Seorang perempuan tua tidur di atas sebuah ranjang di wisma lansia. Malam baru saja turun dan angin musim semi berdesir agak kencang. Seorang laki-laki berjaket duduk di samping ranjang sambil memperbaiki selimut si Perempuan tua. Tak lama kemudian masuk Nyonya Cha pemilik wisma lansia.
"Astaga, Kang Hyeo Jin?" Nyonya Cha merasa tak percaya ada sosok Hyeo Jin di kamar neneknya.
"Nyonya Cha, bagaimana kabar Anda?" tanya Hyeo Jin sambil tersenyum, berdiri, lalu memeluk Nyonya Cha. Yang dipeluk pun memeluk balik dengan hangat. Seakan ada kerinduan anak dan ibu di antara mereka.
"Kapan kau pulang dari Eropa? Sungguh suatu kejutan melihatmu lagi. Dulu kau masih kecil, masih segini. Sekarang kau sudah dewasa," ujar Nyonya Cha dengan tangan terangkat setinggi dadanya.
"Sekitar seminggu yang lalu, Nyonya," jawab Hyeo Jin, "Aku hanya ingin melihat kondisi nenek. Bagaimana kabarnya?" tanya Hyeo Jin.
"Nenekmu sudah pikun. Tapi kondisi fisiknya masih lumayan kuat. Jung Hye Bin membantu merawatnya di sini bersama pengurus yang lain. Kau sudah bertemu dengan gadis itu?" tanya Nyonya Cha.
"Ya ... dia manis. Sama persis seperti cerita Anda," jawab Hyeo Jin.
"Dia gadis yatim yang baik. Dia sabar dan telaten. Nenekmu mengira dia seorang gadis yang bernama Oh Man Se. Apakah kau tahu siapa Oh Man Se?" tanya Nyonya Cha.
"Aku tak tahu siapa Oh Man Se. Tapi dulu pernah kudengar nama itu disebut-sebut papa dan nenek. Ibu benci jika nama itu disebut oleh papa," terang Hyeo Jin.
Setelah menjenguk neneknya, Hyeo Jin pamit pada Nyonya Cha. Hyeo Jin berada dalam mobilnya. Dia memandangi foto Hye Bin, lalu tersenyum. Dia mematikan gawai, lalu menyalakan mobil. Hyeo Jin meluncur ke Kafe PM.
***
Kafe PM ramai pengunjung malam itu. Hyeo Jin masuk lalu memandang para karyawan yang sedang bekerja. Matanya mencari-cari sosok Hye Bin. Dilihatnya gadis itu di dapur sedang mengangkut kantong-kantong berisi biji kopi. Melihat Hye Bin, senyum Hyeo Jin pun mengembang. Sampai akhirnya seorang karyawan menyapanya dan mengantar Hyeo Jin ke kantor Dokter Hyun.
"Selamat malam," ujar Hyeo Jin sambil membuka pintu dan melongokkan kepala ke dalam kantor Dokter Hyun.
Dokter itu sedang sibuk di belakang meja. Ketika mendongakkan kepalanya, ia terkejut melihat sosok yang datang .
"Hyeo Jin!" ujar Dokter Hyun dengan senyum mengembang, lalu berdiri menyambut Hyeo Jin.
Mereka bersalaman dan berpelukan.
"Tak kusangka, ini kejutan kau tiba-tiba datang. Papamu bilang sebulan lagi kau baru pulang, tapi ternyata kau sudah di depan mata," ujar Dokter Hyun.
"Saya memang ingin memberi kejutan untuk semua," ujar Hyeo Jin.
"Bagaimana studimu? Sudah selesai? Papamu memintaku agar menyiapkan segala sesuatunya untuk memindahkan wewenang mengurusi kafe ini kepadamu. Apakah kau sudah siap?" tanya Dokter Hyun.
