webnovel

Benang Perkara

20 Februari 2000

'Pasangan fenomenal tahun ini telah melahirkan anak pertamanya, seorang putri yang cantik!'

'Penyanyi terkenal Widya Gayatri telah mempunyai putri, seberapa mungkin Widya akan mengakhiri karirnya?'

'Pengusaha properti tampan, Adithama Prananda, mengumumkan pesta menyambut kelahiran anak pertamanya, digadang-gadang akan digelar tujuh hari tujuh malam!'

'Adi-Widya, pasangan paling hot tahun ini menggelar pesta besar-besaran untuk putri pertama mereka, Netizen gigit jari karena iri?'

'Anak pertama seorang putri, pakar sebut akan ada masalah pembagian ahli waris Adithama Prananda suatu saat nanti?'

'Ini sosok putri Widya Gayatri, disebut-sebut lebih cantik dari ibunya, calon primadona negeri!'

"Wah!" melempar puluhan lembar koran yang memuat berita hampir sama akhir-akhir ini ke sembarang arah, wanita yang duduk di single sofa itu berseru, terlihat takjub sekaligus kesal, "Apa negara ini tidak punya pembahasan lain selain ini?"

"Hei! Eva, hidupkan televisinya sekarang, aku benar-benar bosan." memilih mencari hiburan lain ia menunjuk televisi dengan layar cembung yang ada di depannya, memanggil pelayan rumah yang kebetulan lewat untuk menghidupkannya.

"Baik, Nona."

Perempuan yang masih duduk dengan anggun di atas sofa membuang napasnya masih kesal, ia memilih mencari posisi yang nyaman untuk menonton TV, masa bodoh dengan kertas-kertas koran yang berhamburan di bawah kakinya, nanti juga akan datang pelayan untuk memunguti.

"Model kebanggaan Indonesia, Anggita Stefany, lagi-lagi membuktikan kebolehan diri dengan tampil di acara fasion show di Paris, mengusung brand terkenal di tubuhnya, benar-benar membanggakan!"

Si perempuan yang duduk tersenyum bahagia kala namanya masih disebut media di tengah gempuran berita tentang Adi-Widya yang hampir menjadi headline semua media.

Anggita kesal tentu saja, berita tentang dirinya yang harusnya tersiarkan ke seluruh negeri tiba-tiba tertimbun karena kelahiran anak Widya, perempuan yang selalu disebut media sebagai rivalnya dalam hal popularitas.

"Beralih ke berita selanjutnya yang tidak kalah panas, pasangan terhot tahun ini, Adi-Widya mengumumkan kelahiran anak mereka, berhasil menjadi perhatian publik! Berikut cuplikan kebahagiaan Adithama kala mengumumkan kelahiran—"

Tak!

Belum selesai, TV itu lebih dulu mati, rusak lebih tempatnya. Anggita melempar asbak keramik dari meja ke bagain tengah TV, cukup kuat terbukti kala bagian yang terkena asbak berbolong dengan pecahannya yang bercecer bersama asbak yang kini menjadi bagian-bagian kecil luruh ke lantai.

"Sial! Berita itu benar-benar membuatku muak!" gerutunya memukul permukaan sofa, menumpahkan rasa marah yang bercokol di dalam kepalanya.

"Widya sialan! Apa tidak cukup dia merebut Adithama dariku?! Mengapa wanita itu selalu mengambil semua yang aku miliki?!"

Tak puas menggerutu, Anggita bangkit dari duduknya, menginjak lembaran koran yang belum sempat dipunguti dengan sandal berbulu yang melingkupi kaki mulusnya, model yang sedang naik daun itu berencana untuk naik ke lantai dua rumah mewahnya, bergelung bersama selimut hangat nan nyaman, sayangnya belum juga melangkah pelayan yang tadi menghidupkan TV kembali ke hadapannya, mengintrupsi.

"Maaf, Nona. Seseorang tengah menunggu Nona di depan, sepertinya hal penting." Eva berbicara dengan segan, menundukkan kepalanya dalam-dalam, setidaknya agar Anggita tidak menceramahinya soal etika dan melampiaskan semua kemarahannya pada dirinya, Eva seketika bergidik ngeri membayangkannya.

Anggita mengulum bibirnya seraya berpikir adakah agenda atau janji yang ia lupakan untuk hari ini, seingatnya sekretarisnya bilang agendanya kosong hingga besok pagi, dan ia bisa beristirahat sesuka hati.

Lama tak menemukan jawabannya, Anggita bertanya dengan dahi mengerut, "Media?"

