Berita di televisi menyiarkan tentang Perang Teluk yang baru saja berakhir.
Momen ini menandai bahwa tahun ini aku mulai masuk Sekolah Dasar Angkasa, tempatku dulu menghabiskan enam tahun penuh kenangan.
Tahun-tahun yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Di sini aku mengalami banyak hal. Bahkan kusaksikan sendiri bahwa anak usia sekolah dasar bukanlah anak-anak yang polos.
Di tempat ini aku menyaksikan bahwa pada kelas enam, kelas dengan tingkatan tertinggi, anak sekolah dasar sudah mulai berani berpacaran. Memang hanya satu atau dua orang, tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa di usia ini anak-anak mulai beranjak dewasa.
Di sini juga aku mendapatkan pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Guru-guru yang ada mencontohkan banyak hal kepada kami. Mereka, guru sekolah dasar, kusadari adalah pembentuk karakter manusia yang sebenarnya.
Maka hari pertamaku menginjakkan kaki di sekolah ini hampir semuanya kuhabiskan dengan berlari-lari keliling sekolah.
Semuanya persis seperti dulu. Tembok yang dicat putih-merah, tiang-tiang kayu, lapangan voli yang belum berubah menjadi lapangan basket. Tempat kami bermain sepakbola dan menghabiskan jam pelajaran olahraga.
Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang datang mengantar anak mereka sekolah, sebagian dari mereka ikut jajan di pedagang-pedagang kaki lima karena lapar ketika menunggu. Pedagang kaki lima yang menjual makanan dan juga mainan terlihat di mana-mana.
Makanan khas anak sekolah dasar berupa batagor, lontong, dan makanan kecil lainnya dijajakan di hampir setiap sudut lapangan sekolah. Mainan-mainan plastik berbentuk mobil maupun robot, juga kartu-kartu bergambar film kartun, dijajakan oleh penjual mainan yang tidak kalah banyaknya. Harga makanan maupun mainan tersebut hanya berkisar seratus hingga paling mahal tiga ratus rupiah.
Pepohonan menghiasi setiap sudut sekolah. Pohon-pohon tersebut sering kami jadikan pembatas gawang setiap kali bermain sepakbola. Tidak ada yang peduli bahwa dengan demikian lebar gawang antara kedua tim menjadi berbeda. Yang penting adalah kesenangan bermain.
Lebih dari satu tahun telah berlalu, tapi aku masih belum bisa mempercayai semua ini. Kukejapkan dan kuusap mataku berulang-ulang, memastikan pemandangan yang kulihat bukanlah mimpi.
Bu Yuyu, wali kelasku di kelas satu memulai pelajaran setelah perkenalan kepada kami, para siswa baru. Beliau mengajarkan cara menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kami para murid pun mengikuti beliau menyanyi.
"Ayo, siapa yang sudah hapal?" tanya Bu Yuyu setelah kami menyanyikannya beberapa kali.
Aku melihat sekeliling. Tidak ada satu anak pun yang mengangkat tangannya. Maka aku menjadi satu-satunya sukarelawan.
"Ayo, Ferre. Maju ke depan."
Aku menurut dan menyanyikan lagu kebangsaanku itu dengan lancar.
"Tepuk tangan! Ferre hebat!" kata Bu Yuyu.
Seluruh kelas pun menepukiku. Hari ini, aku telah menjadi bintang baru.
Esoknya dimulailah pelajaran matematika. Bu Yuyu mengajari penambahan dan pengurangan. Lagi-lagi ia menawarkan siapa yang mau mengerjakan soal di papan tulis setelah mencontohkan beberapa di antaranya.
Aku kembali mengangkat tangan.
"Ferre, maju." Kata beliau.
Aku mengerjakan satu soal hanya dalam satu detik.
"Hebat! Ayo, yang lain mau mengerjakan enam soal sisanya?" timpal Bu Yuyu.
"Bu, saya kerjakan semuanya." Kataku.
Bu Yuyu terpana.
Tanpa menunggu persetujuan, aku mengerjakan semua soal di papan tulis. Lalu kembali ke tempat duduk tanpa mengatakan sepatah kata pun. Bu Yuyu tampak terbengong-bengong.
Hari berikutnya adalah pelajaran menulis huruf baku. Pelajaran ini menggunakan sebuah buku latihan yang disebut "Jarlisku", singkatan dari "Belajar Menulis Huruf Baku."
Di buku ini sudah tercetak beberapa contoh penulisan huruf sambung. Lalu siswa diperintahkan menirunya beberapa kali di baris-baris bawahnya.
Tidak ada seorang anak pun di kelas yang berhasil menuliskan huruf baku dengan baik, kecuali aku. Ketika Bu Yuyu memeriksa satu demi satu buku Jarlisku kami, ia mengangkat dan memamerkan Jarlisku milikku di depan kelas.
"Lihat anak-anak. Ini contoh yang paling bagus. Coba contoh punya Ferre!" kata beliau.
Demikian hari demi hari berlalu. Aku menjadi bintang kelas. Betapa indahnya masa-masa ini.