webnovel

The Seven Wolves: Trapped Under Devils Possession

Volume 5 (Bryan Alexander) Bryan Alexander merupakan anggota termuda The Seven Wolves. Ia tampan, kaya raya, pemilik perusahaan multi internasional, VanAlex namun juga playboy. Ia berubah karena jatuh cinta pada adik tirinya sendiri, Deanisa Melody. Karena tak bisa memiliki, Bryan memilih pergi ke New York dan menjalani kehidupan sebagai Fuckboy. Apa yang terjadi jika ia harus kembali dan bertemu Nisa yang malah jadi asisten pribadinya atas perintah sang Ayah? Volume 6 (Mars King) Mars King merupakan sosok yang paling ditakuti dan disegani di kotanya, Los Angeles. The Devil of LA adalah julukannya. Ia sangat tampan namun tak berhati dan kejam. Persaingan bisnis telah membuat keluarga King dan Wright menjadi musuh bebuyutan yang saling membunuh. Bagaimana jika Mars King malah jatuh cinta pada adik musuh bebuyutannya sendiri, putri keluarga Wright, Vanylla Emerald Wright? Volume 7 (Aidan Caesar) Aidan Caesar dulunya seorang anak yang pendiam, tampan tapi memiliki tubuh tambun. Separuh hidup dihabiskannya menerima cacian dan bullyan dari teman-teman satu SMA-nya. Sampai suatu saat bullyan itu mencapai puncaknya. Aidan membalaskan dendam akibat bullyan yang membuatnya hampir meregang nyawa, dan dalam kelompok itu ada seorang gadis yang dulunya ia sukai namun kini ia benci. Aidan memasang jebakan apa saja untuk membalas Malikha yang telah jatuh bangkrut. Lantas siapa yang sesungguhnya akan jatuh dalam jebakan cinta? Malikha atau Aidan? #### The Seven Wolves terdiri dari tujuh anggota, yaitu Arjoona Harristian (Alpha/Leader), Jayden Lin (Beta), James Harristian, Shawn Miller, Bryan Alexander, Mars King dan Aidan Caesar. Ketujuh pria itu dipertemukan takdir untuk membentuk kelompok rahasianya sendiri bernama The Seven Wolves. Dari milyuner, petinggi milter hingga pemimpin gangster, mereka berjanji untuk tetap membantu satu sama lain. Tidak ada yang lebih penting daripada memiliki saudara untuk bersama. Follow my IG @nandastrand, FB: @NandaStrand

Andromeda_Venus · perkotaan
Peringkat tidak cukup
700 Chs

Weekend Pertama Berdua

Deanisa sedang duduk bersila di depan meja ruang tamu tengah menyusun beberapa dokumen dan bahan untuk ujian akhirnya minggu depan. Esok Senin, ia akan menempuh ujian tesis dan seluruh kerja kerasnya akan berakhir.

Ia telah bersiap-siap selama beberapa bulan dan perjalanan mencapai gelar magister akan mencapai puncaknya Senin depan. Siap sudah, Nisa juga telah mempelajari semua yang ia butuhkan untuk ujian nanti. Ia juga sudah mengajukan cuti pada mas Bram untuk dua hari yaitu Senin dan Selasa jauh-jauh hari. Namun tak memberitahukannya pada Bryan karena Nisa masih pegawai magang di bawah pengawasan Bram.

Tiba tiba ingatannya pada kejadian kemarin terlintas kembali. Kejadian di kantor Bryan yang membuat Nisa jadi merasa sedikit bersalah. Terang-terangan Nisa sudah menolak cinta Bryan. Bahkan meninggalkannya begitu saja usai Bryan memeluknya mesra. Nisa merasa yang ia lakukan tidak sepenuhnya benar. Namun dengan cepat ia menepis hal tersebut.

'Bryan Alexander itu cuma mau memanfaatkanmu saja Nisa!' ujar Nisa berkali-kali meyakinkan itu dalam hatinya. Untuk apa ia harus selalu menghormatinya seperti seorang Kakak. Memangnya Bryan perduli apa yang ia rasakan selama ini? Rasanya tidak!

Hari Sabtu seperti ini, Nisa biasa menghabiskan waktu di rumah saja. Ia tidak terbiasa pergi jalan-jalan di akhir pekan. Nisa bukan jenis gadis yang suka keluyuran menghabiskan uang untuk shopping misalnya. Selain karena ia memang tidak punya kesempatan untuk itu. Setiap hari ia harus berpikir mencari cara untuk bisa bertahan hidup sendiri. Terlebih semenjak Ibunya meninggal, Nisa terbiasa melakukan pekerjaan apapun selagi halal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kuliah. Rekening pribadi yang disediakan oleh Hans Alexander untuk Nisa, nyaris tak tersentuh sama sekali olehnya.

