Tidak lama setelah Leon masuk ke kamarnya, ia kembali keluar dalam keadaan sudah berganti pakaian. Ia mengenakan celana jeans berwarna hitam dan kaus putih serta menenteng sebuah jaket bomber berwarna biru tua berpenutup kepala ditangannya. Ia langsung menghampiri Nadia yang masih berbaring di sofa. "Udah dapet alamat tempat latihannya Aslan?"
Nadia mengerling jahil pada Leon. "Bukan Nadia namanya kalo ngga berhasil dapetin alamat sasana tempat latihannya Aslan."
"Mana?" pinta Leon.
"Ada syaratnya," sahut Nadia.
"Lu mau apa? Tas barunya Channel?" timpal Leon.
Nadia segera menggeleng sembari tersenyum jahil pada Leon. "Gue ikut."
Leon segera mengerutkan dahinya. "Lu mau ikut?"
Nadia mengangguk yakin. "Lu perlu orang buat nunjukin arahnya."
"Gue bisa dengerin suaranya Siri lewat headset, kok," sahut Leon.
Nadia melirik kesal pada Leon. "Pokoknya gue ikut," ujar Nadia setengah memaksa. "Gue bingung mau ngapain. Kalo lu pergi ke tempat Aslan, gue sendirian dong di sini."
Leon menghela napas pasrah. "Ya udah sana, siap-siap. Jangan pake rok, gue mau bawa motor aja."
"Siap," seru Nadia sembari berjalan ke arah kamarnya.
Leon akhirnya duduk di sofa dan menunggu Nadia kembali keluar dari kamarnya. Sambil menunggu Nadia bersiap-siap, Leon memainkan ponselnya. Ia membuka akun media sosial miliknya yang jarang ia gunakan dan kembali menonton video Aslan yang sedang berlatih.
----
"Apa gue bilang, Bang. Pasti banyak yang nonton," ujar Juleha sambil membanggakan dirinya. Idenya untuk membuat siaran langsung Aslan yang sedang berlatih menghasilkan jumlah penonton yang cukup banyak. "Kalo begini, sasana punya Encing juga jadi ikut terkenal," ujar Juleha sembari melirik pada Bang John.
"Bisa gitu, Ha?" tanya Bang John.
"Bisa lah, Cing. Minimal mereka mau dateng buat ngeliatin Bang Aslan," jawab Juleha.
"Perlu gue renov ngga ini sasana butut?" Bang John kembali bertanya pada Juleha.
Juleha menggeleng. "Ngga usah, Cing. Pasti Encing ngga punya duit buat ngerenov," sahutnya yang diiringi dengan tawa pelan.
"Sialan lu," sergah Bang John.
Ucapan Juleha mendatangkan sebuah ide bagi Aslan untuk menghidupkan kembali sasana tua milik Bang John. "Boleh juga, tuh, Ha. Besok bikin live kaya tadi. Siapa tahu, kan, nanti ada yang mau daftar latihan tinju di sini," ujarnya.
Aslan berencana untuk mengundang Ucok dan beberapa orang Petinju jalanan yang ia kenal untuk ikut serta dalam siaran yang akan dibuat Juleha. Dengan begitu mereka mungkin bisa mendatangkan orang untuk berlatih di sasana milik Bang John.
Juleha segera menoleh pada Aslan. "Beneran besok mau live lagi, Bang?" tanyanya.
Aslan menganggukkan kepalanya. "Nanti gue ajak Ucok sama yang lain biar makin rame."
Juleha tersenyum lebar mendengar ucapan Aslan. "Siap, Bang. Kalo gitu gue juga siapin pasukan gue. Gue yang rekam, mereka yang foto. Nanti foto-foto latihannya juga kita posting."
Aslan tersenyum sembari mengacungkan jempolnya pada Juleha.
Bang John tiba-tiba menghela napas panjang. Ia menatap Aslan dan Juleha bergantian. "Kalo gitu, sekarang kita kerja bakti buat bersihin sasana ini. Gimana?"
Aslan dan Juleha saling tatap. Juleha tiba-tiba berdiri. "Sorry, Cing. Gue mau bantuin Emak dulu di warteg," ujar Juleha.
"Gue juga mau siap-siap kerja, Bang," timpal Aslan.
Keduanya hendak pergi meninggalkan Bang John sendirian. Namun, Bang John dengan cepat meraih kerah bagian belakang pakaian Aslan dan Juleha. Ia menariknya hingga keduanya berjalan mundur ke arah Bang John. "Ngga usah banyak alesan," bisik Bang John di telinga Aslan dan Juleha.
Aslan dan Juleha menoleh pada Bang John sembari cengar-cengir. Mereka kemudian melepaskan diri dari genggaman Bang John dan berlari bersamaan meninggalkan Bang John.