"Bukan, Nona. Dia sepertinya suruhan seseorang, saya tidak berani bertanya."

"Cih, dasar tidak berguna," maki Anggita teruntuk Eva yang hanya bisa Eva telan bulat-bulat tanpa sepatah kata bantahan, Anggita dan keangkuhannya benar-benar tidak ada obatnya, perkataan majikannya itu bisa menjadi ekstrak racun paling mematikan jika berdebat dengan seseorang yang terlanjur membuatnya kesal.

Anggita yang masih memakai piyama karena hari yang masih pagi juga dirinya yang belum beranjak mandi menggelung rambutnya asal-asalan, berjalan ke arah pintu depan dengan Eva yang setia mengekor di belakangnya.

Ia memicing kala pria dengan setelan jas yang licin duduk membelakanginya, nampak mengenali orang itu, Anggita bersuara, menegur sang pria.

"Baskara?" ujar Anggita mengerenyitkan dahi pada sosok sekretaris Adithama yang pagi-pagi telah bertamu di rumahnya.

"Hai," balas sang pria, ia beranjak dan berjalan ke arah Anggita dengan senyum tipis di wajah tampannya.

"Bagaimana perjalananmu kemarin?" tanyanya basa-basi, Anggita hanya melengos tak mengatakan apa-apa, bersedekap dengan wajah masam.

"Langsung saja. Aku tidak ingin melayani tamu pagi-pagi seperti ini."

Baskara melihat ke arah Eva, sang pelayan yang mengerti menunduk dalam, mengambil langkah mundur dan pergi dari sana. "Kamu ketus sekali." katanya mendesah pelan pada Anggita.

"Aku hanya ingin menyampaikan undangan."

***

Ballroom hotel tahun dua ribuan apalagi yang bintang lima memang kebanyakan besar bergaya Eropa, dengan pengaturan pencahayaan dan furnitur yang serupa.

Malam itu, di ballroom hotel Sanjana kerlip lampu tampak meriah, lalu lalang orang berpakaian mewah dan licin seolah tiada henti, menunjukkan bahwa acara di sana bukan acara sembarangan.

Di sebuah sisi ruangan yang dijadikan sebagai sentral acara tampak elegan, ditata begitu minimalis namun penuh nuansa kekayaan. Dua orang sebagai pasangan suami istri terlihat bahagia di sana, terus tersenyum dan menyalami para tamu yang mendekat, memberi selamat pada mereka.

"Aku sangat beruntung bisa menjadi salah satu orang yang bisa melihat langsung dan lebih dulu sebelum wajah anakmu diliput oleh media, Wid." sosok yang tengah berdiri tepat di hadapan Widya Gayatri berceletuk, sesekali lehernya memanjang, mencuri-curi pandang ke arah bayi yang tengah tertidur di box bayi yang berada tepat di samping ibunya, Widya.

Widya Gayatri, selaku salah satu tuan rumah acara itu tersenyum simpul, wanita yang memiliki ribuan pesona itu terkekeh dan menepuk pundak temannya yang tadi berbicara, "Kau adalah teman baikku, kau akan selalu menjadi yang paling dahulu tau tentang aku, Anggita."

Mengulas senyum palsu dengan hati penuh dengki, Anggita Stefany membalas merangkul bahu Widya yang terbuka, saat itu pula seolah tidak terkontrol ribuan blitz kamera berkedap kedip, menyorot ke arah dua wanita yang namanya selalu mentereng di pemberitaan tanah air.

Di dalam hatinya, Anggita dengki setengah mati. Semua ini dulu adalah miliknya, Adithama, kemewahan, keluarga, perhatian, semua, seluruh milik Widya Gayatri dulu adalah miliknya. Lalu tanpa pemberitahuan wanita sampah macam Widya yang ia pungut dari jalanan lantaran terpesona saat mendengar suaranya merenggut itu semua.

'Mau bekerja sama?'

Saat tubuhnya masih berada dalam dekap hangat Widya dan terus dipotret dari berbagai arah benaknya terus mengulang kata-kata Baskara kala pria itu menyampaikan undangan padanya.

Seolah-olah takdir, matanya yang berhiaskan eyeshadow tebal berwarna pink menyorot sosok pria dengan jam hitam di sudut ruangan, tampak menyendiri. Pria itu menatapnya dengan tatapan licik, mengulas senyum miring yang menjijikkan.

'Temui aku di toilet. Sekarang.'

Membaca bibir Baskara yang bergerak tanpa suara, Anggita tanpa sadar mengangguk pelan, sebuah isyarat persetujuan.