webnovel

The Mistake (balas dendam)

Tak pernah terpikirkan oleh lyra, pemuda tampan, mapan dan seorang presdir lebih memilih ia yang punya wajah jelek dari sang kakak. Terlebih sebelumnya kedua orang tersebut berpacaran. Lalu siapa sangka niat Denes Alkhair adalah memilih ia hanya agar sang mantan kekasih, kakak Lyra menyesal lalu kembali padanya. Saat hari pernikahan, Lyra harus menanggung malu saat Denes bilang ingin menikah dengan sang kakak. Akhirnya Lyra sadar, ia hanyalah umpan basi. Kemunculan Martin Jinan yang sudah lama membenci Denes membuat Lyra terjebak antara pilihan sulit. Akankah Lyra menikah dengan Martin diiming-imingi pembalasan dendam pada keluarga Alkhair? Baca novel Raein23_Raein yang lain, Berawal dari Satu Malam dan Devil CEO and Stronger Girl.

Raein23_Raein · perkotaan
Peringkat tidak cukup
165 Chs

15 Angry!!!

Orang yang ditanya menyeryit, Lyra gemas, lelaki tersebut imut dengan dimple pada kedua belah pipi. Bentuk wajah bulat, mata belo, hidung mancung, bibir tipis dan gigi kelinci.

Eh, Belum tahu sih soal gigi kelinci. Habis belum senyum itu orang.

Dimplenya terlihat saat setelah menyeryit, orang tersebut sedikit tersenyum. Wah... Dewa Yunani kuno kok tersesat kesini ya?

Sayang sekali Lyra kesal orang ini kemarin. Lalu rasanya masih belum hilang.

"Maaf Nona, tunggu Tuan bilang. Apa ada yang ingin Nona tanyakan lagi, kalau tidak saya harus lanjut urus pekerjaan."

Lyra berdehem. Oke, ia tak harus lama-lama mengagumi wajah orang didepannya sekarang. Hal yang harus ia lakukan adalah masak.

Untung Martin belum bangun, Lyra bebas lakukan apapun. Walau sementara gak apa-apa.

Arsy terlalu dingin. Hah... kesal.

Lihat saja nanti.

***

"Jangan panggil Nona, panggil Lyra. Silahkan pergi."

Baru sekarang Lyra ngomong banyak ke orang baru dikenal. Rasanya aneh namun Lyra masih terlihat tenang.

Tak harus berlebih, masak aja biar cepat tidur lagi. Sempat atau tidak, pikiran Lyra soal tidur.

Sekitar kurang lebih 20 menit kemudian masakan Lyra siap. Ia tak tahu kebiasaan sarapan Martin, untuk itu, Lyra masak omelette sayur dan sup ayam. Kalau gak makan nasi kan bisa.

Orang kota pasti sering makan roti dan segelas susu. Nah kalau Lyra sih, mau makan apapun pasti yang berat-berat. Harus pakai nasi.

"Masih belum bangun juga, dasar kebo."

Lyra yang selesai masak pun melihat-lihat dapur. Tak lama kemudian ada seorang asisten rumah yang menuju kearahnya.

Bagus, sekarang ia ingin tanya seluk-beluk mansion. Nyonya rumah kok masih tersesat, kan gak lucu.

"Bibi, aku mau minta tolong. Boleh?"

"Tentu Nona."

Aneh dipanggil begitu. Nanti Lyra harus buat agar asisten rumah panggil ia nama.

"Belum sekarang Bi, tapi nanti. Aku ingin dijelasin ruangan mansion. Nah kalau sekarang mau tanya makanan kesukaan Tuan."

Sang bibi tersenyum. Ia biasa bekerja siang hari di mansion sang majikan. Majikannya ingin privasi, untuk itu asisten rumah harus pulang saat malam. Cuman Arsy yang tinggal di rumah tersebut.

Asisten rumah pun tak banyak, hanya bibi itu seorang. Mansion bersih sebab jarang yang berkunjung.

Martin pun lebih sering di apartemen ketimbang mansion.

"Tentu Nona. Nona habis apa?"

"Masak," ujar orang tersebut santai.

Namun, respon yang Lyra dapat justru berbanding terbalik, sang bibi terlihat tak setuju dengan aktivitas Lyra. Walau itu untuk hal baik.

Lyra pikir begitulah.

"Tuan suka ayam goreng pedas Nona. Tolong Nona jangan masak terus, nanti kami dimarahi Tuan. Panggilan Nona ke Tuan lebih baik diganti lho. Tuan bisa marah ke Nona kalau manggil gitu."

Lyra terlihat tak nyaman. Ekspresi tersebut ia ganti agar lebih enak dipandang. Sang bibi orang baik. Lyra berusaha agar mereka nyaman satu sama lain.

Gak bisa ya panggil Martin 'tuan,' kan Lyra cuman panggil bentar untuk kata ganti doang kok.

"Iya deh Bi. Kita bagi tugas ya, sarapan biar saya yang masak. Nah untuk makan sore dan siang baru Bibi. Saya minta izin ke Martin. Kalau gak dikasih ya udah gak apa-apa."

