webnovel

Serendipity (Vara P.O.V)

"Sejak alam semesta diciptakan, semuanya telah ditakdirkan. Jadi, biarkan aku mencintaimu"

****

Namaku, Vara. Aku berusia 16 tahun. Bersekolah di salah satu SMA Negeri di kotaku. Aku sudah menjadi siswi kelas 11 tiga bulan ini. Minggu lalu aku disibukkan dengan seleksi olimpiade matematika tingkat provinsi. Dan ku harap aku bisa lolos.

Aku memiliki mama yang bekerja di salah satu perusahaan advertising yang memiliki jadwal yang lumayan sibuk dan papa yang bekerja menjadi tentara yang menjaga perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di pulau Kalimantan dan sangat jarang pulang ke rumah. Walaupun begitu, papa tak pernah lupa untuk memberi kabar walau terkadang hanya SMS ataupun pesan suara. Dan satu orang lagi. dia memiliki wajah yang serupa denganku walau dari segi tinggi badan kami berbeda. Nada namanya. Kembaranku yang lahir berselang 5 menit setelahku.

Aku menatap langit-langit kamarku. Lantunan lagu Justin Bieber mengalun dalam ruang pendengaran. Pikiranku mengulang kembali apa yang baru saja terjadi. Tepatnya tadi sore usai menonton pertandingan tim basket sekolahku dengan SMA Bakti Jaya. Performa tim basket sekolahku sedang bagus-bagusnya. Terbukti dengan mampu mengalahkan tim basket SMA Bakti Jaya tanpa kendala. Yogi juga terlihat sangat semangat. Penampilannya juga sangat-sangat baik.

Tiba-tiba saja bibirku tertarik membentuk senyuman. Oh, nampaknya aku terlihat seperti orang bodoh sekarang. Boneka Mang dalam pelukanku ku pukul-pukul gemas. Ah, rasanya pipiku memanas saat ini.

****

"Var."

"Ya?"

"Salah nggak kalo gue suka sama seseorang?" langkahku terhenti. Otomatis Yogi juga menghentikan langkahnya. Kepalaku menoleh padanya, dan dia juga menatapku. dadaku bergemuruh, pikiranku melalang buana membayangkan siapa cewek beruntung yang disukai oleh Yogi. Jangan bertanya kenapa aku begini. Kalian sudah tahu kan kalau aku menyukai Yogi.

Singkat cerita aku menyukainya sejak SMP. Dia keren, ganteng, tapi dingin. Apalagi kepada orang asing yang tidak jelas. Namun berkebalikan dengan orang-orang yang disayanginya, sikapnya akan sangat ramah dan bersahabat.

Walaupun begitu, dia tetap dingin kepadaku. Apa mungkin dia tidak menyukaiku?

Aku tak menjawab pertanyaannya itu. memandangnya dengan mengerutkan kening. Dia membasahi kedua belah bibirnya hingga dia mengatakan kalimat yang membuatku membeku sekaligus membelalakkan kedua bola mataku—terkejut.

"Gimana kalau gue… gue suka sama lo?"

"Ka-kamu… kamu pasti bercanda kan Yog?" Rasanya tak percaya dengan apa yang baru saja Yogi katakan padaku.

"Nggak. gue nggak bercanda. Gue serius. Jadi, lo mau nggak jadi pacar gue?"

****

Mengingatnya kembali membuatku berdebar. Sungguh rasanya tak bisa ku percayai. Atau tadi aku hanya berhalusinasi? Oh, apa mungkin tadi Yogi salah makan? Benar. Mungkin dia salah makan?

Setelah mendengar pernyataannya, sepanjang jalan menuju ke rumah kami berdua hanya diam. Tak ada yang bicara. Suara deru kendaraan di jalanan yang menguasai seluruh ruang pendengaran yang tertutup helm.

Sesampainya di depan rumah, setelah turun dari boncengan aku tak bisa berkata-kata. Hanya memandangi Yogi dan Yogi terdiam di tempatnya. Mungkin kemarin-kemarin aku langsung mengucapkan terima kasih dan langsung berjalan masuk ke rumah. Tetapi kakiku rasanya terpaku tak mampu berjalan, padahal pikiranku berkecamuk agar aku segera masuk. Sungguh keheningan ini menyebalkan hingga Yogi berhasil memecahkannya.

"Nggak perlu sekarang lo jawab pertanyaan gue. Gue tunggu sampek lo siap."

