Seperti mimpi, Raja Millerius sudah tak ada ketika Apo terbangun. Pagi harinya kamar lengang hanya dirinya di sana. Ranjang kiri sudah dingin, pertanda dominan itu pergi awal. Mungkin masih subuh, saat orang-orang kebanyakan tidur. Apo mengusap lipatan seprai bekas ditimpa tubuh kekarnya. Aroma harum khas hujan deras semerbak dalam ruangan.
Phillip dan Phelipe permisi untuk menanyakan keputusan Apo selanjutnya. Si bayi lemas, tapi mau bangun meskipun menyeret kaki.
"Serius, Sayang? Bayi ibu tidak perlu memaksakan diri lagi. Stop saja lah. Kewarasanmu masih lebih penting," kata Phelipe. "Menikah dengan kenalan Ayah pun tidak masalah. Namanya Reggie D Alvhazard. Cuma dulu ditahan karena kami ingin kau mencoba bersaing di kerajaan."
"Apa?!" kaget Apo. "Barusan aku salah dengar ya? Kenalan-kenalan siapa? Kok rasanya mendadak sekali."
"Iya. Ayah siap memberitahu partai untuk menghentikan kampanye kita," timpal Phillip. "Dukungan Livingstone memang banyak, tapi mereka tidak membantumu secara langsung. Fakta di gelanggang kau selalu sendirian. Benci sekali bayi Ayah menangis berkali-kali begini," tuturnya.
Apo pun memijit kening. Rasanya pusing hingga kepalanya berdenyut-denyut. "Ummgh, bisa jangan bahas topik lain?" pintanya. "Kalau aku bilang berangkat berarti berangkat lagi, Yah. Ibu juga tidak boleh menahanku mauku. Cih," katanya. "Lagipula jika menyerah, poinku tetap berkurang hingga game over. Yang ada nanti aku jadi Nicholas Part-2, cuma karena si Reggie."
"Yakin?" kompor Phelipe, yang effort-nya sampai menyuruh dayang mengambilkan lukisan sosok Reggie dari kantor. Sang ibu mengaku sudah menyimpannya dari lama. Reggie sebenarnya ingin bertemu Apo tapi dilarang Phelipe terus. "Tapi dia ganteng loh, Sayang. Baik lagi. Umurnya sama dengan Yang Mulia. Dia komandan baru setelah Ayah menjadi gubernur."
"Ibuuu ...."
Apo pun mengembalikan lukisan tersebut. Dia merona saat sadar akan dijodohkan dengan lelaki terus mulai sekarang. Habis sudah masa hidup Apo sebagai gamer yang miskin. Dia akan dikejar penis para dominan, hingga diklaim salah satunya.
"Ha ha ha ha ha, lucu bayi. Kenapa sih kok malu-malu. Ayah kenal baik dengan dia loh Sayang. Yaaaaaaaaa?" bujuk Phelipe. "Kalau mau kalian tinggal dipertemukan. Ibu dan Ayah bisa atur acaranya secepat mungkin. Dia pasti langsung mau."
Apo pun panik tidak karuan. Dia menjerit seperti alergi kurap. "Tidak akan. Tidak suka. Singkirkan lukisannya dariku. Please!" protesnya sebelum beranjak ke kamar mandi. "Ayah sama Ibu takkan paham urusanku! Ughhh! Aku marah kalau kalian masih begini! Kesal!"
Pintu putih itu pun dibanting kasar. Empat dayang yang ingin masuk membantu Apo malah diusir keluar. Si manis dandan sendiri dan siap-siap secepat mungkin. Tak apalah dasinya miring, bisa dibenahi lagi ketika nanti dalam kereta.
"Syuh, syuh, syuh. Enyah kalian semua. Pergiiiiiiiii!" kata Apo, disusul Phillip dan Phelipe yang didorong keluar kamar. Keduanya tidak bisa meruntuhkan keteguhan Apo. Lelaki carrier itu sampai di panti jompo wilayah Bradford pukul 9 pagi. Sambutan untuk Apo tidak semeriah di panti asuhan. Orang sepuh mungkin benci berisik, sehingga acara dibuat biasa. Meski begitu Apo masih ingin berjuang terus-menerus. Dia dikagetkan seorang lansia yang ketika datang langsung menciumi tangannya.
"Haloooo, cucukuuuu! Ruruuu! Ruruuuu! Ya ampun tanganmu wangi sekali--he he he he he he ...."
"Anying! Syok! Siapa yang cucu siapa?" batin Apo terpana-pana.
"Aduh bukan, Kakek Lupiiii. Anda salah orang ya ... barusan kan Tuan Nattarylie," kata caregiver berbaju suster yang buru-buru menyusul. Dia membantu Lupi lepas sambil membisiki Apo bahwa si lansia menderita Alzheimer. Apo pun diminta maklum karena kepikunan orang seperti ini lebih parah, beda lagi dengan yang menua secara alami.