Usai mengurus semua keperluan ujian, Nisa duduk santai di kursi tamu sendirian sambil meminum coklat hangat kesukaannya. Ia melihat ke seluruh ruangan. Rumahnya terlalu sepi. Ia pernah berpikir untuk mengajak seorang teman untuk tinggal bersamanya, setidaknya ia bisa memiliki teman bicara. Tapi siapa? Nisa tidak punya banyak teman dan semua teman-temannya juga sudah memiliki tempat tinggal.

Masih berpikir dan tersenyum tipis pada dirinya sendiri, ponselnya tiba-tiba berdering. Nisa melirik pada caller ID si penelepon dan ternyata Bos-nya yang arogan itu menelpon. Nisa langsung meringis. Bryan tidak pernah mengganggu saat weekend kenapa dia malah menelepon sekarang. Nisa mengacuhkannya dan tidak mau mengangkatnya karena itu hanya mengingatkannya pada kejadian saat Bryan mencium Nisa lagi.

Ponselnya akhirnya mati, dan Nisa tersenyum. Lalu tak lama berdering lagi. Nisa jadi mengernyitkan kening dan mulai ragu apa dia harus menjawab saja.

"Apa aku angkat aja? mungkin dia butuh sesuatu?" gumam Nisa pada dirinya sendiri. Bagaimanapun Bryan adalah atasan Nisa saat ini. Ia tidak mungkin mengabaikannya begitu saja. Nisa jadi ingat beberapa orang menasehatinya agar bersabar dengan Bryan.

"Bryan Alexander adalah seorang atasan yang hebat, kamu harusnya beruntung. Ah beruntung apanya..." gumam Nisa menirukan ujaran beberapa orang yang menasehatinya. Nisa menghela napas dan akhirnya mengangkat.

"Halo?"

"Kenapa kamu baru angkat sekarang, Snowflakes?" Bryan langsung bicara tanpa menyapa. Nisa jadi manyun dan tak menyukai Bryan menganggu waktu istirahatnya yang tenang.

"Ada apa Kakak telepon Nisa?" Nisa balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Apa kamu sibuk?" Bryan membalas dengan cara yang sama setelah beberapa saat ia terdiam.

"Iya," jawab Nisa singkat berharap ia akan pergi secepatnya.

"Sibuk apa?"

"Setahu Nisa ini bukan jam kerja, jadi Nisa gak punya kewajiban untuk melapor Nisa sedang sibuk apa!" Rasanya Nisa ingin sekali membanting ponselnya. Tapi jika mengingat membeli ponsel baru bisa sangat mahal, ia tak jadi melakukannya.

"Oh, kamu benar-benar sedang marah sama Kakak ya?" ujar Bryan sedikit tertawa.

"Gak, untuk apa Nisa marah!" sahut Nisa mulai ketus.

"Snowflakes, Kakak mau ketemu kamu!" ujar Bryan tiba-tiba dengan nada manja dan aneh. Nisa jadi mengernyitkan kening dengan ekspresi geli sekaligus jijik.

"Buat apa? Ini bukan jam kerja?" tanya Nisa sambil bangun dari sofa.

"Kakak pengen ngajak kamu jalan-jalan. Atau kamu yang bawa Kakak keliling Jakarta, gimana?"

"Tapi untuk apa?"

"Kakak belum pernah keliling semenjak pulang kemari, pasti banyak yang berubah kan? Come on, Snowflakes dari pada kamu bosen di rumah."

"Ah gak, Nisa betah kok di rumah."

"Oh ya, tapi kamu gak terlihat seperti itu!" Deg-deg jantung Nisa langsung berdetak lebih keras. Rasanya seperti ada yang salah.

"Memangnya Kakak bisa lihat Nisa bosan atau gak?" tanya Nisa lagi dengan keheranan.

"Kamu kelihatan kok dari sini. Kakak di jendela kamu lho!" Otomatis Nisa memalingkan wajahnya ke arah jendela dan terlihat wajah Bryan sedang tersenyum pada NIsa sambil mengedipkan mata. AAHHKK! Nisa kaget setengah mati sampai melompat dan ponselnya jadi terjatuh ke lantai. Untung tidak pecah atau rusak.

Nisa masih bengong saja melihat Bryan ternyata sudah berada di luar rumahnya bahkan kini melambaikan tangannya dengan cengiran lebar. Apa yang dia lakukan diluar situ? Sejak kapan dia disana? Nisa tak lantas membuka pintu. Ia buru-buru mengambil ponselnya dan menempelkannya kembali pada telinga sambil masih melihat Bryan dari kaca jendela.

"Sejak kapan Kakak ada disitu?" tanya Nisa masih dari ponselnya.