Setelah itu Yogi meninggalkanku yang memandangnya heran. Sungguh rasanya aneh sekali. Ini semua terasa tidak benar. Mengingat sikap Yogi yang tak pernah ramah, walaupun akhir-akhir ini dia sedikit baik padaku. Akan tetapi, sudut bibirku tertarik ke atas, membentuk senyum aneh. Rasanya pipiku memanas. Jantungku berdebar lebih cepat dari sebelumnya dan ini membuatku bertingkah sangat aneh—sembari masuk ke rumah berjalan melompat-lompat kecil dan bersenandung Nada yang tak jelas apa lagunya.

Oh sepertinya hari ini aku sudah gila.

****

Pagi ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Kalau kalian berpikir aku tidak bisa tidur semalaman, kalian salah. Bahkan aku tidur lebih awal. Usai melakukan kegiatan rutinku setiap pagi aku keluar dari kamar menuju ruang makan. Ku dengar suara Nada dan mama tengah berbincang dengan seseorang dengan suara khas laki-laki. Aku menghentikan langkah sebelum sampai di ruang makan. Masih dalam jarak yang tak terlalu jauh, terlihat Nada tengah mengobrol dengan seorang laki-laki yang tak lain adalah cowok yang kemarin menyatakan pernyataan suka padaku.

Keduanya tiba-tiba tertawa. Bahkan Nada sampai menepuk bahu Yogi kencang membuat cowok itu mengaduh sekali lalu tertawa.

Mendadak rasa tak suka muncul pada diriku. Kedekatan keduanya yang membuatku iri. Bagaimana Yogi tampak nyaman mengobrol dengan Nada. ekspresi, tingkah laku dan tatapannya seakan tergurat di wajah tampannya.

Suatu kenyataan yang tak pernah Yogi berikan padaku. Tetapi, bagaimana cowok itu mengatakan kalau menyukaiku? Apa yang ia lihat dalam diriku selama ini sehingga dia mengajakku berpacaran? Apa dia sungguh-sungguh akan ucapannya?

"Vara, kenapa kamu diam di situ?" suara mama memecahkan lamunanku dan juga dua orang yang telah menjadi objek pengamatanku sedari tadi. Aku tersenyum. aku harus menyembunyikan rasa tak enak itu. aku berjalan mendekat ke arah mama yang sibuk menyiapkan makanan untuk kami. Sedangkan Nada dan Yogi menatapku.

"Oh tadi aku mikir apa ada buku ku yang belum ku masukkan ke dalam tas, Ma. Tapi sepertinya sudah semua," jawabku yang kuakhiri dengan cengengesan agar Mama dan lainnya tak curiga. Aku mengambilkan mangkuk besar putih yang berisi nasi goreng yang masih mengepulkan asapnya ke atas meja makan.

"Hai, Var," sapa Yogi ramah. Aku tersenyum membalas sapaannya. Aku kembali membantu mama mengambil piring dan sendok.

"Hari ini lo bareng sama gue ya?"

Aku menatap Yogi tak percaya. Dia mengajakku berangkat bareng?

"Iyain aja deh, Var. sekarang lo nggak perlu naik bis lagi. kan dah ada pangeran Yogi tampan yang nganterin," celetuk Nada menggoda kami berdua yang dihadahi Yogi dengan dorongan pada lengannya. Nada menggerutu lalu menggodaku dan Yogi kembali. "Inget! Kalau udah jadian nanti traktir gue oke?"

Nada tahu? Apa Yogi menceritakannya pada Nada?

Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. aku duduk di depan Yogi dan Nada. mama duduk di sampingku. Selanjutnya kami sarapan dengan santai. Nada sesekali menggodaku, Yogi dan aku hanya diam malu-malu. Sedangkan mama hanya tersenyum menanggapi tingkah putrinya satu itu. Nada memang begitu cerewet sekali namun ceplas-ceplos.

Tak terasa sarapan kami telah selesai aku dan Yogi berpamitan untuk berangkat dahulu. Mama menganggukkan kepala, sedangkan Nada ke kamar untuk mengambil ponselnya yang tertinggal.

Kami berdua berjalan menuju ke motor yang Yogi siapkan. Yogi duduk di depan, aku seperti kemarin duduk di belakang. Mendadak aku teringat kemarin sore dimana tanganku lancang sekali memeluk perut Yogi tanpa seijinnya. Tanganku mengepal erat, berusaha untuk menghalau perasaan ingin melingkarkan lengan ini pada Yogi.

