webnovel

The Last Memories

Ebi, gadis cantik yang tumbuh dengan rasa sedih sepanjang hidupnya. Mamanya pergi meninggalkan dirinya setelah melahirkan, ayahnya meninggal dunia, dan hanya Bu Jihan - adik dari mama Ebi yang dengan berat hati mau mengasuh gadis itu. Hidupnya tidak gratis, harus ada imbalan yang ia berikan untuk Bu Jihan. Namun, kehidupan pahitnya berubah menjadi manis ketika dirinya bertemu dengan cowok bernama Alzam, dan Alfa. Mereka memberikan kisah manis yang tak pernah Ebi bayangkan sebelumnya. Meskipun manisnya hidup di rasaka, tetap saja ada rasa pahit yang terus Ebi lalui untuk bertemu dengan mamanya yang entah ada di mana.

meybulansafitrii · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
175 Chs

SISI TERANG

"Mba, mama gak pulang atau belum pulang?" tanya Alzam sambil membuka pintu kulkas untuk mengambil air limun.

Wanita yang sedang menyapu itu menghentikan aktivitasnya, dan berkata, "Tadi pagi waktu Mas Alzam sekolah nyonya pulang, tapi cuman mandi sama  sarapan aja, terus pergi lagi sampai sekarang."

"Ada bilang kemana gitu Mba?"

"Gak ada, saya juga gak berani nanya. Tapi... nyonya nitip pesen."

"Pesen apa?"

"Bilang sama saya buat mastiin Mas Alzam makan teratur, udah itu aja sih Mas gak ada yang lain," jelas Nurul.

Alzam menghela panjang sebelum akhirnya duduk di salah satu kursi meja makan.

"Mba Nurul masak apa hari ini?"

"Ada iga bakar, bakso goreng, sayur sop, sama ayam betutu Mas."

Cowok itu terdiam sejenak, memikirkan menu apa yang cocok untuk di makan hari ini.

"Buatin aku mie instan aja Mba!" titah Alzam akhirnya.

"Tapi selesai saya nyapu dulu ya Mas!"

"Iya, gapapa."

Wanita itu mengangguk tak enak sebelum kembali menyapu ruang dapurnya.

Alzam masih terdiam. Kejadian waktu itu membuat keadaan semakin kacau, api semakin menyala dengan ganas. Diantara keduanya tidak ada yang mau menjadi angin, semuanya besar kepala, dan tidak mau mengalah.

Alzam juga tidak mau mengajak mamanya berbicara dahulu karena ini salah mamanya.

Namun, sesuatu yang membuatnya menyesal terus muncul. Membuat Alzam ingin menelepon wanita itu, tapi masih gengsi. Apa lagi menunggu kehadirannya pulang, Alzam semakin enggan.

Cowok itu mulai meminum limunnya hingga habis tak tersisa. Mencoba untuk memakan nastar di atas meja.

"Nerta lagi apa ya?" gumamnya sebelum meraih benda pipih itu.

Alzam mencoba untuk menelepon Ebi berkali-kali, tapi tak kunjung ada jawaban. Keningnya bertaut, ia heran karena tidak biasanya Ebi tidak menjawab panggilan darinya. Apa lagi malam ini gadis itu sedang tidak bekerja, seharusnya Ebi sedang bersantai di dalam rumahnya hari ini.

Cowok itu kembali menghela, memperhatikan Nurul yang sedang memasakkan mie instan malam ini. Nafsu makannya tiba-tiba saja  menghilang. Alzam bingung, rasanya tidak ingin melakukan apa pun malam ini, tapi terlalu membosankan jika berdiam diri tanpa melakukan apa pun.

"Mba, mienya udah jadi?" tanya Alzam.

"Belum Mas, sebentar lagi ya!"

"Aku udah gak laper, Mba Nurul aja yang makan ya!"

"Tapi Mas?" sahut Nurul bingung.

"Kasih orang aja kalau Mba Nurul gak mau makan, aku udah kenyang makan nastar," ucap Alzam sebelum melenggang pergi menuju kamarnya.

Alzam merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk itu dengan kasar. Menatap langit-langit kamarnya tanpa mempedulikan pintu kamar yang masih terbuka lebar.

Raut mukanya nampak murung, beberapa kali layar ponselnya di lihat. Menunggu panggilan masuk dari Ebi yang mungkin saja akan datang. Namun, sejak tadi tak ada panggilan masuk untuknya.

Alzam menghela panjang, melempar ponselnya asal yang masih di atas ranjang.

"Kamu di mana sih Ta?" tanyanya dengan suara yang sangat lirih.

Alzam kembali menghela untuk yang kesekian kalinya. Memiringkan badannya ke sebelah kiri untuk menatap jendela kamarnya.

Tap! Tap!

