webnovel

The Impossible Hacker

The Impossible Hacker Zeline Azka Zakeisha adalah gadis berusia 22 tahun yang dijuluki sebagai The Impossible, hacker dengan kemampuan yang mustahil. Semua perangkat lunak yang ada di dunia ini bisa di hack oleh Zeline hanya dalam waktu singkat. Keberadaan Zeline pun mulai menjadi ancaman para penguasa kota Ambers ketika ia bekerja sama dengan Alvaro Daim Azhar. Seorang pria berusia 32 tahun yang biasa dipanggil Alvaro itu adalah penguasa dan pengusaha yang terkenal dengan keadilannya. Pria yang diam-diam jatuh cinta kepada Zeline. Suatu hari Zeline ditangkap oleh orang-orang suruhan dari penguasa kota dan disuntikkan sebuah racun. Zeline yang saat itu tengah sekarat melihat Alvaro nekat menyerang tempatnya di tahan dan terbunuh dengan kejam di depan matanya. Bersamaan dengan itu, racun yang bereaksi pada tubuh Zeline membuat wanita itu tewas seketika. Tubuh keduanya digantung di tengah kota sebagai peringatan kepada siapapun yang menentang penguasa. Namun di saat yang sama, sebuah jam berdentang keras di kediaman Alvaro. Jarum jam itu kemudian berputar ke arah sebaliknya dan tiba-tiba saja Zeline terbangun di rumahnya sendiri. Waktu kala itu sudah berputar kembali ke hari di mana Zeline dan Alvaro bertemu untuk pertama kalinya. Akan tetapi, hanya Zeline yang menyadari semua itu. Sementara Alvaro seolah tak mengingat kejadian kelam yang sempat membuat mereka sampai terbunuh. Bagaimana cara Zeline meyakinkan Alvaro tentang apa yang akan terjadi pada mereka? Akankah kesempatan kedua ini dapat Zeline pergunakan untuk menyelamatkan hidupnya dan juga Alvaro?

MawarHitam26 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
209 Chs

Tawaran Kerjasama

"Hemz, baiklah tapi apa yang akan kami dapat jika menyetujui keinginan Anda. Oh iya, saya tidak bisa meninggalkan teman saya jadi jika Anda merekrut saya Anda juga harus merekrut dia. Jika tidak artinya saya juga batal menyetujui keinginan Anda," ucap Zeline tegas.

"Oh tentu saja, saya pasti akan meminta teman kamu untuk ikut bergabung. Meskipun saya tau dia masih di bawah kamu, tapi saya juga tau jika dia sudah termasuk hebat dalam hal komputer. Soal apa yang akan kalian dapat, tentu saja akan setimpal dengan hasil kerja dan resiko kalian. Kalian akan mendapat gaji besar, nanti Rafael akan berikan surat perjanjian kontrak yang akan kalian tanda tangani. Di sana akan ada apa yang akan kalian dapatkan, juga apa yang harus kalian lakukan." Alvaro dengan lugas menjawab pertanyaan Zeline.

"Jika menurut Anda kontrak itu penting, saya setuju saja. Jika tidak memuaskan apa saya boleh meminta diubah isinya?" tanya Zeline. sambil menatap Alvaro.

"Hahaha, ternyata kamu teliti juga. Baiklah apapun yang kalian inginkan, yang terpenting jangan pernah berkhianat pada saya. Karena saya sangat membenci penghianat," sahut Alvaro penuh penekanan.

"Oh, tenang saja, Tuan. Saya pun tidak menyukainya, bahkan teman yang berkhianat saja saya tidak suka. Benarkan Lexis?" tanya Zeline meminta dukungan sahabatnya.

"Iya, Tuan. Dia sangat membenci hal itu, apalagi karena itu juga dia kehilangan ibunya. Ups ... Maaf aku keceplosan, Zel. Hehehe," kekeh Lexis seraya menggaruk kepalanya.

"Sudah, kalian pasti lapar. Saya lihat temanmu tidak berhenti mengunyah, dia pasti sudah sangat lapar. Rafael tanya pak Jo apa makanan sudah siap," titah Alvaro. Lexis yang di sebut Alvaro hanya bisa tersenyum malu, karena memang benar sejak tadi dia hanya menguyah camilan di meja.

"Baik, Tuan." Rafael segera ke sudut ruangan di mana terdapat telepon rumah berada, dia pun langsung menelpon seseorang dari sana. Tak lama Rafael kembali berbalik mendekati mereka.

"Semua sudah siap, Tuan." Rafael melapor pada Alvaro, apa yang barusan ditanyakannya.

"Ya sudah, ayo kita makan lebih dulu! Setelah itu kita bahas kontrak kerjasama kita," ucap Alvaro mengajak Zeline dan Lexis.

Mereka pun berdiri, keluar dari ruang kerja Alvaro, hanya tinggal Rafael di sana. Mungkin Rafael akan membuat surat kontrak untuk mereka, karena Alvaro adalah tipe orang yang ingin semuanya langsung selesai. Dia tidak suka menunda-nunda sesuatu yang bisa dikerjakan saat ini juga. Kecuali memang keadaannya yang tidak memungkinkan. Itu juga alasan kenapa Alvaro bisa menjadi pengusaha sukses.

