webnovel

The Guardians : Seeker

Untuk pertama kalinya Bumi mengalami pergolakan pertamanya. Bermula dari peristiwa hujan meteor, satu demi satu bencana mulai berdatangan membawa manusia ke sebuah kenyataan pahit. Ketika manusia beranggapan semuanya sudah berakhir mereka datang bergerombol layaknya lebah memusnahkan setiap manusia yang mereka temui. Entah untuk menjawab doa manusia, satu demi satu manusia membangkitkan sebuah kemampuan. Berbekal kemampuan baru yang ada manusia melawan balik mengambil setiap kesempatan untuk bertahan hidup. Apakah ini akhir dari malapetaka mereka atau awal dari mimpi buruk, tidak ada yang tahu.

Dre_Am · Fantasi
Peringkat tidak cukup
18 Chs

Si Kecil Bahr

Berdiri di tengah-tengah kedua gadis itu, Bahr memiliki ekspresi penuh dengan keluhan. Dia ingin menangis tapi tidak memiliki air mata, dia merasa mereka tidak adil dengannya. Hanya karena dia lahir lebih lambat dari mereka, dia dipaksa menengahi perang antara dua alam.

"Dua Nyonyaku yang terkasih. Tolong, aku mohon padamu tolong jangan berkelahi." Berdiri di antara keduanya, Bahr memikirkan cara agar mereka berhenti. "Jika kalian berkelahi, apa yang akan Bos pikirkan tentang kalian berdua."

Mendengar apa yang dikatakan oleh Bahr, Audrey dan Eira merasa apa yang dikatakannya masuk akal. Bukan karena Z tidak pernah melihat keduanya berkelahi, tapi sebagai wanita setidaknya mereka harus menunjukkan keanggunan mereka. Terutama ketika mereka selalu berkelahi di hadapan Z, selain itu waktunya tidak tepat untuk berkelahi.

Melihat ketegangan di udara mulai mereda, Bahr merasa senang dan melanjutkan perkataannya. " Selain itu, Bos menyukai wanita yang anggun dan lemah lembut. Mungkin jika kalian sedikit lebih anggun dan lemah lembut maka Bos... akan... lebih."

Merasakan bubuk mesiu di udara Bahr perlahan-lahan melirik keduanya. "... Menyukai kalian berdua."

Melihat mereka berdua menatapnya dan berjalan ke arahnya, Bahr memaksakan senyum dan mulai mundur perlahan.

"Jadi. Menurutmu aku tidak anggun..." Menyipitkan matanya Audrey perlahan berjalan menuju Bahr.

"Dan lemah lembut." Senyum tipis muncul di wajah Eira ketika dia perlahan berjalan mendekati Bahr.

"Dua Nyonyaku. Kalian salah paham aku tidak bermaksud begitu." Melirik An dan yang lainnya, Bahr mencoba mencari bantuan hanya menemukan mereka bertiga menunduk kepala dan pura-pura tidak melihat.

"Jadi, maksudmu kami sendiri yang meyakini bahwa kami tidak anggun dan lemah lembut." Bagaimana mungkin mereka bertiga mau membantunya ketika Bahr menggali kuburannya sendiri.

Apalagi saat keduanya yang biasanya bertengkar mulai bekerja sama, itu seperti dua singa yang seharusnya saling bertarung memperebutkan kekuasaan tiba-tiba duduk diam menikmati teh sambil berunding. Itu adalah sesuatu yang mustahil, dan melihatnya benar-benar terjadi di depan matamu bukankah itu lebih menakutkan.

Meneguk air liurnya, Bahr tiba-tiba berlutut dan mengatupkan kedua telapak tangannya. "Tolong ampuni aku."

"Bos, Kakak, Ayah. Di mana kamu, aku merindukanmu."

...

Di suatu tempat yang jauh dari benteng pohon, duduk seorang lelaki di atas batang pohon. Lelaki itu menatap kejauhan dengan keseriusan yang tidak bisa disembunyikan oleh kedalaman matanya.