"Untuk itulah saya ke sini, Dokter. Anda siapkan saja dokumennya. Saya ingin mencicipi makanan di bawah dulu. Besok pagi saya akan berkenalan dengan yang lainnya," terang Hyeo Jin.
"Ya, besok pagi kami akan mengadakan penyambutan untukmu agar karyawan bisa bertemu langsung denganmu." ujar Dokter Hyun, "Aaah ya, sapa Hye Bin dulu. Kau sudah menyapanya?" tanya Dokter Hyun.
Hyeo Jin mengedipkan matanya sebelah. Dokter Hyun pun tertawa. Hyeo Jin pamit turun ke bawah. Matanya memandang ke sekeliling kafe. Bagus! Pikir Hyeo Jin. Cuma membutuhkan sedikit renovasi agar terlihat sedikit segar untuk dekorasinya.
Hyeo Jin duduk di salah satu sudut kafe. Mengelap meja dengan ujung jarinya. Bersih, pikirnya. Tiba-tiba muncul ide jahil di pikirannya. Hyeo Jin celingak-celinguk melihat sekeliling lalu dilepasnya sepatunya, diketuk-ketukkan ke atas meja hingga ada sedikit tanah mengotori meja. Ia pasang lagi sepatunya memastikan tak ada yang melihat aksinya. Hyeo Jin memanggil pelayan.
Hyeo Jin komplain terhadap kebersihan kafe. Pelayan itu meminta maaf sampai membungkuk-bungkuk. Suara Hyeo Jin yang tinggi cukup menarik perhatian semua orang, termasuk Hye Bin.
Hyeo Jin pun berakting kalap dengan melempar barang di meja ke lantai. Kegaduhan itu membuat gusar Hye Bin. Gadis itu mendatangi Hyeo Jin yang sedang mengomeli pelayan. Ketika tahu siapa yang membuat ulah, Hye Bin makin sebal terhadap Hyeo Jin.
"Aaah, kamu lagi si Sok Tahu. Maaf, menurutku tindakanmu sudah melampui batas, Tuan Sok Tahu. Tidakkah kami sudah meminta maaf atas kesalahan kami," ujar Hye Bin.
"Oh kamu ... kamu hanya seorang pegawai rendahan tak usah ikut campur!" ejek Hyeo Jin.
Hye Bin geram.
"Jaga kata-kata Anda. Jangan ngomong sembarangan. Orang-orang dengan sendok emas di mulut seperti Anda tak lebih dari sampah jika Anda menghina orang lain. Apakah dengan uang dan kedudukan yang Anda miliki saat ini menjadikan Anda lebih mulia dibanding orang lain?" ujar Hye Bin beretorika.
Hyeo Jin mendekati Hye Bin, sampai wajah mereka berdekatan. Hye Bin merasa terintimidasi, lalu sedikit mundur karena gugup. Mata Hyeo Jin memandang tajam mata Hye Bin.
"Kau, akan mendapat balasan yang setimpal nanti. Tunggu saja. Kita akan sering bertemu," bisik Hyeo Jin dekat telinga Hye Bin.
Ancaman Hyeo Jin tak membuatnya gentar. Hyeo Jin tersenyum dan berlalu dari hadapan Hye Bin. Senyumnya puas. Dokter Hyun yang melihat kejadian itu hanya tersenyum penuh makna, dia tahu benar kelakuan Hyeo Jin. Sedangkan Hye Bin merasa geregetan.
***
Di kamarnya, Hyeo Jin merebahkan diri di kasur. Dia tersenyum-senyum sendiri mengingat berhasil mengerjai Hye Bin. Entah bagaimana besok ekspresi gadis itu ketika tahu kalau dirinya pemilik kafe yang baru. Hyeo Jin tak sabar menunggu datangnya pagi.
