webnovel

Don't Fall In Love With Me (Part 3)

"Kita nggak punya masa depan," cerita Ananda lesu.

"Hah?" seru Yona kaget. "Maksudnya?"

Ananda mengangkat bahu, lalu menyeruput jus melon-nya tanpa semangat. "Andai aja aku tau."

"Kalian toh belum tentu nikah, kan? Jadi, apa maksudnya ngomong begitu?" tanya Yona lagi. "Masa depan apa, sih yang dia maksud?"

Ananda meletakkan pipinya ke meja, lalu mendesah. Yona menatap sahabatnya itu khawatir.

"Ananda, kalo pendapat aku, sih, kmu jangan terlibat terlalu jauh sama dia. aku punya perasaan dia agak berbahaya," kata Yona membuat Ananda mendongak.

"Berbahaya?" tanya Ananda.

"Sebelum semuanya serius, berhenti aja berharap dari dia, Ananda. Kalo dia emang cowok baik-baik, dia nggak akan bersikap bunglon nggak jelas kayak gini ke kamu," kata Yona lagi.

Kalau mau jujur, Ananda memiliki perasaan yang sama dengan Yona. Kata-kata Rava kemarin sama saja dengan menolak Ananda mentah-mentah. Namun, setelah mereka pulang dari pantai, Rava tidak bersikap dingin, malah cenderung bersahabat.

Dari awal, Rava seperti sedang mempermainkan perasaan Ananda.

"Kayaknya kamu benar, Yona," ujar Ananda akhirnya. Ananda tidak mau salah mengartikan sikap hangat Rava lagi.

Ananda merasakan tangan Yona meremas bahunya. Yona sendiri tahu, kalau benar Ananda menyukai alien aneh ini, berarti ini adalah cinta pertama Ananda. Dan Yona tidak mau cinta pertama Ananda jatuh pada orang yang salah.

"Ada apa, Lang?" tanya Rava antusias begitu bertemu dengan Gilang di kafetaria. Semalam, Gilang menelponnya dan berkata ingin bertemu. "Dia udah ketemu?"

"Bukan itu," kata Gilang, dan wajah Rava langsung bingung.

"Jadi, ada apa?" tanyanya lagi.

"Duduk dulu, deh," ujar Gilang, dan Rava duduk di depannya. Gilang lalu mencondongkan wajahnya ke arah Rava.

"Seharusnya, aku yang tanya ada apa. Sebenernya kamu serius nggak, sih, nyari orang itu?"

Rava mengernyit. "Maksud lo apa, Lang?"

Gilang mendesah, menatap Rava serius. "Rav, aku kemaren liat kamu lewat di depan tempat kerja aku. Naek motor, sama cewek. aku pikir kamu datang kemari mau nyari dia."

Rava mengerjap-ngerjapkan matanya sesaat, dan akhirnya tersadar. "Lang! aku serius nyari dia!" sahut Rava panas sambil menggebrak meja, beberapa mahasiswa yang juga mengunjungi kafetaria itu terkejut dan memandang Rava heran, tapi Rava tak menggubrisnya. "Kalo kemaren kamu liat aku, itu karena pikiran aku udah butek—keruh—banget, makanya aku ke pantai buat menenangkan diri!"

"Sama cewek?" tanya Gilang curiga. Rava berdecak.

"Cewek itu anak kost aku. aku pinjem motornya, dan tanpa aku sadari dia udah ngikut aku. Dia takut motornya kenapa-napa," kata Rava lagi, suaranya sudah sedikit memelan, tetapi Gilang tampak masih belum percaya. "Lang, kamu harus percaya sama aku. aku nggak punya waktu untuk yang lain."

"Sebaiknya begitu," kata Gilang lagi. "Denger, Rav, aku bener-bener mau bantu kamu. Tapi kalo kamu sendiri malah senang-senang..."

"Lang, aku nggak pernah punya pikiran buat senang-senang," ujar Rava tegas. "Setelah aku dapet dia, aku bakal secepatnya pergi dari sini."

Gilang menghela napas, tampak sudah menyesal karena tak memercayai Rava.

"Maaf Rava, kalo aku udah marah-marah nggak jelas. Tapi, setelah dipikir-pikir, kamu butuh waktu senggang juga. Jangan terlalu mikirin dia," ujar Gilang.

"aku nggak butuh waktu senggang...," jawab Rava cepat. "Toh waktu aku juga udah nggak banyak lagi," lanjutnya sambil tersenyum miris.