Tiba-tiba lelaki itu menggosok dagunya dan bergumam pelan. "Aneh, kenapa mataku berkedut. Apakah ada orang yang membicarakanku di belakang punggungku."

"Siapa itu? Apakah itu An. Apa dia memakiku karena marah dengan apa yang kulakukan kemarin."

Hujan sudah mulai berhenti, hanya menyisakan rumput dan dedaunan yang masih basah akibat hujan yang turun. Bulan juga mulai tampak dengan cahayanya yang menyinari hutan dan bahkan kegelapan tidak bisa menghalangi sinarnya bulan.

Lelaki itu menengadahkan kepalanya, menunjukkan wajah mudanya yang disinari cahaya bulan. Tatapan matanya tampak seperti magnet yang menarik orang untuk melihatnya, seolah tidak ada yang bisa lepas pandangannya.

"Sudah berhenti ya. Hampir tengah malam, sepertinya sekarang waktunya." Menatap kejauhan, pemuda itu melompat turun dan menghilang. Hanya jejak kecil yang tertinggal menunjukkan bahwa dia pernah ada di sana.

...

Berjongkok di sudut, Bahr menutupi wajahnya dan terisak-isak pelan. Dia mulai mempertanyakan dirinya sendiri, mengapa semuanya harus terjadi pada dirinya, dosa apa yang telah dia lakukan.

Di sisi lain, tidak jauh darinya ketiga "Kakak" nya mulai menenangkan dua harimau betina yang hampir membuatnya sekarat.

"Apa! Kalian bertiga ingin menggantikannya."

"Menyingkir."

Melihat keduanya akan mengamuk, mau tidak mau ketiganya harus menghentikannya. Namun, dihadapan langsung dengannya mereka mulai mengerti apa itu rasa takut.

Saling memberi isyarat dengan mata, An dan Abir pada akhirnya melirik Tempo yang berada di tengah mereka berdua dan mulai mundur dengan cepat meninggalkan Tempo sendirian menghadapi keduanya.

Mengutuk pelan pada An dan Abir yang meninggalkannya sendirian, Tempo akhirnya menyadari bagaimana perasaan Bahr.

"Kedua Kakakku."

"Nyonya!"

"Nyonya!"

Tempo pada akhirnya mengangguk tak berdaya dan mulai meyakinkan mereka. "Baik. Nyonya-nyonyaku yang terkasih, bisakah kita menyisihkan masalah ini dulu. Masih ada monster yang mengintai kita, apalagi kita masih harus melindungi penyintas sampai ke penampungan."

Melirik keduanya, Tempo mulai melemparkan kartu trufnya. "Selain itu, masih belum ada kabar tentang Kakak."

Audrey dan Eira mulai menatap Tempo dengan tajam seolah sudah tahu apa yang dipikirkannya. Mereka berdua saling melirik, kemudian mendengus secara bersamaan. "Anggap dirimu beruntung."

Mengusap keringat di dahinya, Tempo akhirnya bernapas dengan lega dan bergumam dalam hatinya. "Kali ini bencana akhirnya terlewati."

Menunggu mereka akan menjelaskan situasinya, Eira tetap diam dan kembali ke kepribadian aslinya yang dingin dan menyendiri.

Setelah mendengar keseluruhan cerita serta dugaan yang Abir berikan, Eira merenung dalam diam sedangkan An, Tempo, dan Bahr mulai bertanya-tanya sejak kapan monster itu memiliki Evolusi.

"Aku akan menjelaskannya kepadamu ketika kami kembali." Abir mempertimbangkannya sejenak dan menjawab mereka sebelum mereka bisa bertanya.

"Di mana Liz dan yang lainnya." Melihat Eira datang sendiri, Abir memandang sekeliling dan tidak menemukan yang lainnya.

"Mereka akan menyusul."