"Bocah setan!" seru Bang John sambil berkacak pinggang melihat Aslan dan Juleha berlari keluar dari sasana miliknya.
----
Hampir lima belas menit Leon menunggu Nadia yang bersiap-siap untuk pergi bersamanya menuju sasana tempat Aslan berlatih. Ia mulai berdecak tidak sabaran karena Nadia tidak kunjung keluar dari dalam kamarnya. Leon akhirnya bangkit berdiri dan berjalan ke arah kamar Nadia.
Ketika ia hendak mengetuk pintu kamar tersebut, Nadia tiba-tiba saja membuka pintunya. Kepalan tangan Leon tepat berada di kening Nadia. Ia lantas menyentil kening Nadia. "Lama banget dandannya."
Nadia mengusap-usap keningnya yang baru saja disentil Leon sembari melirik kesal ke arah Leon. "Rese. Sakit tau."
Leon menjulurkan lidahnya. Tidak peduli dengan tatapan kesal yang diberikan Nadia padanya. Ia kemudian mengacak-acak rambut Nadia. "Ayo berangkat. Helm ada, kan?"
"Ada," sahut Nadia sembari merapikan rambutnya yang diacak-acak Leon. Ia kemudian berjalan mendahului Leon dan menuju ke lemari kabinet yang ada di dekat pintu masuk apartemen mereka.
Nadia mengeluarkan satu helm full face berwarna hitam dan memberikannya pada Leon.
Leon menerima helm tersebut dan membaca sekilas merk helm tersebut. "Gue jadi berasa kaya Valentino Rossi kalo pake helm ini," goda Leon.
Helm yang disiapkan Nadia mempunyai merk yang sama dengan merk helm yang dikenakan oleh Valentino Rossi dalam ajang Moto GP. Helm dengan harga selangit itu bukan masalah bagi keuangan Leon dan Nadia ingin memastikan Leon mendapatkan perlindungan terbaik. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Leon.
"Kerenan Valentino Rossi daripada lu," sahut Nadia. Ia mengeluarkan helm berwarna merah yang juga memiliki merk yang sama dengan milik Leon.
Sambil menenteng helm di tangan masing-masing, mereka berjalan keluar dari apartemen yang mereka tempati dan menuju tempat parkir yang khusus disediakan untuk penghuni apartemen.
Meskipun unit apartemen mereka menyatu dengan hotel namun untuk parkir kendaraan, pihak pengelola menyediakan lahan parkir khusus bagi penguni apartemen tersebut. Leon dan Nadia berjalan beriringan menuju tempat parkir.
Orang-orang yang melihat mereka mungkin tidak akan menyangka bahwa mereka berdua adalah Bos dan Asisten pribadinya. Saat ini keduanya lebih mirip seperti pasangan yang hendak keluar untuk menghabiskan malam minggunya seperti pasangan-pasangan muda lainnya.
Nadia menyerahkan kunci motor yang akan dikendarai Leon begitu mereka tiba di depan sebuah motor besar keluaran pabrikan eropa terkenal, BMW. Nadia menyiapkan sebuah motor BMW R nineT untuk Leon. "Sesuai, kan, sama selera lu?"
Leon manggut-manggut sambil menatap motor yang sudah disiapkan Nadia untuknya. Ia kemudian tersenyum ke arah Nadia dan mengacungkan jempolnya. "Lu emang paling ngerti gue. Kalo sampe umur tiga puluh lu belum dapet cowok yang cocok, nanti gue yang bakal ngelamar lu," goda Leon.
Nadia berdecak pelan. "Emangnya gue mau nerima lamaran lu? Pede banget."
"Emangnya lu bisa nolak gue?" timpal Leon. Ia kemudian menjulurkan lidahnya. "Ayo berangkat!" Leon mengenakan helmnya, setelah itu ia naik ke atas motornya. Ia mulai menyalakan mesin motornya. Matanya berbinar begitu mendengar deru suara mesin motornya.
Setelah mengenakan helmnya, Nadia meraih bahu Leon untuk membantunya naik ke atas motor tersebut. Begitu Nadia duduk di belakangnya, Leon menarik tangan Nadia agar memeluk pinggangnya. "Pegangan yang kenceng."
"Jangan ngebut-ngebut, lu belum punya SIM buat motor," ujar Nadia.
Leon mengacungkan jempolnya. Sedetik kemudian Leon sudah memacu motornya untuk segera pergi meninggalkan gedung apartemennya dan menuju sasana tempat Aslan berlatih.
*****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it.
Terus berikan dukungan kalian melalui vote, review dan komentar. Terima kasih ^^