Selama beberapa detik, Gilang hanya bisa menatap sahabat SMA-nya itu dengan pandangan sedih. Sampai akhirnya dia kembali angkat bicara. "Soal cewek itu, mungkin ada bagusnya juga kalo kamu jalan sama dia."

Rava menatap Gilang tak percaya.

"Kau gila ya, Lang? aku udah nggak ada niat sama hal-hal begituan! Kamu pikir aku masih punya hak buat yang begituan?" sahut Rava berang.

"Bener juga. Sorry," ucap Gilang menyesal. "Kalo kamu masih mau egois dikit, mungkin kamu dulu nggak akan melepas Dita."

Ekspresi wajah Rava mengeras saat Gilang menyebut nama itu. Nama yang sudah sekian lama dikuburnya rapat-rapat di dalam hatinya.

"Jangan pernah sebut nama itu lagi," kata Rava dingin.

"Oke. Sorry," kata Gilang, dan setelah itu, tak ada satu pun yang berbicara lagi.

Rava berjalan gontai menuju kost-nya yang suram. Alvin dan Angga sedang tidak ada, dan rumah Tante Alena juga sepi. Rava naik tangga dan orang yang sedang tidak ingin dia temui malah sedang berjalan ke arahnya. Di tangannya, terdapat mug yang mengepul.

"Dari mana jam segini baru pulang?" tanya Ananda heran, ia melihat rambut dan baju Rava yang basah karena kehujanan.

Ananda buru-buru masuk ke dalam kamarnya, mengambil handuk dan mengelap wajah Rava. "Kok nggak bawa payung, sih? Ntar pilek, lho!"

Rava menatap Ananda yang tampak khawatir, lalu dia menepis tangan cewek itu. Hingga menyebabkan handuk yang dipegang Ananda jatuh ke lantai. Ananda menatap Rava heran, sedangkan yang ditatap malah balas menatapnya dingin.

"Jangan peduliin aku," kata Rava dengan rahang mengeras. "Jangan bersikap baik sama aku."

"Kenapa?" tanya Ananda.

"aku bilang jangan, ya, JANGAANNNN!" sahut Rava membuat Ananda terlonjak. "Jangan tanya apa-apa lagi sama aku, kamu ngerti? Urus aja kehidupan kamu sendiri!"

Rava berjalan melewati Ananda yang bergeming. Dia berusaha membuka pintunya yang terkunci. Dicari-carinya kunci pintu itu di bajunya dengan tak sabar.

"Jelek," gumam Ananda pelan, namun masih bisa didengar jelas oleh Rava, dan membuat cowok itu menoleh padanya. Ananda menatap Rava sendu. "Kalo lagi begini, aku bilang kamu lagi jelek."

"Hah?" kata Rava tak mengerti.

"Mood kamu. Selalu berubah-ubah dan nggak bisa ditebak. Hari ini, kamu marah-marah, besok baik. Selalu aja bilang, 'Jangan peduliin aku', tapi nanti ngomong hal-hal baik buat menggantikannya," ujar Ananda, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. "Nggak bisakah kamu memilih salah satu?"

Rava menatap Ananda nanar.

"Tadinya aku mau berusaha mengerti soal sikap aneh kamu ini, tapi aku sama sekali nggak ngerti!" sahut Ananda.

"Nggak ada yang nyuruh kamu buat mengerti aku," ujar Rava kemudian. "Tolong jangan ngomong hal-hal yang merepotkan."

Ananda menatap Rava tak percaya, sementara Rava berhasil menemukan kuncinya dan segera masuk ke dalam kamarnya. Rava melempar ranselnya, lalu duduk di kasur. Pikirannya berkecamuk hebat. Tiba-tiba dia teringat perkataan Gilang tadi siang.

"Kalo aja kamu mau sedikit egois, kamu pasti nggak akan melepaskan Dita."

Namun, Rava sudah melepas Dita. Sekarang, Rava tidak berminat pada percintaan apa pun lagi. Kalaupun berminat, dia tetap tidak berhak. Rava tidak menyesal dengan nasibnya itu. Yang Rava sesalkan, kenapa dia tidak menjauhi Ananda sejak awal. Ya, karena Rava sudah meremehkannya.

Tiba-tiba, Rava mendengar suara pintu sebelah ditutup. Dia menghela napas, lalu membuka layar handycam-nya dan menonton video yang direkamnya di pantai kemarin. Rava menatap kosong layar yang menampilkan Ananda sedang berlari-lari dengan gembira. Rava menutup layar itu.

Masa bersenang-senang sudah berakhir.