"Oh, begitu ya," pikir Apo baru tahu. Dia berusaha tampak prima seharian itu, padahal luka-luka di kaki serasa panas dan ngilu. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu tentang kondisinya. Challenge yang terpisah memang lebih menegangkan karena Apo tidak tahu seperti apa kondisi lawan.
Apakah mereka bisa menghadapi lansia?
Apakah mereka ada yang jijik dan malas?
Apakah mereka kesulitan di seberang sana?
Karena sejauh ini, Apo menghadapi ibu berusia 68 tahun saja sering mengeraskan suara untuk bicara, apalagi yang di atas 100 tahun?
Tugas Apo hari ini memang tidak perlu fisik. Namun dia harus sabar selama berinteraksi dengan para lansia di tengah kursi mereka. Apo serasa jadi guru TK versi ngotot-ngotot kencang. Untuk menceritakan lelucon lucu dia harus berusaha keras.
"JAAAADIIIIII, WAKTUUUUU SAYAAAA MEMBUAT BEBEEEERAPA KUEEEEE, KAN SMOOOTTHHH CREAMMM-NYAAAAA HARUSSSS DIMASUUUKKKAN SEPERTI INIIIII BIAR CRUUUUUTTT EH!! TAPI MALAH MUNCRAT DI MUKANYA HERYY... blah ... blah ... blah ... blah ... blah ... blah ...." hingga berakhir.
Apo lapar dengan tenggorokan kering karena dipaksa "ceramah" 3 jam penuh. Namun, dalam hati sebenarnya dia senang bisa membuat semua orang tertawa. Di sisi lain berhadapan dengan mereka membuat Apo terguncang. Si manis kangen nan sakit hati, dengan hasil pertanyaan sistem akan pesannya ke Ibu Nara.
Setelah mengenal, para lansia pun diminta memasukkan kertas poin ke dalam toples. Isinya nanti menentukan kemenangan Apo yang dinilai langsung oleh empunya. Masing-masing lansia boleh memberikan 5-10 bintang kepada carrier itu. Seberapa ramah dan menyenangkan Apo --andai-- menjadi ratu akan di-rating sebelum maju ke bonus level.
"Terima kasih, Niniiiii. Lovelyyyy, Bubuuu. Awww, dermawan sekali Nyonya Luccyy!" kata Apo sambil berkeliling untuk menerima poin. Dia berpamitan dari panti jompo itu pukul 12 siang. Apo terharu mendapat hadiah jepit kesayangan salah satu yang bernama Mamay.
Mamay bilang Apo secantik cucu kecilnya. Mamay ingin Apo memberikan itu ke orang yang disayang suatu hari.
"Hehew, terima kasih ya," kata Apo. "Aku sangat menyukai ini."
"Oke, Sayang ...."
Mamay memeluk Apo sebelum masuk kereta kuda.
"Dah, Mamayyyy ...." kata Apo sambil melambaikan tangan kepada mereka.
Tak perlu menunggu waktu lama lelaki carrier itu mencicil proses penulisan 20 "surat cinta". Setidaknya ada kerangka inti, yang nantinya bisa dipakai mengerjakan seluruh bagian.
[ Whoaaaa, Anda terlihat cerah sekali, Tuan Nattarylie. Tugas hari ini sukses yaaaa? Kira-kira saya bisa bantu apa untuk menyenangkan Anda? Mau camilan tambahan tidak? Saya bisa berikan sesuatu karena jatah jajan Anda yang terakhir sudah lama]
Apo justru mengayunkan tangan ke depan muka. "Tidak perlu, tidak perlu. Aku terlanjur fokus sekarang. Mending kau rekam saja semua perkataanku. Nanti tinggal kusalin saja saat bonus level dimulai."
[ Oh, bisa dong]
[Kalau begitu tolong tunggu 30 detik!]
[Tring! Tring! Tring!]
[Rekaman pertama Anda dimulai dari sekarang!!]
"Terima kasih ...." kata Apo mengawali. "Pertama-tama, Dear Nyonya Ivywood. Ini saya, Count Nattarylie. Siang ini saya ingin menulis surat karena sebulan lagi Anda berulang tahun. Terima kasih sudah bertahan hingga sekarang, karena dari mata saya terlihatlah seberapa kuat sejarah mengalir bersama waktu. Anda tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun meski cucu-cucu Anda makin dewasa. Percayalah bahwa mereka akan melihat Anda sebagai sosok yang ...." dan seterusnya.
Belajar dari Raja Millerius, Apo menyadari betapa pentingnya bersikap professional. Dia akan mengurangi rengekan manja, jika tugas negara mendatanginya seperti ini. Apo ingin tetap menyelesaikan jadwal sebaik mungkin. Tak peduli, tak masalah ... meski luka-luka kakinya terbuka lagi.