"Mungkin kita harus menunggu mereka, dengan bantuannya aku cukup yakin bisa menemukan monster itu." Abir berkata dengan penuh percaya diri dan hampir tidak bisa menutupi kegembiraannya. Meskipun begitu, Bahr dan Tempo masih dapat melihatnya, bahkan An dapat sekilas melihatnya namun dia dengan cepat kembali keseriusannya.

"Tidak perlu, karena teman kita tidak bisa menahan kesabarannya lagi." Melihat ke kejauhan, tiba-tiba di depan Eira muncul dinding es tanpa peringatan apapun.

Boom!!

Bersamaan dengan munculnya dinding es, sebuah ledakan bergema membuat seluruh benteng bergetar. Dinding es di depan Eira mulai mengeluarkan suara retakan, dan pada akhirnya pecah menjadi butiran es.

Tergeletak di tengah-tengah debu es adalah sebuah tulang yang mirip dengan proyektil sebelumnya kecuali warnanya yang lebih gelap dan dua kali lebih besar dari sebelumnya.

Berdiri tak bergerak di tempat, An dan yang lainnya mulai berkeringat dingin. Mereka tidak menduga bahwa serangan monster itu tiba-tiba menjadi lebih menakutkan. Khususnya Tempo, karena terakhir kali dia masih bisa merespon meskipun dengan bantuan Audrey tapi sekarang dia tidak bisa merespon sekalipun bahkan untuk mengangkat senjatanya.

Melirik Audrey yang masih memiliki ekspresi tenang, Eira mengerut kening dan menatapnya dalam-dalam. Dia kemudian menghilang seolah tidak pernah ada, hanya menyisakan angin yang menghembuskan pakaian mereka.

Roar!!

Sebuah auman dan ledakan tiba-tiba terdengar dari kejauhan membangunkan mereka berempat. Mereka melihat ke arah sumber suara itu berasal, menemani Audrey yang sudah melihat ke arah yang sama dengan penuh minat. Abir, An dan Bahr kemudian saling melirik dan menatap Tempo karena kecepatan itu sudah melebihi kecepatan yang Tempo banggakan.

Meskipun dalam keadaan tertegun, mereka masih sadar dengan sekeliling mereka. Dan mereka sangat yakin bahwa baru satu detik berlalu sejak Eira menghilang dan suara monster itu terdengar. Terlebih lagi mereka hanya bisa melihat setitik hitam di udara, yang membuktikan bahwa jarak itu sekurang-kurangnya satu kilometer.

Memikirkan bahwa dia dapat melakukan perjalanan satu kilometer hanya dengan waktu satu detik membuat mereka terkagum-kagum.

Bang!!

Sebuah bangkai terlempar di depan benteng, bangkai itu terlihat seperti musang tapi memiliki ekor yang panjang dan bersisik. Terlebih lagi ujung ekornya terlihat berlubang, jelas itu adalah tempat di mana proyektil sebelumnya berasal.

Eira perlahan turun dari udara mengabaikan tatap kagum yang di arahkan padanya, dia melihat Audrey dengan tatapan provokasi yang tidak sesuai dengan ekspresi dinginnya.

"Kamu sudah mencapainya?!" Audrey menatapnya dengan sedikit kejutan di matanya.

"Hanya selembar tipis rambut dan aku akan." Senyum kemenangan muncul di wajah Eira.

"Hmph. Kita lihat siapa yang akan mencapainya terlebih dahulu." Mendengus tidak senang, Audrey melirik tubuhnya dan mencibir. "Dan sepertinya beban tubuhmu tidak ringan."

Eira menatapnya dengan dingin dan berkata tanpa tergesa-gesa. "Dan menurutmu untuk siapa aku melakukannya."

"Hmph." Tidak senang dengan perkataan Eira, Audrey menjentikkan jarinya dan seketika cahaya hijau seperti kunang-kunang keluar dari tanaman dan terbang memasuki tubuh Eira.

Merenggangkan jari-jari tangannya, Eira mengangguk puas dan melirik Audrey sebelum memasuki ruangan di benteng. "Aku akan menunggu penjelasanmu."