webnovel

The Tread Of Destiny

Altheda Estrella seorang gadis remaja dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Kehidupannya yang sederhana, dan sebatang kara tidak menyurutkan semangatnya untuk menyelesaikan pendidikan setinggi mungkin. Hingga akhirnya Altheda berhasil menyelesaikan studinya, dan baru saja diangkat menjadi seorang dokter muda di salah satu rumah sakit ternama, Singapura. Namun, sepertinya benang takdir tidak berpihak padanya. Altheda harus meregang nyawa karena menyelamatkan seorang dosen dari penembakan. Sungguh disayangkan, nasibnya yang malang membuat pendidikannya selama bertahun-tahun harus sia-sia. Seakan-akan dipermainkan oleh takdir. Altheda terbangun dengan sakit kepala yang menyerang teramat sangat. Kilasan ingatan tentang seorang gadis remaja yang teraniaya dengan caranya sendiri, tetapi malah dituduh sebagai biang keladi silih berganti menghantam pikirannya. "Azalea ... Terimakasih telah memberikan kesempatan buat gue untuk tidak membuat 21 tahun gue sia-sia, juga ... Gue akan mengubah sudut pandang lo tentang hidup, Lea. Hidup bukan hanya terfokus dengan perhatian orang lain, pria, keluarga, ataupun teman-teman lo yang tidak satupun berguna itu, tetapi juga tentang bagaimana merajut masa depan agar menjadi lebih berguna." Altheda tersenyum miring, menatap wajah seorang gadis yang bernama Azalea Caleste dengan lekat. Wajah dari tubuh yang akan digunakannya, mulai dari sekarang dan nanti! "Gue Altheda Estrella S. Akan mendapatkan kebahagiaan dengan cara gue sendiri dengan tubuh lo, Lea." Satu hal yang tidak pernah diketahui siapapun sampai Altheda meregang nyawa--Rahasia terbesarnya. *** Salam.Scorpio

Baby_Scorpio18 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
6 Chs

TTOD:four

Happy Reading!!!

***

Altheda menatap keluar jendela dengan bosan. Rasa malu yang mendera akibat dari kegilaannya tiga hari yang lalu masih terus membekas di dalam otak Altheda. Apalagi kenyataan jika dirinya yang bertransmigrasi ke tubuh Azalea. Semua ini memang diluar nalar--tidak masuk akal.

Bermacam kemungkinan telah dipikirkannya. Tetap saja tidak ada sesuatu yang logis bisa menjelaskan fenomena ini.

Altheda tidak bisa menceritakan hal ini pada siapapun. Hal pertama dalam bertahan hidup, jangan mempercayai orang dengan mudah. Itu adalah kunci dari kesuksesan dalam menjaga aib diri sendiri. Tidak terkecuali orang yang kita kira akrab sekalipun.

Altheda menatap lekat bangunan-bangunan yang menjulang tinggi mencapai langit dari jendela kamarnya. Dirinya harus segera berpikir rasional dengan cepat. Nanti sore dia telah bisa pulang ke rumah, tetapi dia tidak memiliki rumah.

Apa Altheda harus kembali ke kediaman Corner? Sepertinya tidak, dia akan menyingkirkan pilihan itu untuk yang pertama kali. Atau dirinya bisa bermalam di rumah pamannya--Arya Geraldton. Iya ... Sepertinya ide yang kedua merupakan sesuatu yang wajib untuk dicoba.

Meskipun bisa saja ia mencari tempat tinggal sendiri dengan identitas sebagai Altheda. Tetapi tetap saja itu merugikan, Altheda tidak ingin rugi, oke. Dia harus bisa memanfaatkan situasi.

Ceklek ...

Suara pintu yang dibuka membuat Altheda menoleh. Laki-laki tampan dengan ekspresi wajah yang tegas membuat Altheda menatapnya tak berkedip. Haa ... Rasanya Altheda memiliki sedikit keberuntungan dengan fenomena transmigrasi ini, dia bisa mendapatkan keuntungan untuk selalu berhadapan dengan lebih banyak para pria tampan. Meskipun teman-temannya di SCaRY tidak kalah tampan.

