webnovel

CLUB

Saturday, January. Night at one of club in London.

Di sebuah ruangan di suatu club, dimana ketiga pria tampan ini tengah menikmati waktu senggang mereka, karena salah satu dari mereka yang baru saja pindah kemari. London. Salah satu kota terindah di Benua Eropa yang penuh dengan sejarah.

Arthur harus mengurus perusahaannya yang berada di London sehingga mengharuskannya untuk pindah kemari entah sampai kapan. Ia sedang menikmati rasa khas daari vodka yang diminumnya. Di depannya, ada kedua temannya yang ikut kemari. Hanya untuk menemani Arthur sebentar. Atau mungkin hanya sekedar berlibur walau ini tidak bisa dikatakan liburan dengan arti yang sebenarnya.

“Hmm, lumayan juga.” Gumam Edric seraya mengitarkan pandangannya pada club yang kini ia datangi bersama Arthur dan Dennis. Di sampingnya, ada seorang wanita dengan pakaian yang ketat dan seksi bergelayut manja.

“Kalau begitu, kita pindah saja kesini. Bagaimana?” Dennis bertanya dengan semangatnya seperti biasa. Ia terlihat sangat antusias semenjak mereka turun dari pesawat jet milik Arthur.

Arthur langsung menoleh pada Dennis. “Apa kau sudah gila? Untuk apa?”

“Aku juga tidak tahu, sih. Aku hanya tertarik dengan kota ini. Sangat indah. Ya, walaupun Paris juga indah.”

“Tapi, Dennis, kau tidak ada urusan di sini, kan. Jangan konyol. Alasanmu itu tidak masuk akal.”

“Iya, Felix. Iya. Aku ‘kan Cuma bertanya tadi. Kau terlalu serius menanggapinya.” Dengus Dennis. Arthur hanya menggelengkan kepalanya karena Dennis yang masih kekanak-kanakan. Padahal, Dennis pernah mengatakan jika pria itu juga harus mengurus perusahaannya di New York.

Untung saja perdebatan kecil mereka sudah berhenti. Karena tiba-tiba, telinga Edric menangkap suara keributan di bawah. Karena penasaran, ia melepas tangan manja wanita yang menempel padanya tadi dan berjalan ke pinggir tangga untuk melihat apa yang sedang terjadi. Benar saja dugaannya. Ia melihat beberapa wanita –yang menurut Edric adalah sebuah geng –sedang berdiri melingkari seorang wanita yang berada di tengah lingkaran mereka.

Tentu saja Edric tahu maksud para wanita yang membentuk lingkaran itu. Edric sendiri merasa heran karena sampai sekarang, masih ada kasus pembulian teman seperti ini. Apa wanita selalu begitu? Edric tidak habis pikir.

“Hei, Art, Dennis, kemarilah. Ada pertunjukan.” Ujar Edric tanpa menoleh.

Arthur dan Dennis sempat bertukar pandang saling bertanya kenapa Edric memanggilnya untuk kesana sebelum akhirnya mereka mengikuti ajakan Edric.

“Ada apa?” tanya Dennis.

“Ini akan jadi pertunjukan hebat.” Kekeh Edric seraya memukul lengan Dennis untuk melihat apa yang terjadi di bawah sana. Arthur sendiri hanya diam dan melihat apa yang terjadi di bawah sana.

“Hah! Oh, ya ampun. Aku merasa kasihan pada wanita itu. Kenapa mereka berbuat jahat begitu padanya? Jahannam sekali. Apa mereka tidak punya perasaan sama sekali? Dan apa itu? Mereka menggunakan sepatu hak mereka untuk memukuli wanita malang itu? Ini tidak bisa dibiarkan.”

Dennis baru saja hendak turun tangga sesaat setelah ia mengkritik tanpa jeda pada sekelompok wanita yang sedang melakukan kekerasan pada wanita malang itu.

“Hei, lihat dulu si wanita malangmu itu.” Cegah Edric.

Dennis yang merasa kesal karena usaha heroiknya dicegah oleh Edric hanya mengikuti arah pandang Edric dan terkejut dengan apa yang dilihatnya.