Perlahan motor Yogi meninggalkan halaman rumahku. Kulihat Yogi sempat melirikku dari kaca spionnya.

"Kok lo nggak meluk sih Var?"

"A-ah. Aku nggak papa kok. Lagian nggak sopan kalau aku meluk kamu tanpa seijin kamu."

"Bukannya kemaren nggak perlu gue ijinin lo langsung meluk gue?" mendengar perkataannya mendadak membuat kedua pipiku memerah malu. Ku kira dia tak peduli. Ternyata dia malah mengingatnya.

"I-itu hanya refleks kok."

"Sekarang lo boleh meluk gue. Bebas. Kan sekarang lo pacar gue? Eh, calon pacar gue ding," ujar Yogi lalu diakhiri kekehan. Sepertinya Yogi agak geli saat mengatakannya. Oh, pipiku terasa makin panas dan jantungku yang sudah berdetak tak normal, kini makin cepat.

Ragu, tangan kananku meraih pinggang cowok jangkung di depanku ini. posisi miring ini cukup membantuku menyenbunyikan detak jantungku yang cepat dari Yogi. Aku tersentak kaget saat tiba-tiba tangan kiri Yogi meraih tangan kananku sedikit menekankannya pada perutnya mungkin supaya aku lebih erat lagi memeluknya. Bahkan kini tubuhku benar-benar rapat pada punggungnya tanpa celah. Apalagi hari ini dia hanya memakai seragam tanpa jaket. Ah… sudah lah, hentikan pikiranku yang sudah tak tau lagi arahnya kemana.

Sepanjang jalan aku dan Yogi terdiam usai pembicaran tadi. Mataku memilih memandangi jalanan yang padat kendaraan. Pokoknya aku harus menghindar dari punggung Yogi. Kenapa sih punggung cowok itu menggoda banget.

Ku hela nafasku saat kami sampai di sekolah. Beberapa temanku menyapaku ku balas dengan lambaian tangan. Hingga akhirnya motor matic Yogi berhenti di area parkir sekolah. Ku lepas helm yang ku pakai. Yogi menerimanya.

"Terima kasih. Kalau begitu aku duluan," pamitku. Namun belum selesasi aku melangkah tanganku ditahan oleh Yogi.

"Barengan aja." Belum sempat aku membalas perkataannya dia seenaknya menarik tanganku. Akhirnya aku dan dia berjalan beriringan. Sudah jelas, kalau aku berjalan di belakangnya dia pasti bakal narik aku dan bilang 'Gue nggak suka ya kalo jalan sama temen depan belakang kayak tadi?'.

Beberapa orang menatap kami. Bahkan ada yang membisikkan sesuatu pada teman di sampingnya sembari melirik-lirik kami berdua. Ah, pasti masalah aku yang berjalan bersama Yogi yang cukup populer ini karena menjadi salah satu anggota tim basket sekolah.

Hampir sampai di kelas 11 IPS 3, langkah kami tak melambat. Dan benar dugaanku, kami melewati kelas Yogi dan terus berjalan. Namun segera ku hentikan langkahku dan juga Yogi di depan tangga menuju lantai dua dimana kelasku berada.

"Yog, sampek disini aja ya?"

"Lah kok-"

"Nggak papa. Kamu nggak perlu repot-repot nganterin aku sampek ke kelas juga. Tapi terima kasih sudah mau nebengin aku."

Yogi mengangguk. "Oke. Kalau gitu gue ke kelas dulu."

"Iya."

Yogi beranjak. Berjalan menuju ke kelasnya. Aku masih menatapnya sampai dia menghilang setelah masuk ke dalam kelas. Aku berbalik dan mulai menaiki tangga. Sungguh, hari ini jantungku benar-benar bekerja tak normal. Bisa-bisa saking cepatnya dadaku meledak. Begitu juga dengan kedua pipiku yang tak berhenti memanas setelah merasakan perlakuan Yogi yang manis.

Bahkan bibirku sepertinya tak berhenti tersenyum karenanya. Sesampainya di kelasku, tiba-tiba aku mendapatkan sorakan dari beberapa teman yang sudah datang. oh, apakah mereka tahu aku berangkat dengan Yogi?

"Cieeee… bau-baunya ada yang jadian nih?"

