Aslan menguap lebar sambil meregangkan tangannya. Tinggi tubuhnya sampai melewati sofa yang menjadi tempat tidurnya ketika ia sedang meregangkan tubuhnya.
"Akhirnya, temen sparing gue bangun juga," ujar Ucok. Ia sedang duduk bersandar di ring sambil memainkan game di ponselnya.
Aslan langsung menoleh begitu mendengar suara Ucok. "Kapan lu kesini, Cok?"
"Dari sebelum Indonesia merdeka gue udah disini," jawab Ucok sekenanya. Ia lalu mendengus kesal dan melirik pada Aslan. "Buruan bangun, gue mau latihan, nih."
Aslan tertawa pelan sambil menegakkan tubuhnya di sofa. "Jam berapa sekarang?"
"Yaelah, lu masih aja nanyain jam. Udah siang ini," ujar Ucok tidak sabar.
"Iya, iya. Sabar dikit napa, baru juga bangun."
"Gue takol juga ini orang. Gue udah nungguin dia bangun daritadi." Ucok mengambil gagang pel yang ada di dekatnya dan mengacungkannya pada Aslan.
Aslan terkekeh melihat Ucok yang mengacungkan gagang pel kepadanya dan berlari meninggalkan sofa tua yang ia duduki. "Kejar gue kalo bisa."
"Ngeledek banget ini orang," seru Ucok. Ia ikut berlari mengejar Aslan sembari mengacungkan gagang pel padanya.
Mereka berlari mengelilingi ring tinju hingga akhirnya berhenti karena terengah-engah. Ucok langsung melemparkan gagang pel yang ia bawa ke lantai. "Anjrit, capek gue."
"Anggep aja pemanasan, Cok," ujar Aslan terengah-engah.
Ucok melirik kesal ke arah Aslan. "Gue udah pemanasan. Ini gubug gue yang pel tadi."
Aslan mengernyitkan dahinya. "Bang John kemana?"
Ucok mengangkat bahunya. "Tadi bilangnya kebelet boker. Tapi, sampe sekarang belom balik juga."
"Buset, boker sebanyak apa dia," sahut Aslan sambil terkikik.
"Udah lu siap-siap sana," seru Ucok. "Waktu gue tinggal sebenta lagi, nih. Gue masuk kerja ntar sore."
"Eh, iya. Ngomong-ngomong soal kerjaan, di tempat lu ada lowongan ngga? Gue lagi cari kerja, nih."
"Lah, bukannya kemaren lu udah dapet kerja."
"Gue dipecat." Aslan menyengir pada Ucok.
Ucok berdecak mendengar pengakuan Aslan. "Nanti, deh, gue tanyain ke SPV gue."
Aslan tersenyum pada Ucok. "Makasih, Cok."
"Udah, lu jangan kebanyakan cengar-cengir. Buruan siap-siap."
Aslan langsung memberi hormat pada Ucok. "Siap, Komandan." Ia langsung berdiri dan berjalan ke arah lokernya. Namun, kemudian ia menoleh pada Ucok. "Latihannya abis gue makan, ya?" Ia kembali cengar-cengir pada Ucok.
Ucok menghela napas pasrah. "Ya Tuhan, kenapa ada makhluk yang nyebelinnya kaya dia." Ia lalu memelotot pada Aslan. "Sepuluh menit buat makan."
Aslan mengangguk sambil memainkan alisnya pada Ucok dan mengacungkan jempolnya. "Siap, Bos Ucok."
-----
Leon tidak dapat memejamkan matanya meski ia sudah berbaring di tempat tidurnya. Sedari tadi ia hanya berguling dari satu sisi ke sisi lain di tempat tidurnya. Berulang kali menghela napasnya dan memandangi langit-langit apartemennya. Sambil mendengus kesal, ia akhirnya bangkit dari tempat tidurnya. Ia langsung berganti pakaian di ruang gantinya dan beberapa saat kemudian, ia sudah ada di atas mobilnya.
Mobil sport yang ia kendarai kemudian berhenti di depan sebuah night club bergengsi di New York. Tepatnya di 453 West 17th street, New York City. Petugas valet langsung menghampiri Leon dan ia pun langsung keluar dari mobilnya dan masuk ke dalam night club tersebut.
"Wah, liat siapa yang dateng," ujar salah satu pria ketika melihat Leon ada di dalam club tersebut.
Leon mengabaikan pria tersebut dan langsung memanggil Bartender dengan mengacungkan tangannya.
"Bourbon?" tanya Bartender tersebut ketika ia mendatangi Leon.