Bibi tersebut tersenyum hangat. Nonya barunya ramah tidak seperti perempuan-perempuan yang sering diajak tuan mereka ke mansion. Sudahlah genit, tak enak dipandang, kasar, sok besar lagi.

Pokoknya gak ramah. Kalau Lyra, dia cantik kok. Inner beauty terpancar dan wajah standarnya tertutup oleh cara ia berucap.

"Baik non Lyra."

"Bi... panggil Lyra aja. Oke."

Bibir Lyra mengerucut khas orang ngambek. Gak nyaman asisten rumah itu panggil nona terus. Yang enak didengar dong.

"Ya sudah, Lyra."

Ujung-ujungnya mengalah kan?

Terpaksa atau tidak, yang penting keinginan Lyra terpenuhi.

"Nah gitu dong Bi."

"Oh ya Bi, Arsy bekerja sebagai apa di mansion?"

Bersamaan pertanyaan Lyra, orang yang ditanya tepat dibelakang orang tersebut. Saat Lyra lihat, Arsy kaget dengan pertanyaannya. Why, salah?

Kok aneh ya?

Tadi bukannya Arsy bilang dia sibuk...?

Tahu-tahu udah main muncul aja itu orang.

"Jangan bertanya soalku Nona. Tunggu Tuan yang menjelaskan. Nanti terlibat masalah."

"Aish kaku benget sih. Bertanya aja kok ada aturan?"

Lyra bersikap cuek sambil kembali fokus ke aktivitas tata masakannya. Yang benar, gak boleh bertanya soal apapun?

Kan hidup itu bebas. Dasar.

"Apa apa ini?"

Eh?

Lyra terpaku lihat ekspresi datar Martin yang baru bangun tidur. Semalam ia di serang habis-habisan. Tahu-tahu malah orang itu yang bangun telat.

Tadi pagi aja baguninnya susah minta ampun!

Termasuk cepat sih, Lyra piki,r sampai jam sembilan Martin bakal betah meringkuk di kasur.

Apa sekedar perasaan Lyra, tapi Martin tengah menatap Arsy tajam?

Dasar suka berlebih.

"Arsy?"

"Gak usah berlebihan deh Martin. Aku cuman ramah-tamah sama asisten rumah kok."

Pagi-pagi sudah dapat wejangan, Martin tak suka!

Sang istri harus dikasih rules kalau ingin tetap tinggal.

Hukum.

***

"Dengar, kalau kau ingin tinggal di sini dan kita sama-sama untung, balas dendam dan semua itu, kau harus ikut aturan di rumah ini."

Lyra berdecak kesal, benar isi pikirannya, Martin orang yang pencemburu. Posesif plus banyak aturan. Gak boleh inilah, itulah, pokoknya mau gerak aja terbatas.

Lalu dia akan sangat tersiksa. Pasti.

Untung tadi gak ada badai petir disiang bolong. Kiasan itu mah, maksudnya Martin gak ngamuk.

Lyra gak nyaman digituin. Dia terbiasa bebas. Orang introvert dan pendiam butuh ruang untuk dirinya sendiri termasuk mengekspresikan apa yang ia mau.

Kalau Martin gak suka, Lyra tertekan.

Berusaha tenang demi kalimat harmonis, Lyra tarik napas panjang setelah itu menatap Martin lurus. Sambil tersenyum hangat ia pun bertanya ke orang tersebut.

"Ya sudah peraturannya gimana? Aku istri lho bukan barang yang ada hak kepemilikan. Disini hati yang banyak terlibat, bukan akal sehat bercampur logika. Aku gak nyalahin dua hal itu sih, cuman maksudku, kamu ngertiin aku. Kita kan suami istri bukan orang asing. Aku mau kita pahamin masing-masing. Antara aku dan kamu."

Sudah bagus belum pilihan kalimatnya?

Lyra bukan orang syair dan puitis. Kalau soal perasaan ia cukup bisa ngatur dikit-dikit. Tapi masih banyak ragu.

Lyra hanya anak lulusan sastra.

Bukan hal abstrak yang Lyra perhatiin, melainkan makna yang ingin dicapai.

Martin berdecak, ia ingin marah, tapi kenapa sekarang malah di dikte?

Harus cepat koreksi Lyra biar gak buat kesal terus.

Tangan bersedekap di dada, angkuh dan dagu terangkat. Ini nih yang Martin bilang, "pertama, jangan ngobrol terlalu banyak ke Arsy. Dua, jangan dekat-dekat orang itu. Tiga, gak boleh ikut campur urusan pribadi diluar misi kita ngehancurin Denes. Ya, kecuali ada kaitannya dengan perihal rumah tangga. Empat, selama kamu ingin aku bertahan ke kamu yang diluar standar ini, kamu harus ikut perubahan aturan sewaktu-waktu dan perintahku. Kalau nurut, aku lebih mudah sayang ke kamu."

Eh, sayang?

Benarkah?

Tak mungkin.

*****