***
Seorang laki-laki baru turun dari pesawat lalu memasuki Bandara Incheon. Gayanya kasual, dengan sepatu sport biasa. Dandanannya di bawah rata-rata dibanding pria-pria Korea yang rapi di sekitarnya. Dia membawa kardus besar, ransel, dan koper membuatnya kerepotan. Wajahnya manis dan terlihat berbeda, karena dia orang Indonesia bukan orang Korea. Posturnya yang gagah cukup membuat orang-orang melirik sekilas padanya. Dia berjalan ke arah Arrival dan melihat seorang laki-laki membawa plakat bertuliskan namanya. Dilambaikan tangannya ke arah laki-laki berkacamata.
"Shahib!" sapa laki-laki berkacamata dan memakai jas rapi.
"Mr. Hyun!," ujar laki-laki yang bernama Shahib itu.
"Bagaimana perjalananmu?" tanya Dokter Hyun sambil mengambil alih koper dan kardus yang dibawa Shahib.
"Aku agak mabuk," jawab Shahib sambil tertawa terkekeh malu.
Dokter Hyun tertawa, lalu mengajak Shahib ke mobil yang sudah menunggu di depan. Mereka melaju membelah keramaian kota Seoul menuju Kafe PM
"Sementara kau bisa tinggal di lantai dua Kafe PM sebelum dapat kamar di asrama kampus. Tapi, ya seperti itu lah kondisinya. Semoga kau betah," ujar Dokter Hyun.
Shahib tersenyum, pandangannya kembali ke arah luar, menikmati perjalanan di negeri orang. Korea, negeri tempat dia akan mengabdikan kemampuan dan menuntut ilmu tentang kedokteran. Teringat olehnya ibu dan adik yang ditinggalkan.
"Nak, berangkat saja kamu ke sana. Ambil saja kesempatan beasiswa yang diberikan oleh dosenmu. Jarang-jarang ada kesempatan seperti ini, loh. Ibu dan adikmu akan baik-baik saja di sini. Jangan khawatir," pesan ibunya ketika tahu Shahib mendapat tawaran beasiswa dari dosennya untuk berangkat sekolah keluar negeri.
Seorang ibu yang luar biasa di mata Shahib karena sejak menjanda belasan tahun lalu karena cerai, beliau berusaha dengan kedua tangan dan kakinya sendiri membesarkan dan menghidupi kedua anak laki-lakinya. Sebuah pertolongan dan penjagaan dari Allah sampai akhirnya Shahib bisa kuliah di kedokteran dengan beasiswa.
Dia berpesan kepada adiknya, si Hanan, agar menjaga ibunya baik-baik. Hanan tak merasa keberatan. Shahib merasa lega dan memantapkan hati untuk berangkat. Sekarang dia sudah ada di sini, di Korea. Seperti sebuah mimpi, angin takdir membawanya ke negeri ini.
Shahib menata barang bawaannya setelah Dokter Hyun pergi. Dimasukkannya baju-bajunya ke dalam lemari. Dia membongkar kardus yang dibawakan oleh ibunya dari Indonesia. Entah apa isinya. Karena kardus itu terikat tali plastik yang kuat, Shahib tak bisa membukanya serta merta. Dia membutuhkan gunting.
Dia mencari ke sekeliling ruang yang dijadikan gudang dan lemari-lemari besar. Di meja kerja Dokter Hyun juga tak ada. Dia keluar dari ruang roof top melewati tangga ke arah kafe. Semua lampu sudah dimatikan karena memang kafe sudah tutup. Sambil mengendap-endap Shahib ke dapur mencari pisau. Tiba-tiba sebuah kayu penggilingan meluncur ke arah Shahib. Dia jatuh pingsan karena ada seseorang yang memukul belakang kepalanya.
Ternyata Hye Bin yang memukul Shahib. Dia mengira Shahib pencuri yang memasuki Kafe PM. Hye Bin mampir ke kafe untuk mengambil jaketnya yang ketinggalan. Dia tak tahu Shahib tamu Dokter Hyun.