"Yes, please," sahut Leon.
Bartender itu langsung meletakkan gelas di depan Leon dan menuangkan bourbon ke dalam gelas tersebut.
"Leave the bottle," ujar Leon ketika Bartender itu selesai menuangkan bourbon ke dalam gelasnya.
"Sure," ujar Bartender tersebut.
Leon langsung meneguk habis bourbon miliknya dan kembali mengisi gelasnya.
"Kayanya ada yang lagi banyak masalah," ujar pria yang berdiri di sebelah Leon. Ia hendak menuangkan bourbon milik Leon ke dalan gelasnya namun dengan cepat Leon menahan botol miliknya.
"Beli minuman lu sendiri," ujar Leon dingin.
Pria yang berdiri di sebelah Leon akhirnya melepaskan tangannya dari botol milik Leon. "Hmm, okay."
"Leave me alone, Matt. Gue ngga punya waktu buat ngeladenin lu." Leon menatap tajam pada Matteo yang sedari tadi berdiri di sebelahnya.
"Okay." Matteo menganggukkan kepalanya. "But, kalo lu butuh temen, lu bisa langsung panggil gue."
Leon tertawa pelan mendengar ucapan Matteo. "Sejak kapan kita jadi teman?"
Matteo balas tertawa pelan pada Leon. "Oh, ya. Gue lupa, satu-satunya teman lu itu, cuma Nadia yang selalu ngekor lu kemana aja. Gue heran kenapa dia bisa tahan berteman sama lu."
"Really? Lu ngga tahu kenapa dia lebih tahan sama gue daripada sama mantan pacarnya sendiri?" Leon mengangkat satu alisnya. Ia lalu menunjuk badan Matteo dengan jari telunjuknya. "Itu karena, mantannya selalu ikut campur urusan orang." Tatapan mata Leon berubah. Ia kini menatap tajam Matteo. "So, stay away from me." Ia mendorong tubuh Matteo dengan satu jarinya itu.
Matteo mendengus kesal pada Leon.
Leon kembali menatapnya. "Tunggu apa lagi, go ahead," gumamnya sambil mengibaskan tangannya untuk mengusir Matteo.
Napas Matteo naik turun melihat Leon yang kini sedang menikmati minumannya setelah ia mengusir Matteo seolah dirinya hanya seekor anjing pengganggu. Ia bisa lihat Leon menyeringai ketika mengusirnya. Ia akhirnya berbalik badan dan meninggalkan Leon yang masih berdiri di meja bar.
Leon menghela napasnya setelah Matteo pergi meninggalkannya. "Akhirnya, gue bisa minum dengan tenang." Ia kembali meneguk minumannya. Malam ini ia benar-benar tidak ingin diganggu.
Namun ternyata harapan Leon untuk tidak diganggu menguap ketika seorang wanita asing datang menghampirinya.
"Ngga nyangka kita bisa ketemu disini," ujar wanita asing tersebut pada Leon.
Leon menoleh sambil mengernyitkan dahinya pada wanita tersebut. "Do I know you?"
"Well, tadi sore kita belum sempet kenalan," jawab wanita tersebut. "Kenapa kita ngga kenalan disini?" Wanita itu mengulurkan tangannya pada Leon dan menunggunya untuk menerima jabat tangannya.
Leon mengangguk-anggukkan kepalanya sembari tertawa pelan. Ia lalu menatap tajam wanita itu. "Enjoy your night." Ia pun pergi meninggalkan wanita itu sambil membawa gelas dan botol bourbon miliknya.
Karina menyipitkan matanya melihat Leon yang pergi meninggalkannya begitu saja. Ia berdecak pelan lalu kemudian memanggil Bartender dan memesan segelas champagne.
"It won't be easy if you try to close with Leon," ujar Bartender itu pada saat ia menuangkan champagne ke dalam gelas milik Karina.
Karina terperangah mendengar ucapan Bartender tersebut. "You know Leon?"
Bartender itu tersenyum pada Karina. "Of course, he's one of the customers here. Every time I've seen women try to get in close with him. He's always pushed that woman away."
"Oh, really?" seru Karina tidak percaya.
Bartender itu mengangangguk. Ia kemudian kembali mengisi gelas milik Karina. "Good luck." Ia tersenyum kemudian meninggalkan Karina dan melayani pelanggan lain yang sudah meminta minuman padanya.
*****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys
and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Hello pembaca sekalian, Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..
Jangan lupa masukkan ke collection kalian untuk update chapter berikutnya. Sekali lagi Terima Kasih atas dukungan kalian.. ^^