"Apa kamu sudah siap untuk pulang, sayang?" tanya Arya dengan nada lembut. Dia mendekati Altheda, memeluk tubuh ponakannya itu dari samping dengan sangat pelan dan hati-hati.

"El- eh maksudku ... Lea harus pulang ke mana?"

Arya mengernyit, tangannya yang baru saja memeluk tubuh kecil keponakannya segera dia lepaskan. Matanya menatap intens manik mata Altheda. Ada yang salah dengan keponakannya? Apa dokter itu tidak salah telah memberikan izin keponakannya ini untuk pulang?

"Apa maksudmu pulang ke mana, Lea?"

"Lea tidak ingin pulang ke tempat mereka, Paman," ucap Altheda terdengar lirih. "Mereka bukan keluarga Lea." imbuh Altheda mendramatisir keadaan.

Arya merasakan hantaman keras di hulu hatinya. Suara Altheda diperdengarkannya terdengar menyedihkan. Tatapan matanya menyiratkan kehampaan. Apa dia telah gagal untuk menjaga gadisnya? Apa dia telah mengecewakan kakaknya? Sungguh Arya sangat menyesal untuk ini. Dia sangat menyesal dan merasa gagal dalam menjaga kesayangannya.

Altheda berbalik, ia membalas tatapan Arya tak kalah lekat. Sekarang dia harus berpikir dengan rasional. Jika situasinya seperti ini, bukankah dia harus memanfaatkan keadaan sebaik mungkin. Mana mau dia menjerumuskan diri kedalam bara api, jika air yang sejuk bisa melindunginya dengan baik. Dia sangat normal, oke. Tentu saja Altheda akan memilih jalur yang penuh akan kesempatan untuk menimba ilmu lebih jauh lagi dengan tenang, daripada harus membenamkan diri kedalam konflik di tengah keluarga yang tidak berkesudahan.

Altheda bisa saja melindungi dirinya sendiri dari orang-orang yang berpikiran sempit seperti keluarga Azalea. Tetapi kenapa dia harus repot bergerak, jika dia bisa berlindung dibalik punggung orang lain. Lebih baik gunakan waktu untuk terus mengasah otak, agar tidak menjadi bodoh.

"Lea-"

"Lea ingin tinggal bersama Paman saja. Apa itu mungkin?" Altheda kembali bertanya dengan sendu. Dia harus berhasil menumbuhkan rasa simpati pada paman Azalea. Karena satu-satunya cara agar dia bisa hidup tentram hanya bersama dengan laki-laki ini.

Arya menghembuskan nafas panjang. Permintaan Altheda sangat sulit. Bukan karena dirinya tidak mampu membawa gadis itu dari kungkungan ayahnya, juga bukan karena dirinya keberatan. Tetapi ini tentang rahasianya, tentang sesuatu yang berusaha disembunyikannya serapat mungkin selama ini. Dia tidak ingin kenyataan yang gila itu hingga terdengar oleh telinga Azalea. Tidak boleh! Azalea tidak boleh mengetahui apapun, tetapi dia juga tidak ingin melihat keponakannya kembali tersakiti di rumah itu.

"Paman. Itu ... Tidak mungkin, yah." Altheda menunduk. Air matanya telah diujung mata, dan akhirnya air mata itu luruh juga. Membasahi telapak tangannya tetes demi tetes.

Arya memejamkan matanya rapat. Ia bimbang, sungguh ini pilihan yang sulit untuknya. Dia tidak ingin melukai perasaan Azalea, tetapi dirinya juga tak ingin membiarkan gadis ini terluka. Apa mungkin dia bisa menahan dirinya untuk terus merahasiakan semuanya ketika Azalea terus berada didekatnya? Atau dia akan mengacaukan segalanya. Entahlah! Untuk sekarang dia tidak ingin menebak-nebak. Lebih baik bertaruh, dari pada menyesal nantinya.