"Dari semenjak kamu minum coklat, kamu gak mau buka pintunya?" Bryan masih terus mengintip lewat jendela dan kali ini malah menyuruh membuka pintu. Nisa jadi panik dan harus berpikir cepat apa yang harus ia lakukan.

Ia terpaksa menutup telepon dan berjalan ke pintu. Nisa sempat berhenti dan agak ragu membukakan pintu tapi kemudian ia ingat jika Bryan macam-macam, ia tinggal memukulnya dengan sapu. Iya benar, jadi sebelum Nisa membuka pintu, ia mengambil dan menyembunyikan sebuah sapu di balik pintu.

Setelahnya, Nisa baru membuka pintu dan Bryan sudah berdiri di depan pintu sambil mengembangkan senyumannya. Nisa sempat terpana pada wajah tampan tapi imut milik Bryan. Tak sadar ia bahkan membuka mulutnya.

'Oh shit, Nisa. Berhenti!' Nisa menghardik dirinya sendiri.

Tapi ia tak bisa memungkiri jika Bryan sangat tampan dengan kaos lengan panjang oversized dan ripped jeans denim. Rambutnya agak acak dan basah tapi tidak terlihat berantakan. Bryan terlihat sangat segar. Pergolakan batin itu dimulai lagi di hati Nisa. Ia berusaha membenci tapi ia suka.

"Kok bengong?" tanya Bryan sambil tersenyum. Nisa menyengir tapi kemudian langsung memasang tampang ketus. Bukannya takut, Bryan malah makin gemas.

"Kakak mau apa kemari?" tanya Nisa dengan dagu sedikit terangkat. Ia bahkan tak mau bersikap ramah dengan mempersilahkannya masuk.

"Mau ajak kamu jalan!" jawab Bryan santai.

"Untuk apa?" Bryan berdecak tapi masih tersenyum.

"Ini kan weekend, Snowflakes," ujar Bryan sambil mengangkat bahu. Sesantai itu Bryan seolah ia tak melakukan apapun pada Nisa sebelumnya. Nisa memanyunkan bibirnya tanda tak mau.

"Come on snowflakes, kita jalan-jalan sebentar, sekarang sedang cerah ini," ujar Bryan lagi.

"Ini bukan New York, Kak. Setiap hari memang panas!" sahut Nisa sarkas. Bryan langsung melempem dan menggeleng.

"Ya udah kita cari yang adem-adem kalo gitu," ujar Bryan kembali merayu.

Sebenarnya Nisa memang sedang bosan di rumah. Ia berencana tidak belajar lagi dan bersantai menjelang ujian. Bukan kebiasaannya belajar di saat-saat akhir hendak ujian. Ia yakin sudah mempersiapkan diri dengan baik untuk minggu depan.

Akan tetapi, Nisa tidak mau terlihat gampangan di depan pangeran angkuh itu. Ia malah melipat kedua lengan di depan dada sambil berpura-pura berpikir. Bryan yang melihat jadi tersenyum dan tertawa. Senyuman itu malah membuat Bryan jadi makin tampan dan Nisa makin ragu.

"Gak... Nisa mau di rumah aja!" jawab Nisa makin ketus.

"Ya udah, kalau begitu Kakak temani di rumah!" sahut Bryan sambil mencoba masuk. Nisa langsung panik, ia merentangkan tangan menghalangi Bryan masuk.

"NO... Ngapain Kakak masuk!" Bryan berhenti dan bertanya dengan matanya.

"Kakak, jangan macam-macam sama Nisa!"

"Kakak cuma mau ajak kamu jalan, Snowflakes. Kakak janji gak akan melakukan apapun." Nisa jadi berpikir, Bryan pasti tidak mungkin macam-macam karena mereka mungkin hanya akan pergi ke tempat-tempat umum. Nisa sebenarnya sangat ingin jalan-jalan sekedar melepaskan penat karena terus bekerja. Entah kapan ia terakhir menghabiskan waktu bersantai di luar rumah, Nisa tak ingat.

"Tapi harus janji Kakak gak macam macam sama Nisa. Kalo gak, Nisa tinggalin di jalan biar Kakak nyasar pulang." Bryan langsung mengangkat sebelah tangannya membentuk tanda sumpah.

"Ya udah, tunggu di luar. Nisa ganti baju dulu," ujar Nisa sambil berbalik. Tiba-tiba Bryan menyahut di depan pintu.

"Pakai baju itu aja, kamu udah cantik kok." Nisa berbalik dan melihat Bryan yang menaikkan alis dengan cengiran nakal di wajahnya. Nisa jadi meringis dan menggeleng.

"Gak, tunggu di situ jangan masuk!" Bryan cuma tersenyum dan berdiri di luar seperti janjinya. Sementara Nisa berlari ke kamar dan menguncinya untuk berganti pakaian.