“Ba –bagaimana mungkin? Wow, so unbelievable.Dalam sekejap, wanita malang itu sudah menjadi macan betina yang liar. Hei, hei, lihat dia! Oh tuhan, lihat serangan baliknya!” dennis merasa terkagum-kagum pada wanita malang itu yang tiba-tiba saja melakukan serangan balik pada sekelompok wanita itu dengan mengangkat kursi bartender.

“Hei, kau tidak boleh meniru panggilan macan betina. Itu sudah milik felix. panggilannya untuk Roxanne kan begitu.” Kekeh Edric.

“Diam-diam. Lihat saja dia! Ck, kau ini.” Dennis yang merasa terganggu dengan ocehan Edric menjawab tanpa menoleh.

“Ya ampun. Seharusnya daritadi dia melawan. Aku sempat mengira dia akan menangis tidak berdaya.” Kata Arthur.

Kini, rasa kagum mereka tergantikan dengan suara tawa dan teriakan remehan untuk sekelompok wanita yang menyerah itu. Si wanita malang itu baru saja meneriakkan kalimat pedasnya dengan mempermalukan para wanita tadi. Setelah itu, dengan santainya ia merapikan rambutnya yang tergerai indah dan dress pendeknya yang berantakan.

“Aku kagum sekali padanya.” Ujar dennis.

Mereka bertiga sudah kembali duduk di sofa dan kembali melakukan kegiatan mereka seperti tadi.

“Dulu kau sempat kagum pada Roxanne. Sekarang, kau juga kagum pada si wanita malang itu.” Arthur menggelengkan kepalanya terheran mendengar ucapan Dennis.

“Ck, ini masalah yang beda. Dan lagi, jangan sebut dia begitu. Kau membuatku merasa bersalah saja.” Gerutu Dennis tidak suka saat Arthur dan edric daritadi terus menyebut wanita tadi dengan sebutan itu.

“Harusnya tadi kau tidak mencegahku, Ed.” Keluh Dennis pada Edric yang sedang mengobrol dengan seorang wanita di sampingnya.

“Kau menyalahkanku?” tanya Edric setelah ia mendengar tuduhan Dennis.

“Kalau saja aku ke bawah tadi. Aku bisa merekrutnya jadi bodyguardku.”

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Arthur dan Edric tergelak. Sementara Dennis menatap keduanya dengan tatapan kesalnya karena ia merasa diejek oleh mereka.

“Bodyguard?Seriously?Jangan konyol, Dennis.” Kata Arthur di tengah tawanya.

“Iya. Kau jadi tidak masuk akal daritadi. Kau sudah mabuk ya? ayolah, kau sendiri pasti sudah tahu, kan jika serangannya tadi hanya serangan wanita malang yang sedang berusaha untuk menyerang balik. Ia tidak menggunakan jurus dari taekwondo, karate, atau apapun itu, kan? Ya ampun, ada-ada saja kau ini.” Dan edric kembali tertawa setelah mengatakan kalimat panjang lebarnya.

Dennis mendengus. Ia tahu itu. Tapi, seharusnya teman-temannya itu bisa menangkap maksud lain dari apa yang dikatakannya, kan? Bukan itu yang Dennis maksudkan. Sudah jelas maksud Dennis adalah untuk mendekati wanita seperti si wanita malang itu. Ah, sudahlah.

“Hei, Art. Apa kau tidak ingin jadi penerus Felix?” tanya Edric tiba-tiba. Arthur tampak bingung seketika.

“Penerus?”

“Iya. Aku dengar, kau ‘kan yang harusnya melakukan perjodohan dengan Roxanne. Tapi, Roxanne menolaknya dan Felix terus berusaha mendapatkan hati Roxanne. Menggantikan posisimu. Jadi, kau tidak ingin mencari pendamping hidupmu?” Jawab edric yang berakhir dengan pertanyaan yang membuat Arthur langsung menghela napasnya.

“Jangan sembarangan bicara. Dia tidak menggantikan posisiku. Sejak awal memang aku tidak pernah menginginkan itu semua. Aku rasa itu masih belum penting untukku, jadi aku belum memikirkan semua itu.” Jawab Arthur dengan enteng.

