Won Bin's Pov
Saat itu musim dingin tahun 1954, telatnya di sebuah desa di Korea Utara. Bertepatan dengan usainya Perang Korea, ketika pasukan Korea Utara menyerbu Korea Selatan, dimana saat itu aku dan keluargaku telah tinggal di tempat itu selama 20 tahun terakhir, keluarga sederhana yang beranggotakan empat orang.
Aku memiliki adik perempuan yang dua tahun lebih muda dariku, Jae-eun namanya.
Aku masih ingat hari itu, ada banyak pasukan berkeliaran di sekitar tempat itu. Aku tak ingin pergi, tetapi ayah tetap membangunkan ku untuk bersiap ke sekolah.
Aku pergi ke sekolah dengan perasaan bingung. Jae-un berkata ia ingin ikut denganku, tapi aku takut kalau milisi mungkin tertarik padanya. Kami mencoba yang terbaik untuk menjauhkannya dari mata mereka.
Saat itu jam tiga sore. Aku baru saja keluar dari sekolah. Tiga blok jauhnya dari rumah kami ketika aku melihat orang-orang itu berkumpul di dekat tempat kami.
Akupun berjalan lebih cepat dari biasanya ... jantungku berdetak kencang, seolah-olah aku terhubung dengan bisnis mereka seperti biasa.
Aku berjalan melewati mereka dan mendengar apa yang mereka katakan ...
"Aigoo !!! Sayang sekali, mereka semua sudah mati" kata wanita itu
"Woo Bin, kesini ..." kata wanita itu ketika dia melihatku.
Aku berlari secepat mungkin kemudian melihat ambulan di depan rumah. Ada dua mayat, 2 usungan keluar dari rumah ...
Aku sudah tahu ada sesuatu yang salah. Aku berlari ke dalam mencari orang lain ...
Polisi di luar pintu berusaha mengendalikan dan menghentikan aku masuk ... tapi aku harus tetap masuk.
Aku hanya perlu menemukan saudara perempuanku.
Namun aku melihat tubuh lain terbaring di lantai, pakaiannya berduri ... darah di mana-mana. Rumah itu terbalik.
Aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang, seolah ini adalah napas terakhirku.
Aku kesakitan ... melihat tubuh adikku yang tak bernyawa ... ia memar di mana-mana.
Rasanya aku ingin berteriak dan memanggil namanya. Tetapi aku tidak bisa ... seolah-olah akh menelan lidahku sendiri.
Aku merasa mati rasa dan tidak bisa berpikir. Aku memegang tubuhnya tetapi aku terlambat. Mereka mengambil tubuhnya dan memasukkannya ke dalam ambulans.Aku terus mengikutinya, naik ambulans masih memegang tangannya.
Berharap itu adalah mimpi ... Sampai kami tiba di rumah sakit dan dokter menyatakan mereka mati.
"AHHHHHHHHH!" aku berteriak keras.
Aku meninju dinding di dekatku, aku berharap hal itu dapat membangunkanku dari mimpi buruk ini.
Namun yang aku rasakan adalah rasa nyeri di pergelangan tangan ku. Tetesan darah jatuh ke lantai. Bagai dihantam realitas yang pahit.
Aku tak bisa duduk di lantai, bahkan rasa sakit di kakiku tak ku rasakan.
"Ibu ... Ayah ... Jae-un ..." Aku terus memanggil nama mereka ... berharap mereka akan datang dan memelukku, seperti yang biasa mereka lakukan
Tapi tidak hari ini, mereka tidak akan datang. Adikku tidak datang seperti biasa yang datang untuk membuatku tersenyum.
Aku memeluk diriku sendiri, aku sudah bisa merasakan kedinginan dan kekosongan. Ketakutan mulai merangkak padaku. Aku menyembunyikan wajahku dan mulai terisak.
Someone's POV .
Aku melihat pemuda itu tadi pagi berjalan melewati sekolah. Aku ingin menghentikannya tetapi aku tidak bisa. Kemudian, aku melihatnya lagi sore ini,ia berlari. Dia menangis sangat keras ketika tiba di rumah. Keluarganya dibunuh dan adik perempuannya diperkosa.
Aku sudah tahu itu akan terjadi, aku memperkirakannya, itu sebabnya aku ingin menghentikannya pagi ini. Tapi aku takut keberadaanku mungkin menderita.
Aku tahu itu akan terjadi, tetapi aku tidak bisa melihat para pelakunya. Melihat dia, aku tahu dia akan menderita hal yang sama dengan orang tuanya.
Apakah aku harus diam...
Atau berpura-pura tidak melihatnya? Aku telah hidup kesepian seperti ini selama lebih dari seratus tahun ...
Aku tidak bisa lari selama satu dekade lagi.