"Keknya enak ya pacaran sama tetangga sendiri. Kalo kangen tinggal jalan ke samping rumah. Hehehe…"

"Paacarku memang dekat. Lima langkah dari rumah, ah~"

Aku sudah tak mampu menyembunyikan rasa maluku di hadapan teman-teman. Kedua telapak tanganku menutup wajahku rapat. Menutupi wajah malu. Godaan-godaan itu sungguh menggelikan.

"Cieee~ yang malu. Jangan lupa traktir aku ya Var nanti," kali ini Winda yang menjabat teman sebangku menggodaku.

"Apaan sih Nda. Kami belum pacaran kok?" balasku menyangkal godaan.

"Iya iya. Masih on the way menuju kesana kan? Aku tunggu deh. Tenang." Sepertinya jika ku tanggapi terus, Winda akan makin gencar menggodaku. Jadi ku biarkan saja dia berceloteh sesukanya

****

"Var, duluan ya," sapa Bima usai membereskan buku-buku miliknya. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Cowok itu pergi meninggalkan aku yang masih membereskan buku-buku milikku di atas meja.

Langkahku gontai keluar dari perpustakaan. Rasanya capek, mengantuk dan lapar. Lorong skolah tampak sepi, tak ada manusia lain. Tadi sempat berpapasan juga dengan satpam sekolah yang berkeliling.

Seperti biasa hari ini aku mengikuti kelas olimpiade matematika. Ku lirik jam di pergelangan tanganku. Jam setengah 5 sore. Jelas saja sekolah sudah sepi begini. Tadi Yogi sempat mengirim pesan padaku katanya pulang duluan dan tak bisa menungguku. Aku sih tak apa, karena dia mungkin juga sibuk dengan kegiatan lain.

"Ah, pesan ojek online aja deh." Tanganku merogoh saku rok mengambil benda elektronik itu.

"Vara!"

Aku mendongak mendapati suara seseorang memanggil namaku dengan lantang. Aku menghentikan aktifitasku dan menoleh ke sumber suara. Aku terkejut mendapati Yogi berdiri di samping pos satpam sembari melambaikan tangan.

Aku membatalkan niat untuk memesan ojek online dan mendekati Yogi.

"Kok lama banget?"

"Eh, yaaa.. biasanya juga pulangnya jam segini kok." Aku terdiam. Yogi berpenampilan beda tanpa seragam. Hanya memakai kaos yang dirangkap dengan jaket dan jeans. Oh, sepertinya dia tadi sudah pulang.

"Kamu kok kesini? Katanya tadi ada keperluan?" kini aku yang balik bertanya.

"Udah selesai kok. Terus tadi nanya Nada lo udah pulang atau belum. Katanya lo belum pulang. Jadi yah, gue kesni deh."

Aku tersenyum mendengar jawabannya. "Ayo kita pulang! Kita mampir dulu ke restoran aja gimana? Lo pasti udah laper 'kan?"

Aku mengangguk. Aku memang lapar sekali. Dia menarik tanganku mengikutinya mendekat pada motornya.

*****

Sebuah restoran menjadi tujuan kami. Kami memilih steak dan segelas lemon tea. Tak ada pembicaraan setelah melakukan pemesanan. Yogi yang sibuk dengan telfon. Dan aku yang memilih membuka materi yang baru ku pelajari hari ini. sepertinya Yogi tengah menelfon Dean membahas pertandingan besok.

Pesanan datang. kami menghentikan aktifitas kami dan mulai fokus makan. Sungguh, ini terlalu hening.

"Yog," panggilku. Yogi memandangku. Mulutnya masih sibuk mengunyah makanan, tetapi alissnya sedikit terangkat merespon panggilanku. Aku ragu menanyakan hal ini. tapi, kalau tak ku tanyakan nanti aku makin penasaran.

"Sebenarnya… apa yang bikin kamu menyukaiku?"

Yogi yang sibuk memotong daging steak terhenti. Dia tak segera mengangkat wajahnya dan meamandang ke arah makanannya. Aku masih menatapnya, berharap Yogi segera mengungkapkan alasannya mengapa dia menyukaiku dan mengapa dia menginginkan aku menjadi kekasihnya.

Rasanya begitu lama menunggu jawaban itu keluar dari mulut Yogi namun dia hanya diam. Mendadak hati gelisah, dan rasanya sedih mengetahui bahwa cowok di depanku ini tak tahu alasan itu. menyerah mungkin lebih baik.

"Karena aku nggak suka. Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama cowok lain. Terutama sama Brandon."