“Hmm, begitu, ya. Tapi, pastikan kau menikah setelah Felix, ya?” tawa Edric terdengar keras saat mengatakannya.

Arthur melempar bantal sofa tepat di wajah tampan Edric. Namun, edric adalah edric. Dia hanya tertawa tanpa menggerutu. Tidak seperti Dennis.

“Kenapa harus aku?” tanya Arthur.

“Karena…. Aku rasa itu masih belum penting untukku, jadi aku belum memikirkan semua itu.” Kekeh Edric kembali.

Arthur hampir melempar botol vodkanya pada Edric karena sudah meniru apa yang sudah ia ucapkan, namun tentu saja tidak ia lakukan. Ia terlalu sayang pada sahabatnya itu. Kini, ia menoleh pada Dennis yang terlihat diam menyenderkan kepalanya ke punggung sofa dan menengadah menatap langit-langit. Ia melempar bantal sofa pada Dennis.

“What the –”Dennis hampir mengeluarkan sumpah serapahnya saat seseorang itu melempar bantal sofa padanya. Padahal, ia sedang bersantai.

“Kau tidak mabuk, kan?” tanya Arthur.

“See? I’m fine.”jawab Dennis seraya menunjuk kedua matanya yang masih terbuka dengan sadar.

“Hei, hei, hei.” Edric bersuara kembali.

Arthur dan Dennis pun menoleh pada Edric dan menunggu pria itu mengatakan apa yang hendak ia katakan.

“Ehm, kalau aku ingat-ingat, dia seksi juga, ya.”

Arthur dan Dennis saling melempar pandangannya karena bingung siapa yang sedang dibicarakan Edric saat ini. Jika edric membicarakan wanita penghibur yang sedang berada di sampingnya, tentu saja dia seksi.

“Aku membicarakan si wanita malang itu.” Kata Edric seolah tahu apa yang sedang dipikirkan kedua temannya itu.

“Hah? Ish, kenapa kita jadi terus-terusan membicarakan dia, sih.” Jawab Arthur. Ayolah, kenapa teman-temannya ini tidak bisa mengeluarkan momen tadi dari otaknya. Padahal itu bukanlah momen yang luar biasa menurut Arthur.

“Ah, iya, Edric. Kau benar. Aku baru ingat gaunnya yang pendek dan seksi itu, ya ampun. Dia punya poin plus untukku.” Jawab Dennis menghiraukan gerutuan Arthur. Arthur hanya memandang kedua temannya itu dengan tatapan jengahnya.

“Tidak, untukku juga. Dia wanita tipeku. Agresif, pemberani, dan seksi. Ah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi kekasihnya.” Ujar Edric seraya membayangkan yang sedang ia bicarakan.

Dennis dan Arthur tertawa saat Edric mendapatkan pukulan dari wanita manja yang ada di sampingnya. Ternyata, wanita itu turut menyimak apa yang Edric bicarakan. Kini, wanita itu pun berlalu dengan rasa kesal pada Edric. Arthur berani bersumpah jika lain kali nanti pasti wanita itu tidak ingin bertemu dengan edric lagi.

“Kau memang punya mata setajam elang, Ed.” Dennis bertepuk tangan.

“Tapi otakmu juga bodoh di saat seperti itu.” Lanjut Arthur dibarengi dengan gelengan kepalanya. Edric sendiri merasa bodo amat dan mengedikkan bahunya.

“By the way, kita cukup lama juga disini.” Kata Arthur setelah melihat jam arlojinya.

“Ah, benar juga. Ya sudah, ayo kita pulang sekarang juga. Aku takut aku mabuk sendiri.” Jawab Dennis seraya berdiri dan diikuti oleh Arthur dan Edric.

Mereka bertiga turun dan menuju sebuah lorong yang berujung ke jalan keluar dari club itu. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol dan sekali-sekali Dennis membuat sebuah lelucon yang membuat mereka tertawa.

Di saat mereka sedang asyik tertawa, tiba-tiba seorang wanita berpapasan dengan Arthur dan menyenggol bahu Arthur. Cukup mampu membuat Arthur menoleh pada wanita itu yang masih berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi.