai tebar pesona. Siapa tau  ada turis yang nyantol setelah melihat dandanannya. Hii ... hii aku mulai julid.

Aku masuk ke toko baju wanita, yang menyediakan baju santai dan baju tidur. Ku pilih satu persatu sesuai selera. Bang Ben mengikuti ku, lalu ikut memilih juga. Ia membisikkan sesuatu di telinga ku.

"Nay ... pilih yang paling seksi! Biar aku makin cinta," ucapnya lirih.

"Hmm ... apaan sih, seperti orang jatuh cinta aja," protes ku.

"Kamu tak pilih baju piama?" tanyaku.

"Gak ah, ribet pakai nya. Enak pakai kaos oblong dan celana pendek aja," jawabnya.

"Oh iya, kalau tak usah berbaju, gimana menurutmu?" tanyanya.

"Haa ... haa, orang gilaaaa, dong!" jeritku sambil terbahak.

Tak lama ia memilih satu daster lengan panjang, ukuran besar. Aku heran, kok beda dengan yang biasa ku pakai. Ia meletakkan di tumpukan baju yang sudah ku pilih. Lalu ia mendekatiku, sambil berkata.

"Nay ... daster yang itu, entar beri kan ke Mamanya Rani, bilang itu dari kamu." 

"Kenapa begitu, Bang?" tanyaku bingung.

"Iya, seperti nya si mama kagum sama kamu, karena pintar ngurus anak dan suami. Gak seperti si Rani, baru anak satu sudah di tinggal suami," jelasnya.

"Kapan beliau ngomong gitu, ke abang?"

"Tadi ... pas kamu dan Sinta mandi di kamar hotel. Mamanya lewat hendak ke kamar mandi," jelasnya.

"Berarti, aku pintar milih istri, iya kan," goda Bang Ben.

"Eleehhh ... jadi cerita nya mau pamer, nih?" ledek ku.

"Iya, donggg! Dulu Rani yang ninggalin aku, demi lelaki berduit." Bang Ben keceplosan.

"Gak usah di bahas lagi, gak jodoh." aku pun segera ke kasir. Membawa baju yang sudah di pilih.

Bang Ben mengekor di belakangku. Baju untuk anak-anak juga sudah selesai ku pilih. Mereka lebih suka baju yang ada gambar danau serta pohonnya, berbahan batik. Tau saja mereka kalau baju itu, ciri khas tempat wisata ini. Setelah kasir menghitung semua belanjaanku, Bang Ben pun langsung membayarnya.

Kami pun keluar dari toko, sambil menenteng tiga kantong plastik. Yang sekantong hendak di berikan ke Mamanya Rani. Ketika keluar, kami berpapasan dengan keluarga Rani. Mereka juga sudah selesai berbelanja di toko lain. Langsung saja kuserahkan kantong plastik tersebut ke Mamanya Rani. 

"Ini untuk Ibu," ucapku.

"Eh-apa ini?" tanyanya.

"Di pakai ya, Bu! Saya beli ini, karena kangen dengan Ibu saya," jelasku, sambil melirik ke arah Rani.

Si ibu langsung memelukku dan mengucapkan terima kasih. Terlihat Bang Ben tersenyum ke arah ku. Keluarganya yang berdiri di samping kami pun, ikut terharu. Sementara si Rani pura-pura tak melihat drama itu. Ia sering ribut dengan ibunya, karena sikapnya tak sesuai harapan orangtua. Aku jadi tak enak juga, sementara mereka yang menjadi anak, pastilah bisa membelikan ibunya baju yang lebih cantik, lebih mahal dari punyaku. Tapi niat kami kan baik, jadi tak usah segan lah, hiburku di hati.

Bersambung ....