Hye Bin mengangkat dan menyeret tubuh Shahib lalu diikatnya kuat-kuat tubuh laki-laki itu di kursi. Hye Bin menelepon Dokter Hyun dan mengatakan ada pencuri masuk ke Kafe PM.
Dokter Hyun sedang mengendarai mobil saat menerima telepon Hye Bin. Laki-laki itu terkejut. Jangan-jangan Hye Bin mengira Shahib sebagai pencuri, pikirnya. Dokter Hyun pun membanting setir berbelok arah kembali ke kafe.
Sesampainya di kafe, Dokter Hyun tergesa-gesa masuk dan melihat Shahib sedang diikat di kursi dengan kepala terkulai ke depan. Hye Bin duduk di sofa sambil mengawasi Shahib yang masih pingsan, jaga-jaga kalau laki-laki itu siuman. Dokter Hyun terkejut setengah mati.
"Yaa Allah. Apa yang terjadi Hye Bin?" suara Dokter Hyun berteriak keras melihat Shahib pingsan.
"Untung Anda datang. Laki-laki ini pencuri. Tadi saya balik ke sini untuk mengambil jaket yang tertinggal, tapi ternyata laki-laki ini turun dari kantor atas mencari-cari sesuatu di dapur, lalu kupukul sampai pingsan," jelas Hye Bin bangga.
"Buka ikatannya. Dia bukan pencuri. Dia temanku," terang Dokter Hyun sambil memeriksa kondisi Shahib yang masih pingsan.
Hye Bin terkejut. Dia langsung berdiri membantu Dokter Hyun membuka ikatan tali yang melilit Shahib. Mereka berdua susah payah mengangkat tubuh Shahib yang besar dan tegap itu ke sofa. Dokter Hyun memeriksa sekali lagi kondisi Shahib.
Shahib mulai sadar. Dokter Hyun menyuruh Hye Bin mengambil kompresan.
"Di mana aku? Aduuuh kepalaku," Shahib mengaduh.
"Kau tak apa apa?" tanya Dokter Hyun.
"Aku masih pusing. Tiba-tiba saja ada yang memukul belakang kepalaku. Aku tak ingat apa-apa," jelas Shahib, masih meringis.
Hye Bin datang membawa kompresan. Dia merasa takut mendekati Shahib dan Dokter Hyun. Hye Bin memberikan kompresan itu sambil merunduk.
"Maaf kan saya," ujar Hye Bin sambil membungkukkan badannya dalam-dalam.
Dia merasa bersalah karena sudah salah sangka. Shahib memandang Hye Bin. Dia tak paham apa yang dikatakan gadis itu. Dokter Hyun menerjemahkannya dalam bahasa Inggris bahwa Hye Bin minta maaf. Gadis itulah yang sudah memukul Shahib karena mengira Shahib sebagai pencuri. Shahib pun tersenyum nyengir karena kepalanya masih puyeng. Dia memaafkan Hye Bin. Dokter Hyun pun menerjemahkannya kepada Hye Bin. Hye Bin membungkuk minta maaf lagi dan berterima kasih.
Hye Bin membuatkan teh untuk mereka berdua sebagai bentuk permintaan maaf. Mereka duduk bertiga sambil menikmati teh hangat. Hye Bin memandangi sosok Shahib. Hye Bin baru kali ini bertemu secara langsung dengan orang asing. Warna kulit eksotis mereka menarik. Shahib pun memandangi sosok Hye Bin di depannya. Shahib berpikir, gadis Korea berkulit putih dan cantik seperti porselen. Menurut Shahib, Hye Bin tak seperti para bintang Korea yang kebanyakan oplas, kecantikan Hye Bin terlihat alami. Shahib teringat candaan teman-temannya di kampus ketika tahu dia akan ke Korea. Mereka minta dibungkuskan satu gadis Korea, tak apa walau tak seperti para aktris Korea, yang penting "hidup". Malam itu berakhir damai untuk mereka dan Shahib pun tidur lelap karena kecapaian.