Sementara itu, beberapa pelayan sudah berdiri di sekitar meja makan. Saat Alvaro, Zeline dan Lexis hendak duduk, para pelayan dengan sigap menarik pelan kursi agar mereka lebih mudah untuk duduk. Zeline dan Lexis yang tidak biasa dengan perlakuan seperti itu, hanya bisa mengembangkan senyuman dan berterima kasih pada para pelayan itu. Setelah mereka duduk, para pelayan juga dengan sigap melayani mereka menyendokan makanan ke piring.

"Maaf, apa bisa kami mengambil sendiri makanannya? Kami tidak terbiasa dilayani seperti ini, malah jadi terkesan makanannya di batasi." Zeline dengan berani meminta ijin pada Alvaro untuk tidak dilayani.

"Oh tentu, silahkan jika memang itu yang membuat kalian nyaman." Alvaro pun memberi kode para pelayan itu untuk pergi, hanya tinggal pria yang dipanggil pak Jo yang ada disana.

Pria paruh baya, yang sepertinya kepala dari semua pelayan itu. Dengan setia tetap melayani tuannya, dia tidak beranjak disaat pelayan lain pergi. Setelah semua pelayan pergi, barulah Zeline dan Lexis bisa menikmati makanan mereka dengan nyaman.

Meski baru datang di rumah ini, rasa lapar dan kebiasaan makan dengan bebas tanpa rasa malu. Mereka berdua makan dengan lahapnya, apalagi Lexis yang terlihat seperti orang yang sudah seminggu tidak makan. Maklum mereka sudah terbiasa seperti itu, apalagi sejak pagi mereka memang hanya memakan sepotong roti yang ada di rumah Lexis.

"Apa makanannya enak?" tanya Alvaro setelah selesai makan dan melap mulutnya.

"Sangat enak, Tuan. Kami tidak pernah makan-makanan seenak ini. Meskipun sebenarnya kami juga sering makan di restoran mahal saat Zeline berhasil menghack ..." ucapan Lexis terpotong saat mendengar deheman Zeline.

"Hahaha, jangan khawatir. Tidak apa-apa dia jujur, lagipula saya sudah tau semuanya. Jadi tidak perlu ada yang ditutupi dan disembunyikan. Saya malah suka kejujuran temanmu itu," ujar Alvaro terbahak.

"Kamu ini memang kebiasaan, Lex. Kenapa tidak bisa mengerem mulutmu kalau sudah bicara. Bukan itu masalahnya Tuan, tapi jika dia terus seperti itu. Maka suatu saat dia bisa membahayakan. Dia akan tidak bisa menyimpan rahasia kelak," sahut Zeline sambil mendelik pada Lexis.

"Maaf, Zel. Iya aku akan mulai mengontrol diri, sudah jangan mengomeliki terus. Kamu sudah mirip ibu-ibu yang banyak anak, selalu saja memarahiku setiap ada kesempatan." Lexis memanyunkan bibirnya, karena Zeline mengomelinya di depan Alvaro.

"Sudah, kalian lanjutkan saja makannya. Saya akan kembali ke ruangan saya lebih dulu, nanti kalian susul saja ke sana. Pak Jo, layani mereka lalu antar ke ruangan saya lagi," perintah Alvaro setelah berpamitan pada Zeline dan Lexis.

"Baik, Tuan." Pak Jo menjawab sambil mengangguk hormat.

Zeline dan Lexis kembali menikmati makanan mereka, seluruh makanan yang ada di meja sudah hampir tandas di mulut keduanya. Pak Jo dengan setia menunggui mereka berdua hingga benar-benar selesai. Karena begitulah tugasnya di rumah ini, mereka semua sudah terbiasa banyak kerja tanpa banyak bicara. Itulah alasan di rumah besar milik Alvaro ini, tidak akan terdengar suara obrolan-obrolan tidak penting dari para pekerjanya.

Selesai makan, Zeline dan Lexis akhirnya diantar kembali oleh pak Jo. Mereka berjalan menuju ruang kerja Alvaro, di mana Alvaro dan Rafael sedang berada. Saat melewati ruang keluarga, mata Zeline sempat melirik kearah pojok ruangan. Di sana terdapat sebuah jam lonceng yang berukuran besar, bahkan bunyi detik jam tersenyum cukup keras. Pak Jo mengetuk pintu, lalu beliau masuk bersama Zeline dan Lexis saat mendapat ijin masuk dari suara di dalam. Zelin dan Lexis kembali diminta duduk oleh Alvaro, sementara pak Jo kembali keluar dari ruangan itu .

"Rafael sudah siap dengan berkasnya, apa kalian sudah siap membacanya?" tanya Alvaro.

"Baik, Tuan. Mana kertasnya?" tanya Zeline balik.

"Kemarikan, Rafael." Alvaro meminta berkas yang sepertinya baru saja keluar dari mesin printer di ruangan itu.

"Ini, Tuan." Rafael menyodorkan kertas surat perjanjian pada Alvaro, yang langsung di sambutnya.

"Ini, kalian bacalah dengan teliti." Alvaro langsung menyodorkan beberapa lembar kertas pada Zeline.

Setelah menyambutnya dari Alvaro, mereka berdua sama-sama membaca isi kertas tersebut. Mereka berdua membaca sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah sudah memahami apa isi berkas itu. Saat tiba di bagian nominal gaji mereka, Zeline sedikit terbelalak.

"Seratus juta sebulan?!" tanya Zeline keras karena tidak percaya.