webnovel

"Buka Matamu, Elleanor."

Tiga cangkir teh saffron panas mendekati hangat terhidang di atas meja, mendampingi beberapa potong pastry buatan baker handal dari kedai ternama Kota Jakarta. Makanan dan tempat mahal mau tak mau harus dibayar Tyra setiap pertemuannya dengan Maria dan Dira. Jika tidak, mereka akan membuatnnya malu, menghinanya tak mampu bahkan pelit.

Tyra sabar saja, mungkin Ia memang harus membuktikan kekayaannya lebih jelas.

"Langsung saja, apa yang ingin Kau katakan tiba-tiba?" tanya Tyra. Lima belas menit berada di meja yang sama dengan Maria dan Dira sangat membuatnya tak nyaman, ingin lekas beranjak.

Maria menaruh kembali cangkir teh saffronnya usai diteguk sedikit, "Masukkan Dira ke dalam line-up model fashion week. Ini kesempatannya untuk debut sebagai model," ujarnya santai.

Tyra melirik Dira sekilas dengan malas. Adik tirinya itu memang tak banyak bicara jika bersama Ibunya, bak ciut seketika saja.

"Apa manfaatnya jika Aku membantunya debut? Itu bukan urusanku," ketus Tyra dingin, membuat Maria harus banyak-banyak bersabar, meski rahangnya sudah mengeras disana. "Setelah Dira mendapatkan pekerjaannya, Kami akan melepaskan diri darimu."

Tyra berdecih pelan, tersenyum arogan, "Ini keempat kalinya Kau mengatakan hal serupa. Akui saja jika anakmu itu tidak berbakat. Saranku, jangan terlalu memaksakan diri dan cobalah jalur karir lain."

"Siapa Kau mengatakanku tidak berbakat? Kau bahkan langsung menendangku keluar," bantah Dira, sensitif jika menyangkut bakat dan keberuntungan. Rasa iri menggunung semakin membuatnya benci.

"Kau pikir Aku tidak memeriksa rekam jejakmu? Kau didepak dari tiga perusahaan sebelumnya karena Kau kurang berbakat. Sudah kurang berbakat, Kau juga berperilaku buruk. Akui itu, Dira. Jika Kau benar-benar ingin bekerja di perusahaan tempatku bekerja, dibawah pengawasanku, perbaiki dulu dua hal itu ..."

Maria dan Dira terdiam. Tyra berbicara sebagai Art Director saat ini, tidak terbantahkan.

"Aku tidak sejahat itu untuk membuangmu. Sayang Kau hanya berpikir negatif, menganggapku jahat, dan Kau pun tak pernah memanfaatkan momen kegagalanmu sebagai ajang berkaca dan memperbaiki diri. Sampai kapan Kau akan terus seperti itu?" lanjut Tyra menggebu. Susah payah Ia memelankan dan menahan suaranya, kedai tengah ramai, pun paparazzi kedapatan ada diluar sana, memantau lewat jendela berkaca transparan.

Tyra menghela nafasnya sejenak, "Maaf sekali, Aku bukan pimpinan yang ramah, apalagi baik hati dengan seseorang yang masih menyebut dirinya sebagai ... Adikku," finalnya.

Maria tersenyum miring, "Elleanor, apa sebenarnya Kau takut tersaingi?" tanyanya menantang, membuat Tyra mengerutkan alis, "Apa maksudmu? Kenapa Aku harus takut?"

"Kau takut Eric, tunanganmu itu akan menyukai Dira daripada dirimu jika Dira terlalu bersinar, bukan begitu?"

"Ah ..." Tyra nyaris tertawa, "Astaga ...." ujarnya geleng-geleng kepala, "Terserah Kau saja, Ibuku. Eric juga punya selera, dan itu bukan Dira," jawabnya sombong, membuat Dira sungguh naik pitam, "Jangan sombong, Elleanor!!" teriaknya.

"Akk!"

"Dira hentikan!" pekik Maria, menarik tangan Dira yang menjambak keras rambut Tyra.

"Biarkan saja!" Dira sudah kepalang emosi, "Kau kira Kau Ratu? Seenaknya sekali merendahkanku hah!"

"Lepaskan tanganmu, bodoh! Apa Kau tidak punya malu!" Tyra balas membentak.

CKRK!

CKRK!

Suara tangkapan kamera ponsel terdengar nyaring dan berulang, beberapa diikuti cahaya putih LED yang teramat menyilaukan. Orang-orang di kedai, dari dalam dan luar merekam pemandangan langka itu. Beberapa bahkan baru sadar jika dua aktris yang tengah bertengkar itu salah satunya adalah Elleanor Tyra sang supermodel kebanggaan.

Dira menarik rambut Tyra lebih keras sampai gadis itu terpelanting ke belakang, "Kau yang akan malu, Elleanor! Bukan Aku! Maka jangan sembarangan dengan popularitasmu itu!"

"Dira, sudah! Hentikan!"

Dira akhirnya melepaskan tangannya, meski matanya masih nyalang menatap Tyra yang kini sangat acak-acakan, "Kau kira Aku mengemis padamu?! Jangan lupa kalau Kau itu hanya anak haram, Ibumu yang jalang itu bahkan ..."

PLAKK!

"Tyra!!"

PLAKK!

"Ah!"

Astaga!

Apakah itu sungguh Elleanor Tyra?

Kenapa dia menampar adik tirinya?

Hening kemudian, hanya terdengar suara deru nafas Tyra yang menggebu usai mendaratkan dua tamparan keras di kedua belah wajah Dira. Tangannya yang bergetar itu menunjuk-nunjuk wajah Dira tepat di depan mata, "Jaga mulut kotormu itu, brengsek!!"