"Tidak! Paman akan mengizinkanmu. Kamu akan tinggal bersama paman, tapi sebelum itu kita akan kembali untuk mengambil barang-barangmu yang masih berada di sana."

"Benarkah?" cicit Altheda memastikan.

Arya tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, dan kembali merengkuh tubuh Azalea kedekapannya.

Sial!

Altheda tersenyum. Ia kembali menatap keluar jendela. Menikmati pelukan dari paman pemilik tubuh, yang memberikan perasaan hangat dan nyaman. Altheda merupakan jenis orang yang menyukai kenyamanan. Apapun itu dia akan mengutamakan rasa nyaman. Selama ini dirinya selalu merasa nyaman dalam kesendirian, dan mungkin itu juga akan berlaku untuk dirinya yang sekarang.

Arya melepaskan pelukannya. Kemudian dia berkata, " Paman akan mengemas barang-barang mu sebelum kita pulang. Tunggu sebentar!"

Altheda mengangguk mengerti. Dia membiarkan Arya melakukan kegiatannya. Matanya tidak beralih dari arah pandangannya ke luar jendela.

"Paman, apa Paman mengenal Lucian?" tanya Altheda tanpa menoleh. Arya menghentikan aktivitasnya. Ia mengepalkan tangannya mendengar pertanyaan tidak terduga dari Altheda. Apa gadis itu masih mengharapkan anak ingusan itu? Apa dia masih tergila-gila pada cinta buta yang tidak jelas itu? Haa ... Kenapa rasanya sangat menjengkelkan ketika Altheda mengucapkan nama yang sangat tidak ingin didengarnya.

"Ada apa? Apa kamu masih mengharapkan kedatangannya?" tanya Arya balik, tanpa menjawab pertanyaan dari Altheda.

"Tidak! Tiga hari yang lalu dia datang menemui Lea. Lalu dia mengatakan lelucon seperti--berhentilah berulah, karena aku tidak akan menghentikan rencana ku untuk membatalkan pertunangan. Apa kami benar bertunangan? Maksudku ... Paman tahu bukan, aku melupakan sebagian besar ingatanku."

"Kalian memang bertunangan. Tapi pria tidak tahu malu itu terus saja menempeli gadis jelek yang ada di rumahmu. Jadi ... Eh, tunggu--Kamu bilang apa tadi?"

"Dia ingin membatalkan pertunangan." Ulang Altheda memberikan informasi yang kiranya perlu untuk diselesaikan segera oleh Arya. Bukankah sudah dibilang jika Altheda berpikir dengan rasional. Dia tidak ingin nama Azalea semakin buruk, apalagi sekarang yang menempatinya adalah jiwanya. Dia sudah kenyang akan cacian dan makian dari orang-orang. Jadi, dia tidak akan memberikan mereka kesempatan untuk mengatainya yang tidak-tidak.

"Dia ingin membatalkan pertunangan?" tanya Arya memastikan pendengarannya. Rahangnya mengeras, buku jarinya mulai terlihat karena mengepal erat. Arya memang tidak menyukai pria itu, tetapi jika pria itu ingin mencampakkan keponakannya. Arya tidak akan pernah tinggal diam.

"Iya, Paman. Paman ... jika boleh, aku tidak ingin ditinggalkan." Artheda menoleh, ia menatap manik mata hitam pekat milik Arya. Lalu kembali berucap, "Tapi aku ingin meninggalkan. Aku tidak ingin memberikan kesempatan pada orang-orang untuk menghinaku lagi. Tidak akan!"

"Kalau begitu lakukan. Paman akan selalu mendukungmu, karena paman mencintaimu--sangat Azalea." Arya tersenyum manis dengan seringai di bibirnya. Keponakannya telah berubah!

***