Suara derap kaki berhak tinggi itu terdengar jelas. Alzam segera menutup kedua matanya ketika menyadari seseorang berdiri di ambang pintu kamarnya.

Mirliana menghela samar, berjalan mendekati putra semata wayangnya itu untuk memberikan selimut. Membelai rambut milik Alzam lembut sambil mengecup puncak kepalanya sekilas.

"Maafin mama ya Alzam," ucapnya sebelum mematikan lampu, dan menutup pintu kamar dengan pelan.

Kedua netra Alzam kembali terbuka lebar, posisi tidurnya di ubah menjadi terlentang. Cowok itu kembali menatap langit-langit kamarnya.

"Kalau gue kaya gini terus, masih keras kepala, dan gengsian, mama pasti juga sama. Terus siapa yang mau ngalah? Kalau gue ngalah, nanti mama mikir kalau gue mau punya bokap baru, padahal engga," ucap Alzam sambil mengacak rambutnya kesal, "Gue gak paham, tapi gue gak mau situasi yang kaya gini! Gue harus apa?!"

***

Cowok itu menghela jengah, banyak novel horor, dan komik yang sudah di bacanya melalui ponsel. Sudah banyak pula makanan yang di makan beserta minuman yang dia pesan sejak tadi. Namun, gadis yang di tunggunya tak kunjung menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat.

Alfa bosan, dan merasa kesal jika harus terus-terusan menunggu di dalam kafe yang terlalu ramai ini. Apa lagi tidak ada teman yang bisa di ajaknya bicara. Rasanya ingin pergi menuju tongkrongannya, tapi ada Ebi yang tidak bisa di tinggal begitu saja.

Alfa mendengus, beranjak dari duduknya untuk membuang berbagai sampah miliknya, dan menemui bagian kasir sambil merokok.

"Bagian gue abis berapa?" tanya Alfa, mengeluarkan dompetnya yang tersimpan di dalam saku celana bagian belakang.

"Atas nama siapa?" tanya cowok berkumis tipis itu.

"Alfa, berapa duit?"

Cowok itu mengangguk kecil, dan segera mencari nama Alfa di dalam komputernya dengan teliti, "Hm, jumlahnya delapan puluh ribu."

"Gue nambah americano, jadi berapa?"

"Seratus tiga puluh."

Alfa segera mengeluarkan satu lembar uang seratu ribu, dan tiga lembar sepuluh ribu. Setelah membayar tagihannya, ia kembali duduk di mejanya yang tadi. Menghembuskan asap rokoknya ke udara sambil memperhatikan wajah letih Ebi yang sejak  tadi tidak berhenti untuk bekerja.

"Elena?"

Panggilan itu membuat Ebi menoleh, "Kenapa?"

"Ini, tolong kasih ke meja di sana, gue sibuk. Tolong ya!" jelas Sinta sebelum melenggang pergi dengan terburu-buru.

Ebi menghela, dan segera membawa pesanan itu pada pelanggan yang sangat di kenalnya.

"Ini," ucap Ebi sebelum meletakkan americano milik Alfa.

"Makasih," sahut Alfa dengan senyum tipisnya.

"Kamu kapan pulang sih?" tanya Ebi kesal.

"Loh? Kan gue udah bilang kalau mau nungguin, sama nganterin lo pulang Na," jelas Alfa.

Gadis itu kembali menghela panjang, memperhatikan langit yang mulai mendung, dan berkata, "Udah mau mendung, sana  pulang!"

"Kalau gue pulang, lo juga harus pulang!"

"Aku kerja Alfa, kamu gak bisa ngatur waktuku semau kamu!"

"Gue  pelanggan, jadi lo juga gak boleh ngusir gue!"

Ebi kembali menghela samar, bukan hal yang bagus untuk mengajak Alfa berbicara. Ini lebih membuat darahnya naik karena merasa jengkel, dan kesal bersamaan.

"Udah sana kerja! Gue mau ngerokok sama ngopi di sini," titah Alfa.

"Sejak tadi kamu udah ngerokok."

"Gue ngerti, udah sana! Jangan di sini, nanti lo sakit karena ngehisep asap rokok gue!"

"Kamu tahu rokok bahaya?" tanya Ebi.

Cowok itu mengangguk sebagai jawabannya.

"Kenapa masih ngerokok kalau tahu sih Fa? Kamu itu harusnya berhenti, jangan ngerokok biar kamu sehat!" omel Ebi dengan raut muka kesalnya.

Alfa  hanya tertawa terbahak-bahak, menggelengkan kepalanya pelan, dan berkata, "Iya Elena iya, nanti gue berhenti, tapi gak sekarang. Udah ya, sana pergi buat kerja, gue tunggu di sini sampai lo pulang."

Gadis itu terdiam, kemudian melenggang pergi menuju meja kosong yang baru saja di tinggalkan pelanggannya untuk di bersihkan.