"Kau tidak akan pernah kuampuni seumur hidup dengan menghina Ibuku! Dan Kau ..." lanjutnya menunjuk Maria yang gelagapan di tempat, "Didik dengan baik anak jalangmu ini! Mulai detik ini berhenti menjadi parasit dan jangan pernah kalian muncul dihadapanku lagi, paham?!"

****

Tak punya tujuan, Tyra masih berada di balik kemudi mobilnya yang Ia pinggirkan di bahu jalan tol. Entah di jalan tol mana, acak saja Ia berkendara kesana kemari. Aplikasi navigator mobilnya mungkin sudah lelah bicara, berkali-kali meminta gadis itu berputar arah menuju apartemennya saja seperti biasa.

Ponselnya di jog penumpang depan tak henti-henti bergetar. Sudah dipastikan itu adalah panggilan dari pihak perusahaan, media, brand kerjasama, sampai Eric. Tyra mengabaikan mereka semua, pikirannya kacau usai pertengkaran dengan Dira dan Maria di kedai sore tadi.

BRAKK!

Tyra memukul kemudi berlapis leather itu keras-keras, merutuki penuh dirinya yang tak bisa mengontrol diri hingga menampar, menunjuk, bahkan memaki Adik dan Ibu Tirinya dengan kata-kata tak pantas di ruang publik.

Reputasinya rusak dalam sekejap mata.

Cancel culture.

Rasanya Tyra tak akan bisa memulihkan reputasinya dalam waktu dekat.

"Hahhhhhh Ya Tuhan ...." Tyra menghela nafasnya sesak, berat, meski tak menangis. Gadis itu mengakui kesalahannya, namun di sisi lain Ia tak menyesal. Siapapun yang menghina mendiang sang Ibu pantas mendapatkannya.

"Baiklah Tyra, Kau harus menghadapi ini ..." lanjutnya menyemangati diri sendiri. Diliriknya ponsel yang lagi-lagi bergetar, tampak di layar Eric memanggilnya.

Tyra mencelos dalam hati, "Maafkan Aku, Ric. Aku mengecewakanmu." Tyra menolak panggilan ke-27 dari Eric. Pria itu benar-benar mencarinya beberapa jam setelah video pertengkarannya menyeruak di media sosial.

Tyra lantas memasang seatbeltnya, kembali melajukan mobilnya kembali ke apartemen, namun baru Ia bingung, "Ini dimana?" gumamnya pelan, matanya sibuk membaca penunjuk nama daerah di papan besi warna hijau atas jalan tol.

TIIINNN!

Whoosh!

Sedan hitam dibelakangnya protes, Tyra melajukan mobilnya terlalu pelan di jalan tol. Maklum saja, gadis itu kebingungan sendiri, pun salahnya berkendara tanpa arah terdorong stress.

"Astaga ini dimana ..." Tyra mulai mengatur navigasi mobilnya. Tapi sial, koneksi internet mendadak terputus ketika dibutuhkan. Ponselnya pun mati kehabisan baterai.

Tyra berdecak sebal, kemudian menginjak pedal gas usai melihat rambu-rambu keluar tol sekitar dua ratus meter ke depan. Gadis itu memacu mobil dengan kecepatan diatas 120 km/jam dengan mata yang tak sepenuhnya fokus ke jalan. Hingga akhirnya Ia tak sadar telah berpindah ke jalur paling kiri seenaknya ...

TIIINN!

TIINNN!

Tegur pengendara mobil di belakangnya. Lalu ...

"Ya Tuhan!! Astaga!!"

Tyra menginjak remnya dalam-dalam, tak sadar jika sebuah truk tronton gelap tanpa lampu baru saja keluar dari rest area dengan kecepatan sangat rendah, bahkan seperti berhenti di tengah jalan.

"Ya Tuhan tolong ..."

Semakin panik, Tyra tak bisa berpindah jalur karena jalan tengah ramai, jika Ia nekat, tentu kecelakaan beruntun tak dapat terhindarkan.

"Ya Tuhan, selamatkan Aku!"

Sampai sekitar sepuluh meter mendekati belakang truk, Tyra pasrah. Ia memejamkan matanya, membanting stir ke kiri, menuju parit tol tak berpembatas ...

Tyra sudah siap celaka seraya terus merapalkan doa.

Detik detik berikutnya ....

Ia mendengar suara benturan keras, pun suara seperti pohon tumbang. Mungkin mobilnya telah menabrak pohon besar di pinggir tol dekat parit.

Tapi ...

Kenapa tidak sedikitpun gadis itu merasa sakit?

Yang ada, Ia merasa seseorang tengah memeluknya erat dan hangat.

"Apa Aku sudah mati?" batin Tyra. "Beginikah rasanya mati?" ulangnya, tak berani membuka mata. Lalu tak lama dari itu, Tyra mendengar suara seperti deru nafas. Dan seolah berhalusinasi, Tyra benar-benar merasa sedang ada di pangkuan seseorang, yang dadanya naik turun akibat deru nafas itu yang tidak teratur.

Tyra terkesiap, meneguk salivanya dalam-dalam begitu merasakan punggungnya menyentuh tanah dan rerumputan berujung agak tajam, "Apa yang terjadi ..." batinnya menerka-nerka, tangannya tak berani meraba-raba.

Hingga akhirnya sebuah suara yang tak asing Ia dengar ...

"Buka matamu, Elleanor ..."