Mendengar alasannya membuat mulutku menganga. Yogi tidak menyukai cowok lain dekat denganku? Itu artinya dia… cemburu?

Jantungku berdebar mendengar jawabannya. Oh, pipiku sepertinya mulai memanas. Rasanya ingin menepuk pipiku sendiri saking tak percayanya usai mendengar jawaban Yogi.

"Gue pokoknya nggak suka kalau lo deket-deket sama cowok lain. Apalagi senyum ke cowok lain. Jadi gue pengen lo jadi pacar gue." Aku tak menyangka kalau Yogi se-protektif ini. jadi kini dia menganggapku miliknya.

"Ada lagi yang mau kamu tanyain?"

Aku menggeleng. "Tidak. Hanya itu." setelah itu kami kembali menikmati makanan kami. Walaupun begitu pikiranku benar-benar tak fokus untuk memakan steak yang tinggal sedikit. Malah memikirkan tentang apa yang menjadi alasan Yogi menjadikanku pacar. Cowok itu cemburu melihatku dekat dengan cowok lain. Mataku memandang Yogi sekali lagi. Selama ini sepertinya Yogi tak pernah terlihat cemburu saat aku dekat dengan cowok lain. Rautnya selalu datar begitu saat bersamaku.

"Var, hey. Kok ngelamun." Suara Yogi menyadarkanku. Aku mengedipkan kedua mata beberapa kali lalu memandang Yogi. Ah, aku ketahuan tengah melamun. Kulihat steak miliknya sudah habis. Sedangkan milikku tinggal sedikit lagi.

"Ah, iya. Maaf. Ini sebentar lagi akan habis," kataku sembari kembali melanjutkan aktifitas makan. Agak cepat agar Yogi tak terlalu lama menungguku.

Belum usai aku memakan dua potongan steak, Yogi tiba-tiba berdiri. "Gue mau bayar dulu."

Tak lama dia kembali dan aku juga baru selesai makan. Akhirnya kami meninggalkan restoran. Bahkan matahari sudah kembali peraduannya dan gelap menggantikan. Jalanan tampak ramai, berbagai kendaraan berlalu lalang. Dan hawa dingin terasa.

Tak terasa kami sampai di area perumahan kami. Hingga motor Yogi berhenti di depan rumahku. Setelah turun dari motor dan mengambalikan helm aku tak lantas meninggalkan Yogi.

"Yogi."

"Ya?"

"Untuk tawaranmu kemarin…" dia menolehkan kepalanya ke arahku. Lidahku mendadak kelu. Oh, anganku masih mengambang. Terus memutar berbagai kemungkinan yang akan terjadi dengan keputusan yang akan aku ambil setelah ini. namun, aku tahu kesempatan ini mungkin akan hanya terjadi satu kali ini, maka aku setidaknya harus mencobanya.

Setelah menarik nafas dalam-dalam segera ku utarakan apa yang telah menjadi keputusanku saat ini. "…aku menerimanya. Aku mau kok jadi pacar kamu."

Yogi mengedipkan kedua matanya cepat. Apa dia sepertinya masih terkejut dengan perkataanku? Tiba-tiba cowok itu turun dari motor dan berdiri menghadapku. Dia tersenyum. sampai kedua mata sipitnya itu menjadi segaris saja. Bahkan dia juga menunjukkan gummy smile yang manis itu. sebuah senyuman yang tak pernah ia tunjukkan padaku selama ini.

Tangannya terangkat lalu mengusap puncak kepalaku lembut. "Terima kasih."

Mendengar ucapannya membuatku ikut tersenyum juga. Ah,jantungku kembali berdebar. Sungguh rasa bahagia ini benar-benar tak terkira. Sepertinya aku tidak akan melupakannya seumur hidupku. Tidak akan aku lupakan!

"Oke, sekarang kita pacaran. Jadi,jangan dekat-dekat sama cowok lain oke, karena kamu milikku." Oh, dia sekarang ber aku-kamu. Ini benar Yogi 'kan? Dia… romantis!

"I-iya."

"Kalau gitu kamu masuk gih."

Aku mengangguk patuh. "Aku masuk dulu. Selamat malam, Yog."

"Selamat malam, Vara." setelah itu aku berbalik. Berjalan menuju ke rumah. Ku dengar suara motornya menyala, kemudian bergerak meninggalkan depan rumahku menuju ke rumahnya.

Aaaaaa… Hari ini aku resmi pacaran sama dia! Yeahhh!

*****